Kembang
Kantil adalah usaha Deeraj Kalwani untuk membersihkan noda yang melekat
pada dirinya sedari menggunakan K2K Production yang menghasilkan 35
judul yang rasanya saya tak kuat jika menyebutnya, pasca Gasing
Tengkorak (2017) dan Bayi Gaib: Bayi Tumbal Bayi Mati (2018) ia kemudian
menggunakan Dee Company dan bekerja sama dengan MD Pictures. Film
pertamanya sukses menampilkan Nikita
Willy dalam debut perdananya dalam lingkaran cerita yang maunya apa saya
pun tak tahu, yang jelas pasti film pertamanya itu membekas diingatan
saya karena sukses sebagai ajang promosi Villa extended version. Kembang
Kantil pun demikian, menempatkan Irish Bella beserta Nafa Urbach di
debut horor pertamanya yang sekali lagi mengikuti kualitas film pertama
dari sang Baginda.
Santi (Nafa Urbach) dan Anton (Fadika Royandi) adalah sepasang suami istri yang sudah lama belum memiliki momongan. Ia kemudian mendatangi sebuah panti asuhan yang dimiliki oleh Novi (Sarwendah) guna mengadopsi Tania (Richelle Georgete Skornicki) yang sangat pendiam dan jauh dari kesan periang. Bisa ditebak, kedatangan Tania justru memunculkan sebuah petaka dalam keluarga tersebut. Saya tak keberatan jika premis yang diusung oleh sebuah film horor begitu tipis asalkan storytelling serta eksekusinya berjalan rapi dan kontuniti. Namun apa yang saya harapkan tadi nyatanya harus dikubur lebih dalam kala film mulai bergulir dan terpaksa saya pun harus mengikuti alurnya sembari menahan dalam hati berceletuk "ini film maunya apa?"
Kedatangan Alisa (Irish Bella) kedalam keluarga sang kakak jelas digunakan sebagai penambah korban teror, Alisa yang mempersiapkan diri untuk teater pertamanya ini tak lain adalah sebagai upaya filmnya untuk berjalan sembari kunci terselesaikannya maslah yang kemudian dibantu oleh Aldy (Kevin Kambey) pengantar kembang kantil yang selalu dipesan oleh Santi dan tentunya secara kebetulan merupakan salah satu pemeran teater. Naskah garapan La Ode Muhammad Farhan (Rumah Belanda) jelas penuh dengan lubang, kala penokohannya yang tipis terus dipacu kencang oleh sang sutradara Ubay Fox yang jatuh dalam penggarapan seenaknya bermodal scoring keras pemekik telinga dan jump scare berupa kemunculan hantu yang sekejap lalu menghilang.
Kebiasaan Tania memakan kembang kantil memang gagal untuk menciptakan sebuah kecurigaan yang sedari awal sudah terendus penonton pasca sebuah kejadian di panti ataupun dalam posternya sekalipun menyatakan bahwa Tania memang sumber masalah film ini. Tak cukup sampai disana Kembang Kantil pun turut menghadirkan sebuah twist yang gagal tersaji baik akibat malasnya Ubay Fox menebar benih guna mencapai kesana. Twist yang baik adalah twist yang sedari durasi bergulir perlahan demi perlahan muncul yang nantinya tersusun rapi di konklusi. Namun Ubay Fox sendiri mengemasnya terlampau malas dan asal masuk yang mana tadinya bertujuan memunculkan sebuah shocking moment namun berujung kesan "ujug-ujug" yang begitu kusut.
Menonton filmnya pun saya merasa kehilangan logika dimana logika mesti dikesampingkan, bayangkan panti asuhan yang bak sebuah istana namun hanya diisi sepuluh anak namun masih menggunakan mesin tik tua kala perkembangan jaman semakin pesat ataupun Anton yang tak jelas pekerjaannya selalu mengenakan jas beserta sepatu fentofel hingga waktu tidur bahkan tokoh Aldy pun yang pemilik toko bunga yang dilanda kebangkrutan pun mesti mengantarkan pesanan sendiri menggunakan motor namun disisi lain ia ikut andil dalam teater. Sungguh "keujug-ujugan yang hakiki".
Kala memasuki konklusi 15 menit terakhir digunakan oleh Ubay Fox untuk memainkan slasher mengikuti trik Rocky Soraya yang mana satu tusukan pisau pun tak mampu membuat korbannya kehilangan nyawa serta modus operandi kematian karakter yang bak sebuah kemalasan dengan motif yang sama. Kembang Kantil semakin kehilangan daya akibat kurang mulusnya Ubay Fox mengeksekusi cerita, tak ada sebuah jembatan penghubung yang mana membuat tone serta pace filmnya luar biasa kasar, semakin diperparah kala para pemainnya pun bermain kurang meyakinkan memainkan ekspresi takut ditengah rentetan jump scare serta konklusi ujug-ujug yang begitu melelahkan.
SCORE : 1/5
0 Komentar