The
Big Sick berbicara soal benturan budaya yang kerap dianggap menyimpang
bagi sebagian kalangan. Kumail (Kumail Nanjiani) seorang pria asal
Pakistan yang hidup serta berkembang (termasuk pola pikir) di Amerika.
Meski demikian, Kumail tetap bangga menjadi seorang warga negara
Pakistan, hal itu merupakan pokok bahasan yang sering ia utarakan ketika
duduk di depan penonton sambil stand up
comedy. Kala sedang manggung, Kumail bertemu dengan seorang wanita asal
Amerika, berkulit putih bernama Emily (Zoe Kazan), singkat cerita
sesuai dengan prediksi mereka pun pacaran.
Emily meminta Kumail mengenal lebih dekat sang keluarga, bahkan ia pun tak sabar bertemu dengan keluarganya. Namun Kumail terus mengelak dan hanya berbicara sebagian. Jelas ada sesuatu hal yang disembunyikan Kumail mengenai keluarganya, yakni masalah terkait tradisi dan budaya yang saling bersebrangan. Hal itu dibuktikan kala Kumail harus bertemu dengan setiap calon wanita pilihan sang Ibu, dan dalam tradisi serta budaya yang mengakar di Pakistan, masa depan sang anak diatur oleh orang tua. Termasuk mengenai perjodohan yang kerap diartikan sebagai pernikahan.
Ini yang menarik disini. Sutradara Michael Showalter (Hello, My Name is Doris) yang berpangku pada naskah garapan Kumail Nanjiani beserta sang istri Emily V. Gordon yang bak sebuah representasi dari kisah nyata mereka. Hal ini yang membuat saya terasa dekat bahkan terikat oleh kisahnya, karena film ini pun bisa diartikan sebagai semi-autobiografi kisah Kumail beserta Emily dengan nada santai dan tak pelak saya dibuat tersenyum simpul lewat pembawaannya yang begitu dekat, termasuk menilai sebuah permasalahan dengan senyuman bahkan tawaan.
The Big Sick menyinggung perihal budaya serta adat istiadat yang mengakar, terlebih masalah agama. Kumail dibesarkan oleh keluarga muslim yang taat-namun ia sendiri tak mengerti perihal sholat lima waktu. Itu terjadi kala Kumail di perintahkan oleh sang ibu, ia membawa sajadah-menunggu selang lima menit-kemudian keluar. Hal ini yang ingin coba disampaikan, bagaimana sebuah polan pikir seseorang akan sesuatu dijajah sebuah tuntutan. Filmnya sendiri tak pernah mencoba menghakimi, melainkan mengajak kita untuk mengerti.
Paruh kedua filmnya, masalah tampil begitu pelik. Kita dihadapkan pada kondisi Kumail yang lebih menghabiskan waktu bersama orang tua Emily. Sang Ibu (Holly Hunter) begitu kental dengan sikap machismo. Sementara sang ayah (Ray Romano) lebih berhati-hati, bertindak santai dan bahkan pasif sekalipun. Kondisi ini pun kerap mendasari sebuah karakterisasi ditengah pola pikir yang berbeda, mencoba mengerti kemudian saling memahami.
Memang kadangkala di beberapa bagian Showalter bak terlalu lama merangkai adegan-namun untungnya itu semua tak melucuti apa yang ingin disampaikan filmnya. Ketika masuk ke ranah drama, pun Showalter kerap tampil santai namun mampu menciptakan sebuah kesan tersendiri, seperti kala Kumail berpelukan dengan sang ayah (Anupam Kher) ketika hendak berpisah. Hal demikian mampu memberikan sebuah kesan pun sebuah selebrasi atas sebuah kungkungan persepsi. Itu pun terjadi kala Showalter mengakhiri filmnya.
SCORE : 4/5
0 Komentar