Mayoritas pembaca "Buku Kuning" yang menjadi warna sampul paling
mencolok pada novelnya jelas sudah mengenal kisah romantika antara Ditto
Percussio dan Ayudia Bing Slamet yang begitu penuh dengan keajaiban
itu. Saya menyebut keajaiban jelas bukanlah sebuah hal yang berlebihan
kala film yang disadur dari pengalaman asli ini begitu terasa bak sebuah
mimpi yang menjadi kenyataan.
Setidaknya itu dari relung hati Ditto yang sudah mengidolakan Ayu sedari
kecil kala melihatnya di sebuah televisi yang kini mendampingi hidup
sang idola.
Kala kisahnya difilmkan, dari tangan Rako
Prijanto (3 Nafas Likas, Sang Kiai, Bangkit!) begitu tersaji manis dan
tak henti menyulut tawa bahkan pula mampu menyeret ke sebuah tataran
rasa. Opening-nya sendiri menampilkan Ditto (Adipati Dolken) yang tengah
duduk menanti Ayu (Vanesha Prescilla) di sebuah kafe. Suara-suara
disekitarnya seperti kucuran air keran, gelas, sendok dan lain-lain
menciptakan sebuah harmoni tersendiri bagi Ditto terhadap kepekaan
ritmis yang ia miliki, karena passion-nya di bidang musik, terutama
perkusi. Ini pula yang menjadikan "Percussion" sebagai nama belakangnya.
Setelah adegan tersebut bergulir, kita diajak oleh sang sutradara
untung flashback kala mereka pertama kali bertemu di bangku SMP, dari
sana pula keakraban muncul dan juga tentunya perasaan. Ditto sangat
mengagumi Ayu bahkan hobinya bermain perkusi pun untuk Ayu. Namun selama
mereka bersama Diito urung mengungkapkan perasaan demi menjaga yang
namanya sebuah persahabatan yang dalam konteks ini pula ia berarti siap
menanggung resiko kala melihat Ayu bersama orang lain.
Naskah garapan Johanna Wattimena bersama Upi lantas tak menjadikan
filmnya kental akan sebuah dramatisasi, ia tersaji begitu apa adanya dan
natural. Setidaknya itu tersaji lewat dialog bernada ejekan yang kerap
mereka lontarkan, tanpa mengumbar sedikit saja dialog bernada
puitis-namun sejatinya film ini terasa romantis. Menyaksikan interaksi
antara Ditto-Ayu adalah sebuah pemandangan yang indah. Bersama mereka
saya tertawa lepas, bersama mereka pula saya hanyut terbawa emosi. Tentu
ini tak lepas dari performa chemistry solid antara Adipati-Vanesha, dua
insan cantik dan rupawan yang sempurna kala bersama.
Meskipun tanpa formula yang baru, Rako Prijanto mampu menghadirkan
sebuah film yang mengalun santai namun turut memperhatikan aspek pula
perasaan. Salah satu adegan menampilkan Ayu yang tengah menangis
membelakangi Ditto yang hanya bisa memandang, memasang wajah iba. Tentu
ini adalah sebuah dialog non-verbal yang kita sebut mise-en-scene, di
mana karakter mengungkapkan perasaannya lewat bahasa tubuh yang tak bisa
diungkapkan oleh kata-kata. Tentu bagi seorang aktor, hal ini perlu
sebuah ketepatan timing dan Adipati sukses melakukan itu, mengajak kita
masuk ke ruang personal terdalamnya.
Kala konklusi mulai
bergulir, tentu ini adalah sebuah puncak filmnya, menjawab adegan yang
ditampilkan diawal. Sekalo lagi Vanesha-Adipati melakukan sebuah
performa yang luar biasa kala konklusi menempatkan mereka di sebuah
konser yang telah kosong. Nihil keramaian, pula kata "i love you" pun
urung terucap. Cuma dua sahabat yang masih melontarkan ejekan pada
situasi tersebut, mengukuhkan filmnya berjalan apa adanya dalam balutan
kesan natural dan penuh akan sebuah keajaiban. Disini emosi saya tumpah
ruah. ada tawa, ada juga haru yang tak bisa terbendung kala cinta
menampilkan sebuah keajaiban. Dari sana pula dapat ditaik kesimpulan
bahwa sang sutradara berhasil menghantarkan rasa, telebih cinta.
SCORE : 4.5/5
0 Komentar