Tab

Ticker

6/recent/ticker-posts

A WRINKLE IN TIME (2018)

A Wrinkle in Time garapan Madeleine L’Engle yang diterbitkan pada tahun 1962 sempat dicap sebgai salah satu buku yang sulit untuk difilmkan. Sutradara yang sangat piawai dalam menangani isu seputar kemanusiaan melalui Selma, yakni Ava DuVernay mencoba melawan perspektif demikian. Di tangan yang tepat, materi seperti apa pun dapat ditaklukan. Namun, di tangan Ava DuVernay yang menandai kali pertama dirinya menangani sebuah film berbujet besar justru dirasa kewalahan. Kurangnya pengalaman membuat sebuah dampak yang cukup signifikan. Maka A Wrinkle in Time tersaji nyaris tanpa taji.

Ceritanya sendiri berkutat pada seorang remaja perempuan bernama Meg (Storm Reid) yang tiba-tiba saja kehilangan semangat hidupnya. Ia sering menutup diri dari dunia luar, bersikap murung dan kemudian menjadi korban perundungan. Pasalnya semuanya terjadi akibat hilangnya sang ayah, Dr. Alex Murry (Chris Pine) yang sudah menghilang selama empat tahun lamanya. Sang ayah menghilang kala tengah menjalankan sebuah misi memperbaiki alam semesta. Alex menaruh minat terhadap ilmu astrofisika, ditengarai telah menemukan tesseract-sebuah perjalanan lintas dimensi ruang dan waktu-yang kini tersesat di sebuah dimensi lain.

Meg memang menganggap bahwa sang ayah masih hidup. Itu terjadi di dalam lubuk hatinya paling dalam. Hingga kala Charles Wallace (Deric McCabe) memperkenalkan Meg kepada tiga perempuan misterius: Mrs. Which (Oprah Winfrey), Mrs. Whatshit (Reese Witherspoon), serta Mrs. Who (Mindy Kaling) yang konon mengetahui keberadaan sang ayah, semuanya seolah terjawab sirna. Ketiga perempuan tersebut kemudian meyakinkan Meg bahwa ia bisa kembali bertemu sang ayah. Bersama Calvin (Levi Miller), Meg beserta Charles kemudian melakukan tesseract guna menjemput kembali sang ayah yang tersesat di sebuah dimensi.

Kita tahu, perjalanan ini tentu akan menghantarkan Meg terhadap sebuah pencarian jati diri. Demikian pula yang dibicarakan Mrs. Which terhadap Meg bahwa ia adalah “spesial”. Alasannya karena ia adalah anak seorang Dr. Alex Murry. Kita tentu tahu pasti bahwa Dr. Alex lebih spesial ketimbang Meg. Hal tersebutlah yang kemudian ditepis oleh Ava DuVernay guna menunjukan sikap berani seorang anak dalam menjemput sebuah kebahagiaan, terlebih keluarga. Namun ia tak cukup punya daya guna menjadikan pesan penting terkait menggali, mengenali serta berdamai dengan diri sendiri ini terlihat begitu tersamapikan berkat pengadeganan DuVernay yang terlampau draggy.

Ya, alurnya sendiri bak kurang mulus berpindah dari satu dimensi ke dimensi lainnya. Kurangnya daya terhadap skrip yang ditulis oleh Jennifer Lee dan Jeff  Stockwell menjadi penyebab utama filmnya yang seperti judulnya, mengalami sebuah pengerutan. Terlebih, sebagai sebuah film yang bermain dan berdamai dengan hati filmnya sendiri tak mempunyai atensi terhadap penonton guna terlibat dalam kisahnya. Storm Reid memang tak tampil buruk,-namun sebagai lead charachter ia kurang klop mengembam tugas utama. Pun demikian dengan ketiga perempuan, melihat penampilannya bukan menimbulkan sebuah kekaguman, melainkan kengerian tersendiri kala Charles Wallace membelai wajah Oprah Winfrey yang dalam wujud raksasa lengkap dengan dandanan nyentrik miliknya.

Satu-satunya yang kentara tampil prima di sini adalah polesan CGI yang penuh dengan ke-khasan tersendiri. Kita akan diajak berkeliling dimensi berbeda guna menemukan Dr. Alex Murry. DuVernay memang memamerkan bujet guna memoles CGI sana-sini tanpa sebuah arti. Pun di beberapa bagian, view-nya sendiri kadang kurang prima. Inkonsistensi terjadi. Pun demikian dengan konklusinya yang ditutup anti-klimaks, menandakan sang penulis naskah bingung bagaimana mengakhirinya. Begitulah A Wrinkle in Time tersaji, begitu mentah pula terasa kurang runut untuk membentuk sebuah sekuen terhadap pesan penting yang gagal tersaji, tertutup oleh kerutan yang kian melekat pada filmnya.

SCORE : 2.5/5
  

Posting Komentar

0 Komentar