Meet
Me After Sunset memanglah sebuah romansa berkedok cerita dongeng.
Bayangkan di tengah malam seorang wanita berjalan-jalan sendiri memakai
jubah berwarna merah sembari ditemani lentera dan bersenandung, justru
hal tersebut tak akan terjadi di dunia nyata. Kalau pun ada kita akan
menganggapnya sebagai sebuah penampakan makhluk halus ketimbang
mengikutinnya yang mana dilakukan
protagonis pria di film ini. Ya begitulah dongeng, memanglah tak logis
jika dicerna. Pun sama halnya dengan cinta.
Pria yang mengikuti wanita berjubah merah tersebut adalah Vino (Maxime Bouttier), remaja tampan asal Jakarta yang terpaksa pindah ke Ciwidey, Bandung dengan alasan menuruti keinginan sang orang tua. Di sekolah Vino digilai para wanita, namun hati Vino sendiri telah kepincut oleh seorang wanita berjubah merah tadi, Gadis (Agatha Chelsea) namanya. Orang-orang disekitar menganggap Gadis sebagai wanita aneh, bahkan mereka memanggilnya Alien. Jangankan bersekolah, keluar rumah pun hanya di malam hari, menuju bukit, menari ditengah kunang-kunang. Gadis hanya memiliki satu sahabat, yakni Bagas (Billy Davidson) pria yang tahu semua rahasia yag dimiliki Gadis.
Tentu sangatlah mudah untuk menebak filmnya akan berjalan kemana. Ya, obsesi Vino untuk mendekati Gadis yang perlahan mewujudkan mimpi yang hanya bisa ia tulis disebuah buku kecil yang sering dibawanya. Selain itu pula kita dengan gampang menebak bahwa Bagas menyimpan rasa terhadap Gadis. Disinilah naskah garapan Haqi Achmad dan Fatmaningsih Bustamar menarik atensi penonton, sembari bermandikan sebuah pertanyaan "Siapa yang akan dipilih Gadis?" yang sejatinya terlampau banyak telah ditampilkan para sineas kita.
Seperti yang telah saya singgung diatas, Meet Me After Sunset kental akan nuansa dongeng. Pun sinematografi bidikan kamera Gunung Nusa Pelita pun mewadahi semuanya, mulai dari senja yang sering memamerkan magic hour atau rembulan yang selalu saja bersinar terang. Memang sedikit terkesan artifisial, namun semuanya terbungkus cantik dan acap kali terasa berlebihan, sebut saja bangunan kampung yang seharusnya kental akan nuansa cokelat kayu begitu dihiasi perabotan dengan pernak-pernik mencolok.
Saya selalu suka bagaimana Danial Rifki (La Tahzan) selaku sutradara memamerkan kemesraan para tokohnya yang begitu manis, mulai dari bermain air, berboncengan, hingga memakai kostum astronot yang menjadi sebuah romansa berbeda dibanding romansa belakangan ini. Agatha Chelsea mewadahi apa yang seharusnya Gadis miliki, berparas ayu dan menyimpan sebuah rahasia besar, sementara Maxime Bouttier dengan sifat bad boy slengean namun berhati baik masih di bawah apa yang kerap ditampilkan Jefri Nichol. Sementara Billy Davidson harus mengakui bahwa perannya hanya sebatas pelengkap belaka.
Menuju pertengahan, naskahnya keteteran menyampaikan detail penting terkait karakter utama. sebagai contoh pertanyaan terkait Mengapa Gadis tidak bisa Ke Bandung? Bukannya Bagas maupun sang ayah (Iszur Muchtar) bisa mengantarnya, serta bagaimana sang ayah tak mengetahui bahwa sang anak begitu ketakutan dengan badut maupun bagaimana ia tak suka kue cokelat. Semuanya terpinggirkan begitu saja. Memang tidaklah mengganggu lajur cerita, melainkan sedikit mengurangi esensi filmnya. Hingga sebuah twist pun muncul mengakhiri semuanya yang terjalin cukup rapi jika kamu sebagi penonton memperhatikan benih demi benih yang ditebar oleh sang sutradara.
SCORE : 3/5
0 Komentar