Semasa duduk di bangku SMA kita pernah bertingkah menaikan jabatan
berupa mencalonkan diri sebagai ketua OSIS misalnya, ikut bergabung
dengan tim bola basket atau dalam kasus film ini membentuk sebuah band
sekolah. Ya, selain demi menaikkan popularitas tentu opsi kedua yakni
demi menggaet hati wanita. Popularitas tengah direngkuh hingga kala kita
membawa wanita ikut bergabung menemani
latihan pun timbul sebuah masalah. Mana yang akan kita pilih?
Mempertahankan wanita atau melanjutkan apa yang telah kita bangun
bersama sahabat? Yowis Ben mengetengahkan soal permasalahan demikian.
Tentu selain sebagai film lokal pertama dengan sebagian dialog di
dominasi bahasa Jawa, Yowis Ben menandai pula seorang Bayu Skak dalam
menggarap sebuah film yang kemudian dibantu oleh Fajar Nugros (Cinta
Selamanya, Moammar Emka's Jakarta Undercover). Tentu Yowis Ben punya
potensi menarik seputar perjalanan lika-liku terbentuknya sebuah band
kalau bukan naskahnya yang melucuti spesifikasi tadi. Ya, naskah garapan
Bagus Bramanti dan Gea Rexy memilih jalur formulaik from zero to hero
ketimbang menjelaskan bagaimana sebuah band tersebut terbentuk yang mana
lebih potensial, unik pula menggelitik.
Bayu (Bayu Skak)
kerap dijuluki "Pecel Boy" oleh teman sekolahnya karena membantu sang
ibu berjualan pecel lele di sekolah yang jengah akan julukan tersebut
sertab ingin memikat hati Susan (Cut Meyriska). Doni (Joshua Suherman)
pun tak berbeda, ia kerap diremehkan oleh orang tua terkait prestasi
akademik, dan ingin membuktikan bahwa ia bisa meraih kesuksesan. Yayan
(Tutus Thomson) sang penabuh beduk mesjid hingga Nando (Brandon Salim)
sang keyboardist yang ingin dikenal lewat karya ketimbang rupa. Maka
terbentuklah Yowis Ben.
Panggung pertama Yowis Ben berujung sebuah kegagalan tatkala filmnya langsung menonjolkan karakter utama sebagi sebuah rising star di awal. Hingga kemudian nama Yowis Ben populer lewat video klipnya yang mencapai jutaan viewers, pertanyaan terkait bagaimana sebuah band melarat bisa meraih itu, bagaimana mereka menciptakan sebuah lagu, dan kapan mereka latihan serius pun turut mengganjal, menimbulkan sebuah pertanyaan yang tak terjawab berbekal lewat tampilan singkat beberapa adegan yang menciptakan sebuah kesan jumpy terhadap filmnya.
Walaupun demikian, Yowis Ben berhasil menyuguhkan komedi berbahasa Jawa yang jauh menggelitik dan akan kehilangan kesan "lucu" jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Pun sama halnya dengan romantika antara Bayu dan Susan yang tampil begitu hambar, nihil akan sebuah chemistry kuat dan konflik terlampau pasaran. Untungnya nomor musikal seperti Ra Iso Turu mampu mengobati dan memunculkan semangat kembali untuk menyaksikannya.
Jika ditinjau dari segi filmis, Yowis Ben memanglah penuh cacat. Namun ia berjasa lewat nomor musikal hingga komedi berbahasa Jawa yang mampu menghasilkan gelak tawa. Disamping itu pun, Yowis Ben terhitung fasih menuturkan pesannya berupa mengejar mimpi dan tak pantang semangat disamping penggambaran karakternya yang terasa unik, terlebih Yayan yang gemar meruqyah dengan menyemburkan air, maupun kebiasaannya meminum kuah pop mie memakai sedotan. Yowis Ben sejatinya sukses menghapus kesan kampungan terhadap bahasa Jawa maupun bahasa daerah lainnya.
SCORE : 3/5
0 Komentar