Aruna
& Lidahnya adalah film lokal terbaik sejauh ini. Sebuah adaptasi
novel berjudul sama karya Laksmi Pamuntjak yang begitu natural, kocak,
dan tentu saja bikin gemes. Edwin (Posesif) yang dibantu sokongan naskah
dari Tittien Wattimena begitu piawai merangkum romansa, masakan, drama,
hingga konspirasi dalam sebuah mangkuk yang tak hanya lezat namun
membuat ketagihan pasca melahapnya dan rasanya ingin sekali terus menikmatinya.
Tentu karakter sentral dalam film ini adalah Aruna (Dian Sastrowardoyo), seorang epidemiologist (ahli wabah) yang ditunjuk untuk melakukan investigasi terkait wabah flu burung di berbagai daerah di Indonesia, bersama Bono (Nicholas Saputra) chef handal sekaligus sahabat dekat Aruna yang turut pula mengajak Nadezhda (Hannah Al Rashid) wanita pujaanya mencicipi kuliner khas Singkawang, Pamekasan hingga Pontianak ditengah tugas investigasinya yang juga turut didampingi oleh Farish (Oka Antara), pria yang sejak dulu tersimpan di hati Aruna.
Tak disangka, cerita mengenai sebuah investigasi dengan selipan kuliner begitu menyita perhatian, keduanya bertransformasi begitu baik tanpa harus saling distraksi satu sama lain, memang tak semuanya berjalan mulus, namun bak sebuah makanan yang punya rasa yang berbeda yang dipadupadankan dalam satu wadah, semuanya tampil begitu lezat dengan adukan serta takaran yang pas. Yang menarik dari film ini adalah bagaimana Edwin membuat empat karakternya begitu bersinergi, kuat dalam sebuah ikatan chemistry, terlebih Dian Sastrowardoyo yang merupakan magnet filmnya untuk terasa dekat dengan penonton lewat mrtode breaking the fourth wall.
Nicholas Saputra piawai bermain dalam ranah komedi, celetukannya terhadap Aruna begitu asik untuk di dengar bahkan tak ayal membuat saya dan juga penonton seisi bioskop tertawa lepas, baik dari segi dialog, gestur, hingga adegan non-verbal pun begitu mulus terlaksana yang membuat keempat karakternya sangat sukar untuk tak disukai. Ini memang panggung bagi Dian Sastrowardoyo yang secara mengejutkan tampil dengan mulus, salah satu karakter terbaik yang pernah ia mainkan ditengah karakter Cinta yang begitu melekat, pula Nicholas Saputra yang memantapkan karakternya, menghilangkan Rangga dan bertransformasi menjadi Bono, sosok chef yang likeable pula believable.
Hannah Al Rashid pun demikian tampil diluar ekspetasi dengan peran yang lebih dekat ke ranah feminim ketimbang hammer girl, sementara Oka Antara dengan sikap parno-nya menjadikan Farish begitu khas. Yang paling saya suka adalah bagimana film ini menampilkan sebuah rahasia pada masing-masing karakternya, yang mana sangat relateable dengan penonton yang saya rasa semuanya memiliki rahasia masing-masing, itu yang membuat filmnya terasa dekat, ditambah dengan berbagai makanan yang tak bisa kita pungkiri sudah menjadi prioritas utama penunjang kehidupan yang kaya akan rasa yang terasa di lidah juga hati.
Bukan Edwin jika tak memasukan isu sosial, dalam Aruna & Lidahnya ia memasukan isu penting yang kerap dikeluhkan bahkan diteriakan pada masa sekarang, pikiran masyarakat yang kolot terhadap penyakit yang mana bersembunyi di balik kedok agama bahwa penyakit adalah sebuah rezeki, tanpa harus dicari penawarnya turut pula disinggung, meski tak eksplisit semuanya tampil begitu menohok, berbekal dialog serta tukar persepsi karakternya yang sangat menarik dengan ciri khasnya masing-masing ditengah penganalogani makanan yang begitu cerdas dan mumpuni.
Aruna & Lidahnya adalah sebuah paket komplit sinematik yang begitu ringan dan mudah diikuti, tak memiliki cerita high-concept namun terasa membumi, menjauhkannya dari kesan bahwa film bagus harus dibuat pretensius dengan segala kerumitannya. Aruna & Lidahnya memecahkan stigma itu, menjadikan sebuah romansa, drama, makanan hingga konspirasi bersatu padu dalam sebuah mangkuk yang lezat, ditemani lagu Takkan Apa milik Yura Yunita hingga Antara Kita dari Monita Tahalea menjadikannya begitun nikmat, belum lagi sinematografi bidikan kamera Amalia TS (Tabula Rasa, Galih & Ratna) menangkap lanskap pemandangan yang indah dan tentunya makanan yang begitu menggiurkan. Saya pun rasanya ingin mengunjungi Pamekasan, Pontianak dan Singkawang untuk mencicipi kuliner tersebut, terutama Lorjuk, kerang bambu yang khas itu bersama orang tercinta seperti Bono, Aruna, Farish dan Nad.
SCORE : 5/5
0 Komentar