Tab

Ticker

6/recent/ticker-posts

EL (2018)

Diatas kertas, EL adaptasi novel karya Luluk HF sangatlah menarik. Disamping menampilkan romantika antara Dafychi (Aurelie Moeremans) gadis dengan tingkah liar nan bandel serta Mario (Achmad Megantara) si pria sukses nan ketus, misterius, kaku, canggung dan tentunya moody-an yang kerap ditakuti para bawahan. Dua karakter tersebut jelas mampu menghandirkan sebuah interaksi yang dirasa akan menarik disamping sifatnya yang saling bertolak belakang. Tambahkan sub plot berupa kepribadian ganda, semakin kompleks bukan?

Ya, ditengah Dafychi yang liar ia bisa saja berubah menjadi Dafyna, wanita manis pula sopan kala mendengar sebuah ledakan yang mana membuat Mario kelabakan. Namun menebak kepribadian Mario jauh lebih sulit ketimbang pergantian Dafychi-Dafyna. Pasalnya, sang aktor kurang memahami mana pria cool nan kaku-mana pria dengan kemampuan akting yang jauh dari standar. Pun jika menilik sisi psikologisnya pun, Maruo jelas masih menjadi pusat perhatian sang ibu (Merriam Bellina) yang eksentrik, atau pertemuannya dengan sang sahabat lama, Ando (Dimaz Andrean) pun antusiasmenya pun terlihat. 


Saya tak ingin menyebut kemampuan akting Achmad Megantara yang terlihat inkonsistensi-namun yang ingin saya tanyakan adalah perihal maskulinitas serta machismo yang dimilikinya. Ada satu adegan kala Mario dan Dafychi bertemu Alena (Dara Warganegara) mantan kekasih Mario, Alena menyapa Mario dengan membawa gandengan, lalu bertanya pada Mario mengenai siapa wanita yang menemaninya-lantas Mario menjawab "Ini adiknya Ando". Pria mana yang bersikap demikian? Pun melihat petualangan cinta Mario pun sang lelaki tidaklah nihil.


Memang menurut saya pribadi hal tersebut berada diluar kewajaran, namun menurut sang penulis naskah Djaumil Aurora (Mata Dewa, Bunda: Kisah Cinta 2 Kodi) hal tersebut merupakan sebuah kewajaran guna terciptanya sebuah konflik baru. Pada titik ini, saya pasrah meski sejatinya ingin menyerah ingin di bawa kemana oleh EL. Cukup saksikan dan tak perlu gunakan logika kala menontonnya mengikuti apa yang hendak diutarakan Findo Purwono HW (Assalamualaikum Calon Imam, Suster Keramas 2) sang sutradara.


Melihat premisnya yang turut melibatakan sebuah kepribadian ganda yang mana jarang dijamah oleh sineas kita, EL semestinya mampu tampil menarik lewat interaksi diatas. Terlebih keberadaan Aurelie yang terus menyuntikkan semangat ditengah filmnya yang kian surut, beberapa comic relief-nya pun mampu tersampaikan mulus, dan itu juga berkat kepiawaian sang aktris menghidupkan cerita.


Ada satu sub plot mengenai Sivia (Brigitta Cynthia) teman sekelas Dafychi sekaligus korban kekerasan fisik sang ayah. Menuju konklusi sub plot tersebut dimasukan yang mana memunculkan dua opsi: 1) Memasukan konflik. 2) Mengakhiri durasi filmnya sekaligus sebagai ajang resolusi utama permasalahan sang karakter. Sebenarnya ini mampu menjadi sebuah konflik yang baik jika ditempatkan pada tempatnya alih-alih dipaksa masuk. Walaupun demikian disini saya dapat melihat akting Verdi Solaiman yang dengan kemunculannya pun mampu menciptakan aura jahat. Verdi dan Aurelie layak mendapatkan film yang lebih daripada ini, pun sama halnya dengan EL.


SCORE : 2.5/5

Posting Komentar

0 Komentar