Tab

Ticker

6/recent/ticker-posts

#TEMANTAPIMENIKAH (2018)

Mayoritas pembaca "Buku Kuning" yang menjadi warna sampul paling mencolok pada novelnya jelas sudah mengenal kisah romantika antara Ditto Percussio dan Ayudia Bing Slamet yang begitu penuh dengan keajaiban itu. Saya menyebut keajaiban jelas bukanlah sebuah hal yang berlebihan kala film yang disadur dari pengalaman asli ini begitu terasa bak sebuah mimpi yang menjadi kenyataan. Setidaknya itu dari relung hati Ditto yang sudah mengidolakan Ayu sedari kecil kala melihatnya di sebuah televisi yang kini mendampingi hidup sang idola.

Kala kisahnya difilmkan, dari tangan Rako Prijanto (3 Nafas Likas, Sang Kiai, Bangkit!) begitu tersaji manis dan tak henti menyulut tawa bahkan pula mampu menyeret ke sebuah tataran rasa. Opening-nya sendiri menampilkan Ditto (Adipati Dolken) yang tengah duduk menanti Ayu (Vanesha Prescilla) di sebuah kafe. Suara-suara disekitarnya seperti kucuran air keran, gelas, sendok dan lain-lain menciptakan sebuah harmoni tersendiri bagi Ditto terhadap kepekaan ritmis yang ia miliki, karena passion-nya di bidang musik, terutama perkusi. Ini pula yang menjadikan "Percussion" sebagai nama belakangnya.

Setelah adegan tersebut bergulir, kita diajak oleh sang sutradara untung flashback kala mereka pertama kali bertemu di bangku SMP, dari sana pula keakraban muncul dan juga tentunya perasaan. Ditto sangat mengagumi Ayu bahkan hobinya bermain perkusi pun untuk Ayu. Namun selama mereka bersama Diito urung mengungkapkan perasaan demi menjaga yang namanya sebuah persahabatan yang dalam konteks ini pula ia berarti siap menanggung resiko kala melihat Ayu bersama orang lain.

Naskah garapan Johanna Wattimena bersama Upi lantas tak menjadikan filmnya kental akan sebuah dramatisasi, ia tersaji begitu apa adanya dan natural. Setidaknya itu tersaji lewat dialog bernada ejekan yang kerap mereka lontarkan, tanpa mengumbar sedikit saja dialog bernada puitis-namun sejatinya film ini terasa romantis. Menyaksikan interaksi antara Ditto-Ayu adalah sebuah pemandangan yang indah. Bersama mereka saya tertawa lepas, bersama mereka pula saya hanyut terbawa emosi. Tentu ini tak lepas dari performa chemistry solid antara Adipati-Vanesha, dua insan cantik dan rupawan yang sempurna kala bersama.

Meskipun tanpa formula yang baru, Rako Prijanto mampu menghadirkan sebuah film yang mengalun santai namun turut memperhatikan aspek pula perasaan. Salah satu adegan menampilkan Ayu yang tengah menangis membelakangi Ditto yang hanya bisa memandang, memasang wajah iba. Tentu ini adalah sebuah dialog non-verbal yang kita sebut mise-en-scene, di mana karakter mengungkapkan perasaannya lewat bahasa tubuh yang tak bisa diungkapkan oleh kata-kata. Tentu bagi seorang aktor, hal ini perlu sebuah ketepatan timing dan Adipati sukses melakukan itu, mengajak kita masuk ke ruang personal terdalamnya.

Kala konklusi mulai bergulir, tentu ini adalah sebuah puncak filmnya, menjawab adegan yang ditampilkan diawal. Sekalo lagi Vanesha-Adipati melakukan sebuah performa yang luar biasa kala konklusi menempatkan mereka di sebuah konser yang telah kosong. Nihil keramaian, pula kata "i love you" pun urung terucap. Cuma dua sahabat yang masih melontarkan ejekan pada situasi tersebut, mengukuhkan filmnya berjalan apa adanya dalam balutan kesan natural dan penuh akan sebuah keajaiban. Disini emosi saya tumpah ruah. ada tawa, ada juga haru yang tak bisa terbendung kala cinta menampilkan sebuah keajaiban. Dari sana pula dapat ditaik kesimpulan bahwa sang sutradara berhasil menghantarkan rasa, telebih cinta.

SCORE : 4.5/5

Posting Komentar

0 Komentar