Sambut
Marlina Si Pembunuh Dalam Empat Babak yang dikirim sebagai perwakilan
Indonesia dalam nominasi "Best Foreign Film" di ajang bergengsi Oscar.
Tak salah keputusan Christine Hakim selaku ketua mengirim film ini yang
dijuluki sebagai Satay Western oleh kritikus perfilman ternama
internasional juga kesempatan Marlina Si Pembunuh Dalam Empat
Babak melanglang buana dalam berbagai festival mengukuhkan hal itu.
Inilah sebuah nafas baru di tengah perfilman Indonesia yang kerap
dicibir dan bahkan dianggap sebelah mata oleh beberapa kalangan.
Orang dibalik terciptanya Marlina Si Pembunuh Dalam Empat Babak
adalah Mouly Surya (fiksi., Don't Talk Love) yang berdasar atas
pengalaman nyata Garin Nugroho saat menyaksikan pemenggalan di Sumba,
naskah garapan Mouly bersama Rama Adi menempatkan seorang janda bernama
Marlina (Marsha Timothy) yang tengah berada dalam ancaman perampok. Sang
pemimpin, Markus (Egi Fedly) mendatangi Marlina, mengutarakan maksud
kedatangannya untuk merampok sekaligus memperkosa Marlina. Sebelumnya,
Marlina diancam haknya, sang perampok meminta Marlina dimasakan sup
ayam, sementara di pojok ruangan mayat suami Marlina menjadi saksi.
Sejenak hilangkan setting perampokan, maka kita akan mendapat gambaran
bahwa "wanita adalah pelayan lelaki".
Ucapan Markus kepada
Marlina bahwa ia adalah wanita beruntung bisa ditiduri delapan pria
sekaligus begitu menusuk. Sebab kalimat bernada serupa kerap
berseliweran di sekitar kita bahwa keberhasilan seorang wanita hanya
diukur dari bagaimana ia didapatkan (atau mendapatkan) pria, Marlina
hanya bisa diam menuruti perlakuan mereka sembari menatap mayat sang
suami, protagonis wanita kita ini sendiri tanpa pelindung bernama pria.
Namun, Marlina bukanlah wanita lemah, ia tak tinggal diam, mengeksekusi
para perampok dan bahkan tak segan memenggal kepala salah satu perampok.
Inilah akhir cerita babak pertama, The Robbery.
Sesuai
judulnya film ini tersusun atas empat babak: The Robbery, The Journey,
The Confession, The Birth. Keempat babak tersebuk saling bersinggungan
satu sama lain menjauhkan kesan filmnya dari kesan tambal sulam. Marlina
membawa kepala sang perampok sebagai bukti bahwa ia dirampok dan bahkan
diperkosa kepada sang polisi. Ditemani lanskap gersang pemandangan
Sumba, bidikan kamera Yunus Pasolang begitu berjasa, diiringi petikan
gitar hasil gubahan musik dari Zeke Khaseli dan Yudhi Arfani yang juga
memberikan sebuah cue kala masuk ke ranah komedi gelap. Serupa film
garapan Mouly sebelumnya, Marlina Si Pembunuh Dalam Empat Babak pun tak
kalah mampu menyentil bahkan menampar isu sosial yang jika ditilik dari
kacamata patriarki begitu kentara, dan mungkin terjadi sampai sekarang.
Sebutlah kritik mengenai kinerja para aparat serta respon publik
yang kerap mencibir korban pemerkosaan. Malah dalam satu kesempatan,
salah satu perampok bernama Frans (Yoga Pratama) mengutuk Marlina dengan
panggilan "Si Pembunuh" seolah lupa akan siapa pembunuh sebenarnya.
Mouly membungkus pesan feminisme dengan begitu kuat, turut hadir juga
kisah seorang wanita (diperankan Dea Panendra) yang sedang hamil tua,
memasuki bulan kesepuluh, yang kerap disalahkan sang suami (Indra
Birowo) akan kandungannya.
Ditengah suasana suram yang
dibangun oleh Mouly, penyutradaraannya pun kerap menambah unsur komedi
yang mampu menggelitik berupa sentilan komedi hitam yang turut
menyiratkan pesan. Dengan demikian, Marlina Si Pembunuh Dalam Empat
Babak tak lepas dari kinerja Marsha Timothy yang kembali mengukuhkan
kapasitasnya sebagai aktris multitalenta, sang aktris piawai
menyuntikkan emosi namun jarang meluapkannya, ekspresi wajahnya nampak
terbebani, namun tindakannya tanpa keraguan. Serupa dengan hal itu,
Mouly Surya turut berjasa besar, menghadirkan sebuah tontonan dengan
nafas segar namun mampu menyampaikan sebuah pesan yang tersirat maupun
tersurat begitu mulus. Konklusinya menjawab semuanya sempurna memaparkan
sebuah "kelahiran kembali" sembari menunjukan kekuatan tersebar seorang
wanita.
SCORE : 4.5/5
0 Komentar