A Wrinkle in Time garapan Madeleine L’Engle
yang diterbitkan pada tahun 1962 sempat dicap sebgai salah satu buku yang sulit
untuk difilmkan. Sutradara yang sangat piawai dalam menangani isu seputar
kemanusiaan melalui Selma, yakni Ava DuVernay mencoba melawan perspektif
demikian. Di tangan yang tepat, materi seperti apa pun dapat ditaklukan. Namun,
di tangan Ava DuVernay yang menandai kali pertama dirinya menangani sebuah film
berbujet besar justru dirasa kewalahan. Kurangnya pengalaman membuat sebuah dampak
yang cukup signifikan. Maka A Wrinkle in Time tersaji nyaris tanpa taji.
Ceritanya sendiri berkutat pada seorang remaja
perempuan bernama Meg (Storm Reid) yang tiba-tiba saja kehilangan semangat
hidupnya. Ia sering menutup diri dari dunia luar, bersikap murung dan kemudian
menjadi korban perundungan. Pasalnya semuanya terjadi akibat hilangnya sang
ayah, Dr. Alex Murry (Chris Pine) yang sudah menghilang selama empat tahun
lamanya. Sang ayah menghilang kala tengah menjalankan sebuah misi memperbaiki
alam semesta. Alex menaruh minat terhadap ilmu astrofisika, ditengarai telah
menemukan tesseract-sebuah perjalanan lintas dimensi ruang dan waktu-yang kini
tersesat di sebuah dimensi lain.
Meg memang menganggap bahwa sang ayah masih
hidup. Itu terjadi di dalam lubuk hatinya paling dalam. Hingga kala Charles
Wallace (Deric McCabe) memperkenalkan Meg kepada tiga perempuan misterius: Mrs.
Which (Oprah Winfrey), Mrs. Whatshit (Reese Witherspoon), serta Mrs. Who (Mindy
Kaling) yang konon mengetahui keberadaan sang ayah, semuanya seolah terjawab
sirna. Ketiga perempuan tersebut kemudian meyakinkan Meg bahwa ia bisa kembali
bertemu sang ayah. Bersama Calvin (Levi Miller), Meg beserta Charles kemudian
melakukan tesseract guna menjemput kembali sang ayah yang tersesat di sebuah
dimensi.
Kita tahu, perjalanan ini tentu akan
menghantarkan Meg terhadap sebuah pencarian jati diri. Demikian pula yang
dibicarakan Mrs. Which terhadap Meg bahwa ia adalah “spesial”. Alasannya karena
ia adalah anak seorang Dr. Alex Murry. Kita tentu tahu pasti bahwa Dr. Alex
lebih spesial ketimbang Meg. Hal tersebutlah yang kemudian ditepis oleh Ava
DuVernay guna menunjukan sikap berani seorang anak dalam menjemput sebuah
kebahagiaan, terlebih keluarga. Namun ia tak cukup punya daya guna menjadikan
pesan penting terkait menggali, mengenali serta berdamai dengan diri sendiri
ini terlihat begitu tersamapikan berkat pengadeganan DuVernay yang terlampau
draggy.
Ya, alurnya sendiri bak kurang mulus
berpindah dari satu dimensi ke dimensi lainnya. Kurangnya daya terhadap skrip
yang ditulis oleh Jennifer Lee dan Jeff
Stockwell menjadi penyebab utama filmnya yang seperti judulnya,
mengalami sebuah pengerutan. Terlebih, sebagai sebuah film yang bermain dan berdamai
dengan hati filmnya sendiri tak mempunyai atensi terhadap penonton guna
terlibat dalam kisahnya. Storm Reid memang tak tampil buruk,-namun sebagai lead
charachter ia kurang klop mengembam tugas utama. Pun demikian dengan ketiga
perempuan, melihat penampilannya bukan menimbulkan sebuah kekaguman, melainkan
kengerian tersendiri kala Charles Wallace membelai wajah Oprah Winfrey yang
dalam wujud raksasa lengkap dengan dandanan nyentrik miliknya.
Satu-satunya yang kentara tampil prima di
sini adalah polesan CGI yang penuh dengan ke-khasan tersendiri. Kita akan
diajak berkeliling dimensi berbeda guna menemukan Dr. Alex Murry. DuVernay
memang memamerkan bujet guna memoles CGI sana-sini tanpa sebuah arti. Pun di
beberapa bagian, view-nya sendiri kadang kurang prima. Inkonsistensi terjadi.
Pun demikian dengan konklusinya yang ditutup anti-klimaks, menandakan sang
penulis naskah bingung bagaimana mengakhirinya. Begitulah A Wrinkle in Time
tersaji, begitu mentah pula terasa kurang runut untuk membentuk sebuah sekuen
terhadap pesan penting yang gagal tersaji, tertutup oleh kerutan yang kian
melekat pada filmnya.
SCORE :
2.5/5
0 Komentar