Dilihat
dari sampul posternya, Alas Pati begitu menjanjikan berkat paduan
nuansa gelap hingga sesosok makhluk bahkan kuburan terkutuk pun eksis
sebagai media promosi. Namun, sekali lagi ekspetasi enggan berjalan
beriringan dengan realita. Alas Pati selain mengikuti pakem formula
horor remaja yang gemar bertingkah bodoh sangat terlalu bodoh dalam
beberapa aspek (sorry to say) termasuk
penggunaan scoring menggelegar yang mengalahkan sepuluh toa sekalipun,
gubahan Ricky Lionardi (Danur : Maddah, Bayi Gaib: Bayi Tumbal Bayi
Mati) bahkan ketika karakternya pun menggunakan sebuah alat pendeteksi
suara, ia pun tak ingin kalah saing dengan pengeras suara itu.
Ya benar, seperti yang telah saya singgung diatas, premisnya memang
menjanjikan mengenai sebuah pelajaran kepada generasi milenial yang
menghalalkan segala cara di dunia maya, salah satunya dengan masuk ke
hutan bernama Alas Pati yang didalamnya terdapat sebuah kuburan
terkutuk. Tengok karakter di film ini, Raya (Nikita Willy) merasa
perjalanannya akan seru, Randy (Roy Sungkono) yakin video tersebut akan
mendongkrak jumlah penonton, sementara Vega (Steffi Zamora) butuh uang
untuk membayar indekos. Yang mana ketiga karakter tersebut mewakili
pernyataan diatas. Tak butuh waktu lama teror pun muncul pasca sebuah
insiden yang turut menewaskan teman mereka, Jessy (Naomi Paulinda) yang
mereka tinggalkan di Alas Pati.
Alasan kebanyakan para
penonton untuk menyaksikan film horor adalah menantikan teror yang
dimunculkan yang mana menciptakan sebuah kesenangan tersendiri selain
membangkitkan rasa takut. Apa yang diinginkan penonton pada Alas Pati
demi mengharap teror yang begitu mengasyikam harus berujung kepada
sebuah kesabaran yang lama akibat keenganan sang sutradara Jose Poernomo
yang urung memunculkan teror dari wujud sang hantu, hanya menghiasinya
dengan beragam penampakan sekilas yang mana itu bukanlah hantu. Saya
heran karakter pada film ini acap kali salah tanggap dalam melihat,
mereka tak bisa membedakan mana kaki hantu dan mana kaki manusia,
ataupun mana rambut hantu mana rambut mahasiswi.
Ya, beragam
penampakan yang menipu itu menciptakan sebuah kesan menjemukan, kala
naskah dari Aviv Elham (Dubsmash, Arwah Tumbal Nyai the Trilogy: Part
Arwah) terlalu sibuk mengurus beragam penampakan yang kemudian berujung
hampa. Terlalu lama dalam memunculkan sosok hantu utamanya memunculkan
kesan menjemukan kala menontonnya, hingga ketika rasa kantuk muncul sang
hantu mulai menampakan wujud aslinya yang mana rasa kepercayaan
penonton terhadap film ini telah luntur begitu saja.
Sayang
sekali, mayoritas durasi hanya bersetting di rumah dan di kampus, urung
memilih hutan yang mana lebih mencekam seperti kala sebuah insiden
terjadi dikemas begitu solid. Sepanjang durasi saya ingin sekali melihat
mereka meregang nyawa berkat sikap mereka yang semena-mena di Alas Pati
atau ingin sekali melihat mereka dipenjara saking kesalnya saya dengan
cerita film ini yang terkesan terlalu mengulur-ulur waktu yang kemudian
nihil akan sebuah esensi.
Kepiawaian Jose terlihat justru
ketika momen yang tak terduga muncul, seperti kala Randy tengah merekam
jalanan yang membuat kepalanya hampir terserempet mobil atau insiden
yang melatarbelakangi terciptanya sebuah teror yang mana lebih ampuh
menyulut rasa takut. Namun aspek tersebut urung untuk diterapkan kembali
dan memilih beragam penampakan yang sama sekali berujung menipu,
apalagi semuanya turut diperparah oleh para pelakonnya yang kurang
meyakinkan menghantarkan emosi ketakutan maupun menyulap dialog bernada
obrolan sehari-hari terdengar realistis. Sungguh sebuah kekacauan yang
luar biasa bodoh. Bahkan untuk ukuran film horor remaja sekalipun.
SCORE : 1.5/5
0 Komentar