The
Post karya teranyar Steven Spielberg di tengah produksi film "Ready
Player One" yang menampilkan cast kelas wahid Tom Hanks dan Meryl Streep
dalam satu layar dan bergelut dalam kisah investigasi jurnalistik
terkait kebenaran mengenai Perang Vietnam sejak administrasi 3 presiden
sebelumnya, dan sekarang giliran Nixon,
pemerintah secara sembunyi-sembunyi mendukung perang yang mereka tahu
tak bisa dimenangkan, yang berarti mengorbankan ratusan nyawa pemuda
Amerika untuk hal yang sia-sia. Adalah Daniel Ellsberg (Matthew Rhys),
seorang mantan tentara, yang membawa kabur ribuan lembar fotokopi
dokumen rahasia pemerintah tersebut untuk diungkap ke publik.
Awalnya yang menerima lembaran dokumen rahasia itu adalah The New
York Times, namun setelah beredar status berita yang dimuat pada halaman
koran itu mengancam keamanan nasional, yang kemudian menyebabkan The
New York Times di persekusi dan ditutup sementara. Sekarang, 4000
halaman dokumen itu telah berada pada The Wahington Post, masalahnya
adalah dokumen ini justru di larang untuk diterbitkan oleh Kejaksaan
Agung. Namun di sisi laini ini adalah sebuah berita terkait kebenaran
yang perlu untuk disampaikan kepada publik.
Hal itulah yang memancing perdebatan antara Ben Bradlee (Tom Hanks) pimpinan redaksi The Washington Post yang merasa harus di publikasikan, namun lain halnya dengan Katharine Graham (Meryl Streep) si pemilik surat kabar justru meragu, sebab The Washington Post sedang berada dalam proses penjualan saham guna mengatasi permasalahan finansial. Sebab sedikit saja timbul masalah para investor akan kabur begitu saja serta hubungannya dengan sahabatnya, Robert McNamara (Bruce Greenwood) yang termasuk salah satu pihak yang paling dirugikan atas terbongkarnya konspirasi.
The Post terdiri atas rentetan demi rentetan dialog yang begitu memiliki sense of urgency, walaupun demikian bukan berarti film ini tak memiliki daya pikat tersendiri. Lontaran dialog demi dilog serta argumen yang tengah dihasilkan begitu mengguncang. Ini adalah lebih ke tahap pemikiran proses hukum kaukalitas, yang mana jika kita salah pilih persepsi maka dampak yang dihasilkan akan begitu besar pula. Kehadiran Streep dan Hanks dalam lontaran argumen yang sangat urgen ini bukan hanya memfasilitasi, namun turut serta memiliki daya pikat yang saling tarik menarik satu sama lain, mencoba mencari kebenaran ditengah dua persepsi kebenaran.
Seberapa besar seseorang bersedia berkorban? itu pertanyaan yang mencoba merangkum film ini. Intensitas film makin naik kala persoalan yang hanya berlangsung di meja bertambah pelik. Streep mampu mewakili semua itu, menggambarkan seseorang yang tengah bimbang akan reputasi yang sangat besar, pun itu yang menyebabkan ia berbicara terbata-bata di meja. Sementara Hanks dengan sikap dedikasinya yang tinggi. Dua ensamble cast ini adalah poin penggerak film ini selain daripada naskah karya Liz Hannah dan Josh Singer yang sama kuatnya.
Speilberg memang master of emotion, itu jelas sekali. Bagaimana ia membuat karakternya begitu memikat melalui sorot mata dan berulang kali track-in itu ia lakukan lewat pengadeganannya, membiarkan para tokohnya bereksperimen lewat rasa secara alamiah. Ditemani dentuman musik dari John Williams yang sesekali menyerua masuk di tengah bunyi mesin tik berbunyi serta editing dari Michael Kahn dan Sarah Broshar yang turut memberikan ketegangan.
Meskipun mengambil setting tahun 70-an nyatanya "The Post" masih relatable pada masa Trump ini. "The Post" menjadi sebuah tamparan pada buruknya pemerintah terhadap pers. Meskipun ceritanya terkesan familiar, namun "The Post" sendiri mampu menjadi cerminan bahkan obat bagi buruknya dunia jurnalistik yang beberapa tokohnya sering memberitakan berita hoax atau fake news hanya demi keuntungan finansial belaka dan merugikan pihak pembaca.
SCORE : 4/5
Hal itulah yang memancing perdebatan antara Ben Bradlee (Tom Hanks) pimpinan redaksi The Washington Post yang merasa harus di publikasikan, namun lain halnya dengan Katharine Graham (Meryl Streep) si pemilik surat kabar justru meragu, sebab The Washington Post sedang berada dalam proses penjualan saham guna mengatasi permasalahan finansial. Sebab sedikit saja timbul masalah para investor akan kabur begitu saja serta hubungannya dengan sahabatnya, Robert McNamara (Bruce Greenwood) yang termasuk salah satu pihak yang paling dirugikan atas terbongkarnya konspirasi.
The Post terdiri atas rentetan demi rentetan dialog yang begitu memiliki sense of urgency, walaupun demikian bukan berarti film ini tak memiliki daya pikat tersendiri. Lontaran dialog demi dilog serta argumen yang tengah dihasilkan begitu mengguncang. Ini adalah lebih ke tahap pemikiran proses hukum kaukalitas, yang mana jika kita salah pilih persepsi maka dampak yang dihasilkan akan begitu besar pula. Kehadiran Streep dan Hanks dalam lontaran argumen yang sangat urgen ini bukan hanya memfasilitasi, namun turut serta memiliki daya pikat yang saling tarik menarik satu sama lain, mencoba mencari kebenaran ditengah dua persepsi kebenaran.
Seberapa besar seseorang bersedia berkorban? itu pertanyaan yang mencoba merangkum film ini. Intensitas film makin naik kala persoalan yang hanya berlangsung di meja bertambah pelik. Streep mampu mewakili semua itu, menggambarkan seseorang yang tengah bimbang akan reputasi yang sangat besar, pun itu yang menyebabkan ia berbicara terbata-bata di meja. Sementara Hanks dengan sikap dedikasinya yang tinggi. Dua ensamble cast ini adalah poin penggerak film ini selain daripada naskah karya Liz Hannah dan Josh Singer yang sama kuatnya.
Speilberg memang master of emotion, itu jelas sekali. Bagaimana ia membuat karakternya begitu memikat melalui sorot mata dan berulang kali track-in itu ia lakukan lewat pengadeganannya, membiarkan para tokohnya bereksperimen lewat rasa secara alamiah. Ditemani dentuman musik dari John Williams yang sesekali menyerua masuk di tengah bunyi mesin tik berbunyi serta editing dari Michael Kahn dan Sarah Broshar yang turut memberikan ketegangan.
Meskipun mengambil setting tahun 70-an nyatanya "The Post" masih relatable pada masa Trump ini. "The Post" menjadi sebuah tamparan pada buruknya pemerintah terhadap pers. Meskipun ceritanya terkesan familiar, namun "The Post" sendiri mampu menjadi cerminan bahkan obat bagi buruknya dunia jurnalistik yang beberapa tokohnya sering memberitakan berita hoax atau fake news hanya demi keuntungan finansial belaka dan merugikan pihak pembaca.
SCORE : 4/5
0 Komentar