Tab

Ticker

6/recent/ticker-posts

ALAS PATI (2018)

Dilihat dari sampul posternya, Alas Pati begitu menjanjikan berkat paduan nuansa gelap hingga sesosok makhluk bahkan kuburan terkutuk pun eksis sebagai media promosi. Namun, sekali lagi ekspetasi enggan berjalan beriringan dengan realita. Alas Pati selain mengikuti pakem formula horor remaja yang gemar bertingkah bodoh sangat terlalu bodoh dalam beberapa aspek (sorry to say) termasuk penggunaan scoring menggelegar yang mengalahkan sepuluh toa sekalipun, gubahan Ricky Lionardi (Danur : Maddah, Bayi Gaib: Bayi Tumbal Bayi Mati) bahkan ketika karakternya pun menggunakan sebuah alat pendeteksi suara, ia pun tak ingin kalah saing dengan pengeras suara itu.

Ya benar, seperti yang telah saya singgung diatas, premisnya memang menjanjikan mengenai sebuah pelajaran kepada generasi milenial yang menghalalkan segala cara di dunia maya, salah satunya dengan masuk ke hutan bernama Alas Pati yang didalamnya terdapat sebuah kuburan terkutuk. Tengok karakter di film ini, Raya (Nikita Willy) merasa perjalanannya akan seru, Randy (Roy Sungkono) yakin video tersebut akan mendongkrak jumlah penonton, sementara Vega (Steffi Zamora) butuh uang untuk membayar indekos. Yang mana ketiga karakter tersebut mewakili pernyataan diatas. Tak butuh waktu lama teror pun muncul pasca sebuah insiden yang turut menewaskan teman mereka, Jessy (Naomi Paulinda) yang mereka tinggalkan di Alas Pati.

Alasan kebanyakan para penonton untuk menyaksikan film horor adalah menantikan teror yang dimunculkan yang mana menciptakan sebuah kesenangan tersendiri selain membangkitkan rasa takut. Apa yang diinginkan penonton pada Alas Pati demi mengharap teror yang begitu mengasyikam harus berujung kepada sebuah kesabaran yang lama akibat keenganan sang sutradara Jose Poernomo yang urung memunculkan teror dari wujud sang hantu, hanya menghiasinya dengan beragam penampakan sekilas yang mana itu bukanlah hantu. Saya heran karakter pada film ini acap kali salah tanggap dalam melihat, mereka tak bisa membedakan mana kaki hantu dan mana kaki manusia, ataupun mana rambut hantu mana rambut mahasiswi.

Ya, beragam penampakan yang menipu itu menciptakan sebuah kesan menjemukan, kala naskah dari Aviv Elham (Dubsmash, Arwah Tumbal Nyai the Trilogy: Part Arwah) terlalu sibuk mengurus beragam penampakan yang kemudian berujung hampa. Terlalu lama dalam memunculkan sosok hantu utamanya memunculkan kesan menjemukan kala menontonnya, hingga ketika rasa kantuk muncul sang hantu mulai menampakan wujud aslinya yang mana rasa kepercayaan penonton terhadap film ini telah luntur begitu saja.

Sayang sekali, mayoritas durasi hanya bersetting di rumah dan di kampus, urung memilih hutan yang mana lebih mencekam seperti kala sebuah insiden terjadi dikemas begitu solid. Sepanjang durasi saya ingin sekali melihat mereka meregang nyawa berkat sikap mereka yang semena-mena di Alas Pati atau ingin sekali melihat mereka dipenjara saking kesalnya saya dengan cerita film ini yang terkesan terlalu mengulur-ulur waktu yang kemudian nihil akan sebuah esensi.

Kepiawaian Jose terlihat justru ketika momen yang tak terduga muncul, seperti kala Randy tengah merekam jalanan yang membuat kepalanya hampir terserempet mobil atau insiden yang melatarbelakangi terciptanya sebuah teror yang mana lebih ampuh menyulut rasa takut. Namun aspek tersebut urung untuk diterapkan kembali dan memilih beragam penampakan yang sama sekali berujung menipu, apalagi semuanya turut diperparah oleh para pelakonnya yang kurang meyakinkan menghantarkan emosi ketakutan maupun menyulap dialog bernada obrolan sehari-hari terdengar realistis. Sungguh sebuah kekacauan yang luar biasa bodoh. Bahkan untuk ukuran film horor remaja sekalipun.

SCORE : 1.5/5

Posting Komentar

0 Komentar