Diadaptasi
dari sebuah webtoon berjudul sama karangan Joo Ho-min, Along With the
Gods: The Two Worlds berbicara mengenai sebuah pengadilan di alam Baka
menurut kepercayaan para penganut Buddha Korea. Meskipun demikian, jika
diaplikasikan pada seluruh agama pun rasanya akan relatable. Karena
dalam semua agama pasti yakin dan percaya bahwa dunia
akhirat nyata adanya. Dan dalam tangan Kim Yong-hwa (turut merangkap
sebagai sutradara) bak sebuah gambaran yang memanjakan mata pula
memberikan sebuah perenungan kala bersamaan.
Seorang petugas pemadam kebakaran bernama Ja-hong (Cha Tae-hyun) meninggal akibat sebuah insiden ketika menyelamatkan seoarang anak kecil. Tanpa sadar, Ja-hong mendapati dirinya telah dijemput oleh para malaikat penjaga: Gang-rim (Ha Jung-woo), Haewonmak (Ju Ji-hoon), dan Duckhun (Kim Hyang-gi) yang bertugas untuk mengawal Ja-hong selama di dunia afterlife. Ja-hong harus menyelesaikan 7 pengadilan di alam baka dalam kurun waktu 49 hari. Jika dia dinyatakan tak bersalah dalam pengadilan tersebut, maka Ja-hong berhak untuk reinkarnasi ke kehidupan selanjutnya (baca: reinkarnasi).
Dalam masa pengadilan tersebut, Ja-hong akan ditentukan oleh sang hakim, sementara tiga para malaikatnya bertugas untuk membela Ja-hong supaya mereka dapat bereinkarnasi kembali sesuai dengan apa yang mereka inginkan. Along With the Gods: The Two Worlds berbicara secara terang-terangan mengenai fase afterlife, dan yang ditampilkan filmnya sendiri terasa dekat dengan kehidupan kita. Ja-hong harus melewati tujuh pengadilan: pengkhianatan, kekerasan, pembunuhan, kebohongan, ketidakadilan, ketidaksetiaan dan kemalasan. Tentu tujuh fase tersebut mungkin pernah kita lakukan, dan filmnya sendiri memberikan sebuah gambaran yang realistis sembari mengingatkan kepada kita bahwa apa yang kita lakukan di dunia akan dipertanggungjawabkan di akhirat.
Yong-hwa memberikan sebuah nuansa menonton yang begitu menegangkan pula dengan sangat cepat kita sebagai penonton untuk terkoneksi langsung dengan karakternya. Terlebih karena kita pernah berada di posisi Ja-hong. Ini yang saya suka dari film ini, bagaimana Yong-hwa memvisualisasikan lewat balutan CGI sangat out ot mind. Ada sebuah keindahan tercipta, pula kenyataan yang terhenyak.
Ya, dengan demikian saya yakin para penonton bakalan dealing dengan cerita, memberikan sebuah harapan terhadapa Ja-hong sembari merenung. Kala menontonnya pun hati saya terkoyak, memori melontarkan saya pada sebuah kesalahan yang serupa pernah saya lakukan di dunia nyata. Itu berarti, film dengan lancar menghantarkan emosi ditengah sebuah urgensi yang coba diutarakan filmnya.
Apa yang dicapai oleh Yong-hwa sudah berada pada sebuah batas yang turut menghantarkan rasa didalamnya, terlebih kala memasuki konklusi. Konklusi yang dirangkai oleh Yong-hwa bukan hanya menusuk, tapi memberikan sebuah gambaran yang pasti. Kala hati terhenyak dan terkoyak, saya pun tak sanggup mengutarakan kata lain selain berdiam diri, merenungi apa yang telah saya perbuat. Akankah saya seperti Ja-hong? Pertanyaan itu terus membayangi pikiran saya seusai menontonnya yang mana berarti yang disampaikan oleh Yong-hwa terlaksana. One of the best movie who ever made.
SCORE : 4.5/5
0 Komentar