Posesif
karya sutradara Edwin dalam film panjang pertamanya adalah sebuah film
romansa yang akan menampar kata "romantis" itu sendiri. Pasalnya, ini
bukanlah sebuah film remaja yang dipenuhi dengan rayuan gombal atau
adegan bergandengan tangan sembari menyuarakan kalimat "selamanya".
Dalam Posesif, kalimat itu justru menghasilkan sebuah teror yang
mencekam alih-alih romantis. Sebuah toxic relationship milenial yang begitu kuat dan mungkin terjadi di kehidupan nyata.
Ceritanya sendiri mengenai Lala (Putri Marino) adalah seorang siswa SMA sekaligus atlet loncat indah peraih medali PON, menemukan cinta pertamanya terhadap seorang siswa baru, Yudhis (Adipati Dolken). Sedari awal durasi bergulir, kepekaan Edwin yang dibantu naskah garapan Gina S. Noer (Rudy Habibie, Habibie & Ainun) sudah terasa begitu nyata berbekal adegan pembuka kala Lala hanya bisa melihat kaos kaki Yudhis di bawah meja hingga kedekatan yang merekatkan keduanya kala di hukum oleh guru olahraga galak (Ismail Basbeth). Adegan itu terasa sederhana, mampu menimbulkan benih asmara antara keduanya tanpa harus melulu melalui ungkapan bernada puitis.
"Cinta itu butuh perhatian supaya bertahan" begitulah kalimat dari Yudhis kepada Lala. Perhatian itu sanggup diberikan Yudhis kepada Lala, yang diwaktu bersamaan merasa dinomorduakan oleh sang ayah (Yayu Unru) yang juga seorang pelatihnya. Namun lama-kelamaan perhatian itu berubah menjadi sebuah kekangan. Yudhis membatasi aktivitas Lala, menjajah ruang privasinya, hingga mempersulit Lala untuk berkumpul bersama sang sahabat. Yudhis memang posesif. Namun apakah ayah Lala yang menekan sang anak untuk berprestasi dalam loncat indah serta ibu Yudhis yang memaksa anaknya untuk melanjutkan tradisi keluarga dengan kuliah di Bandung hingga pihak sekolah dengan segala peraturan ketatnya dikategorikan sebagai tindakan posesif?
Secara tersirat namun tepat, naskah Gina S. Noer menyatakan bahwa sifat dan tindakan posesif tak hanya terjadi pada remaja milenial yang tengah pacaran. Konsep posesif dipaparkan sebagai hasrat manusia untuk mengatur seseorang yang dirasa berharga, dimiliki maupun di bawah kendali, tidak membatasi umur ataupun siapa yang melakukannya. Terkait sebuah toxic relationship karakter utama, Edwin menolak untuk tampil fantastis. Ia memilih jalan linier, tanpa sebuah tikungan maupun kejutan yang mendadak. Fokus sepenuhnya ditujukan kepada kondisi psikis karakter.
Namun bukan pula tanpa tendensi yang kuat, Edwin mengajak penontonnya untuk menyelami lebih dalam alasan mengapa Yudhis bersikap demikian alih-alih hanya sebatas mencap maupun menghakimi tindakan Yudhis, dan itu semua memang make sense. Demikian pula dengan Lala, yang selalu menerima tindakan sang kekasih, ayah hingga ibu masing-masing. Segalanya memang sulit untuk dibenarkan, namun Posesif seperti yang telah saya singgung, mengajak penonton memahaminya agar terhindar dari sikap judgemental.
Tentu demi mendukung naskah yang tampil solid, performa harus berbanding lurus. Adipati Dolken sukses memerankan Yudhis dengan segala tindakan posesif yang menuju ke ranah abusive. Putri Marino, berbekal dengan rasa gelisahnya mampu memberikan lawan yang turut bersinergi terhadap cerita. Sementara Yayu Unru dan Cut Mini mewakili kurang cakapnya orang tua dalam melancarkan kasih sayangnya ketimbang sosok otoriter yang bengis.
Tak hanya soal cerita, Edwin dengan segala bekal kemampuannya dalam menangani film bernuansa arthouse di karya sebelumnya yang turut di bantu sinematografi dari Batara Goempar membungkus nuansa sederhana menjadi sebuah wahana yang kaya akan rasa. Iringan musik populer seperti lagu Dan milik Sheila on 7 serta No One Can Stop Us dari Dipha Barus pun melengkapi, menghidupkan filmnya tanpa harus terkesan pretensius.
SCORE : 4.5/5
0 Komentar