Dalam bahasa Indonesia, Hichki berarti cegukan. Kondisi ini merujuk
pada protagonis kita yang mengidap sindrom Tourette, sebuah kondisi di
mana seseorang mengeluarkan gerakan atau ucapan spontan tanpa mampu di
kontrol. Dari mulai suara-suara acak hingga sumpah serapah bisa saja
terjadi. Bagi penderita Tourette, berada di muka umum jelas bukanlah
sebuah perkara mudah, terlebih kurangnya
pemahaman terhadap sindrom ini bisa saja menimbulkan sebuah kondisi
miring. Dan disini protagonis kita adalah seorang guru yang harus
mengajar murid-murid yang luar biasa nakal, bahkan pihak sekolah
menyebutnya sebagai sampah yang lebih baik dimusnahkan.
Tentu seiring alur berjalan kita bersama sang guru bernama Naina Mathur (Rani Mukerji) akan mendapati sebuah pengalaman baru, baik itu bagi sang murid maupun sang guru. Naina memang kerap diremehkan oleh para muridnya, namun serupa karakter protagonis yang tak pantang menyerah Naina tetap teguh memberikan pelajaran sembari mengenal satu-persatu muridnya. Dari sini kita tahu bahwa sejatinya tak ada murid yang bodoh maupun bandel, melainkan mereka butuh perhatian khusus.
Naskah yang ditulis oleh empat orang termasuk sang sutradara, Siddharth P. Malhotra memang terlampau formulaik. Seiring durasi berjalan, seiring pula karakter kita menemukan sebuah pengajaran. Naina menerapkan metode belajar yang berbeda, misalnya menggunakan telur dan bola sebagai bahan pengajaran yang membuat sang oposisi, Wadia (Neeraj Kabi) guru dari 9A (kelas terbaik, sementara 9F yang diajar Naina adalah yang terburuk) yang berpikiran kolot serta meremehkan kredibilitas Naina. Pun jika mengutip dialog dari salah satu murid 9A “Kita memang beruntung, tapi mereka jelas sangat bahagia” kala mereka melihat murid 9F belajar sambil tertawa. Dialog Ankur Chaudhry memang tak masuk akal namun enak di dengar pula quotable.
Tentu keteguhan hati Naina akan meluluhkan hati murid 9F. Kita pula diajak untuk berkenalan dengan salah satu murid Naina yang bernama Aatish (Harsh Mayar) yang gemar berkelahi namun menyimpan perasaan terhadap salah satu murid 9A. Tentu kita tahu juga bahwa romantika mereka hanya sebatas sempilan guna menaikkan tensi di tengah cerita yang sangat predictable dan acap kali digunakan oleh film bertema serupa, sebutlah buatan lokal Aisyah Biarkan Kami Bersaudara.
Terlepas dari itu Hichki beruntung memiliki Rani Mukerji yang pasca “cuti melahirkan” kembali lagi menjamah dunia akting. Kepiawaian sang aktris peraih piala Filmfare terbanyak (7 kemenangan dari 17 nominasi) sama sekali tak terkikis kala sang aktris dituntut memainkan karakter denan sindrom Tourette, dalam beberapa adegan pun seperti yang telah nampak di trailer kita dengan sangat jelas dapat melihat kinerjanya yang bak sudah lama menderita Tourette. Inilah yang disebut totalitas.
Mengadaptasi buku Front of the Class: How Tourette Syndrome Made Me the Teacher I Never Had buatan motivator asal Amerika, Brad Cohen, Hichki seperti yang telah saya singgung di atas memang formulaik. Namun, seperti kebanyakan film bollywood belakangan tugasnya sebagai sebuah tontonan menginspirasi jelas terlaksana. Tangis haru maupun senyum lebar pasti datang kala melihat konklusi filmnya. Setidaknya ini sebuah pencapaian tersendiri bagi filmnya yang selain mengedukasi pula memberikan sebuah pemahaman terkait Tourette.
SCORE : 3.5/5
Tentu seiring alur berjalan kita bersama sang guru bernama Naina Mathur (Rani Mukerji) akan mendapati sebuah pengalaman baru, baik itu bagi sang murid maupun sang guru. Naina memang kerap diremehkan oleh para muridnya, namun serupa karakter protagonis yang tak pantang menyerah Naina tetap teguh memberikan pelajaran sembari mengenal satu-persatu muridnya. Dari sini kita tahu bahwa sejatinya tak ada murid yang bodoh maupun bandel, melainkan mereka butuh perhatian khusus.
Naskah yang ditulis oleh empat orang termasuk sang sutradara, Siddharth P. Malhotra memang terlampau formulaik. Seiring durasi berjalan, seiring pula karakter kita menemukan sebuah pengajaran. Naina menerapkan metode belajar yang berbeda, misalnya menggunakan telur dan bola sebagai bahan pengajaran yang membuat sang oposisi, Wadia (Neeraj Kabi) guru dari 9A (kelas terbaik, sementara 9F yang diajar Naina adalah yang terburuk) yang berpikiran kolot serta meremehkan kredibilitas Naina. Pun jika mengutip dialog dari salah satu murid 9A “Kita memang beruntung, tapi mereka jelas sangat bahagia” kala mereka melihat murid 9F belajar sambil tertawa. Dialog Ankur Chaudhry memang tak masuk akal namun enak di dengar pula quotable.
Tentu keteguhan hati Naina akan meluluhkan hati murid 9F. Kita pula diajak untuk berkenalan dengan salah satu murid Naina yang bernama Aatish (Harsh Mayar) yang gemar berkelahi namun menyimpan perasaan terhadap salah satu murid 9A. Tentu kita tahu juga bahwa romantika mereka hanya sebatas sempilan guna menaikkan tensi di tengah cerita yang sangat predictable dan acap kali digunakan oleh film bertema serupa, sebutlah buatan lokal Aisyah Biarkan Kami Bersaudara.
Terlepas dari itu Hichki beruntung memiliki Rani Mukerji yang pasca “cuti melahirkan” kembali lagi menjamah dunia akting. Kepiawaian sang aktris peraih piala Filmfare terbanyak (7 kemenangan dari 17 nominasi) sama sekali tak terkikis kala sang aktris dituntut memainkan karakter denan sindrom Tourette, dalam beberapa adegan pun seperti yang telah nampak di trailer kita dengan sangat jelas dapat melihat kinerjanya yang bak sudah lama menderita Tourette. Inilah yang disebut totalitas.
Mengadaptasi buku Front of the Class: How Tourette Syndrome Made Me the Teacher I Never Had buatan motivator asal Amerika, Brad Cohen, Hichki seperti yang telah saya singgung di atas memang formulaik. Namun, seperti kebanyakan film bollywood belakangan tugasnya sebagai sebuah tontonan menginspirasi jelas terlaksana. Tangis haru maupun senyum lebar pasti datang kala melihat konklusi filmnya. Setidaknya ini sebuah pencapaian tersendiri bagi filmnya yang selain mengedukasi pula memberikan sebuah pemahaman terkait Tourette.
SCORE : 3.5/5
0 Komentar