Tab

Ticker

6/recent/ticker-posts

PYEWACKET (2018)

Kita tentu pernah marah besar terhadap orang yang kita cintai, salah satunya keluarga. Ibu adalah orang yang sering memarahi kita. Entah itu sebagai bukti kasih sayang atau hukuman karena kita melakukan kesalahan. Manusia adalah makhluk impulsif, jadi tak heran ajang "serangan" guna membalas rasa sakit hati di lakukan, setelah semuanya terlaksana, muncul lagi sebuah rasa yang amat lebih besar, yakni sebuah penyesalan. Pyewacket membahas semua itu dalam kemasannya sebagai horror indie.

Beberapa helai rambut telah di kumpulkan, tanah untuk menanam rambut telah di gali, mantra sudah di hafalkan, serta sayatan darah di tangan sudah di tumpahkan. Itulah yang di lakukan Leah (Nicole Munoz) untuk sang ibu (Laurie Holden) yang membawanya pindah ke sebuah rumah yang jauh dari kota dan sekolah, melarangnya bergaul dengan teman-temannya yang bergaya urakan dan mengagumi ilmu hitam. Karena sang ibu menganggap apa yang ia lakukan tak baik. Pola pikir kolot dan kebebasan saling mendistraksi. Begitulah pola yang digunakan Adam MacDonald, mantan aktor yang kini menjadi seorang sutradara.

Daripada menenar penonton lewat penampakan yang di ikuti suara berisik, Pyewacket lebih menekankan pada sebuah relasi antara ibu dan anak pasca meninggalnya sang suami sekaligus ayah. Ini lebih menampilkan dampak psikis yang di alami oleh Leah sebagai proses pelarian. Tentu saja pola pikir antar anak dan ibu terus di pacu kencang guna menciptakan konflik penopng cerita hingga puncaknya "serangan balik" pun dilakukan, disinilah horror menyeruak masuk, menghentak jantung penonton ketimbang memperlihatkan wujud asli sang hantu.

Walaupun berkedok sebagai film horror, Pyewacket mampu tampil intens berkat suguhan drama yang menjadi jembatan penghubung ke ranah horror, menciptakan nuansa yang begitu relatable dan mungkin dari kita sebagai penonton pernah mengalaminya pada masa remaja yang penuh akan tanda tanya sekaligus masa pencarian jati diri. Leah mewakili itu semua, sosok yang begitu berambisi dan menganggap dirinya paling benar dan tak mau di gubris oleh siapapun, termasuk sang ibu. Momen kala Leah baru saja menyelesaikan ritual untuk sang ibu dengan luka bekas sayatan darah di tangan, sang ibu dengan sigap mengobati luka sang anak, kondisi ini menciptakan sebuah haru sekaligus rasa kesal yang membuncah.

MacDonald memang piawai membangun tensi, itu memang harus di akui berkat kinerja yang telah ia lakukan di sini. Di sisi lain kita menikmati sebuah drama, lalu kian cepat unsur horror di masukkan menciptakan korelasi yang begitu klop. Hukum kaukalitas memang di gunakan, namun terasa efektif ketika dua genre ini saling bersinambungan, sumbangsih membangun pondasi yang kuat yang mampu menopang cerita, sebuah penggunaan yang efektif kala budget yang begitu minim.

Berulang kali saya tertampar melihat adegan yang di sajikan di layar, begitu menampar dan menohok menyinggung sebuah tindakan yang tak di pikir panjang, luka memang terbalaskan, namun rasa penyesalan begitu lebih besar. Munoz dan Holden mewadahi kondisi yang bersebrangan itu kian meyakinkan. Konklusi memang tak menampilkan sebuah glorifikasi, namun MacDonald membuatnya begitu menusuk dan menampar karakternya sendiri. Tangis kini di tumpahkan oleh Leah setelah semuanya telah terjadi, bukannya penyesalan selalu datang terlambat?

SCORE : 4/5

Posting Komentar

0 Komentar