Sambut
Pengabdi Setan garapan Joko Anwar yang merupakan remake dari film
horror cult tahun 1980 garapan Sisworo Gautama Putra, yang mestinya
menjadi patokan bagaimana para sineas negeri ini menggarap sebuah film
horor. Ditengah kegemaran para sineas film horor yang acap kali terjebak
pada pola klise berupa jump scare yang kemudian di iringi musik yang
berisik serta penampakan hantu yang menghentak, Joko justru menerapkan pola yang efektif yakni membangun sebuah kengerian.
Sedari awal opening muncul, kengerian atmosferik telah di sebar oleh Joko secara prematur, seperti tampak pada Mawarni (Ayu Laksmi) yang tengah berbaring tak berdaya serta mengucap dan merapal sesuatu, ini adalah salah satu kunci yang coba di sevar oleh Joko. Kemudian durasi bergulir memperlihatkan kondisi keluarga Mawarni setelah karir-nya sebagai seorang penyanyi meredup dan kemudian menyulitkan ekonomi keluarga. Rini (Tara Basro) mesti menjaga ketiga adik laki-lakinya, Suwono sang bapak (Bront Palarae) mesti menjual barang-barang rumah untuk bekal hidup, Toni (Endy Arfian) rela mengesampingkan kehidupan pribadi, begitupun dengan Bondi (Nasar Anuz) serta Ian (Muhammad Adhiyat) si bungsu yang bicara memakai bahasa isyarat.
Pasca merengek selama 10 tahun demi mengjejar Rapi Films untuk kemudian kembali membuat film Pengabdi Setan yang mana adalah film favorit sang sutradara, Joko Anwar. Kesungguhan Joko Anwar dalam memperhatikan semua aspek layak sekali di beri sebuah kehormatan sekaligus penghargaan (tak salah jika berbagai award mengganjar film ini). Teror mulai muncul kala sosok sang ibu meninggal dunia, disinilah kemampun Joko dalam menggarap kian membuncah, meniadakan jump scare serampangan serta membangun tensi terkait penokohan karakter yang kian ia perhatikan, yang mana ini sering di lupakan para sineas lokal.
Selain berkedok sebagai film horor, Pengabdi Setan adalah film yang mengetengahkan tentang keluarga, yang mana teror dalam film ini adalah sosok ibu yang lekat kaitannya dengan rasa nyaman sekaligus aman dan damai kala bersanding dengannya. Kecerdikkan Joko dalam mengetengahkan sajian horor serta keluarga makin lengkap kala ia kemudian membungkusnya menjadi berbagai momen yang menyeramkan, sebut saja momen kala melibatkan sumur, kursi roda, ataupun mengintip di balik pintu pun sangatlah berkesan dan menimbulkan kengerian, lebih tepatnya kala lonceng kemudian di bunyikan.
Bukan seorang Joko Anwar jika tak pandai memainkan alur yang saling menyambung, berbagai simbol kerap ia mainkan begitupun dalam penggunaan dialog yang kerap memancing perdebatan serta diskusi yang mengasyikkan. Ini yang saya suka dari seorang Joko Anwar jika menggarap sebuah film, tak sembarangan memasukkan adegan maupun dialog tanpa ada makna sekalipun. Begitupun kritikan ia sematkan pada sosok pemuka agama, sebagaimana memposisikan Ustad (Arswendy Bening Swara) layaknya manusia biasa yang merasakan kegamangan serta kehilangan.
Joko tak semata membungkus drama kekeluargaan dalam balutan horor, acap kali lontaran dialog berbasis comedy mampu tampil sebagai penyeimbang kala rehat sejena membangun teror, dan ini tak berujung merusak tensi, alih-alih semua paduan tersebut terasa klop. Pujian layak juga disematkan pada para pelakon cilik, Nasar Anuz dan Muhammad Adhiyat mampu berlakon dengan sangat baik, kala para pelakon cilik lain kurang bergeming dan mencuri perhatian karena bakat akting yang kurang terasah. Pengabdi Setan adalah sebuah paket lengkap dalam satu tontonan, drama keluarga serta teror atmosferik yang jauh dari kesan murahan. Begitupun dengan iringan lagu Kelam Malam milik The Spouse yang kian membuat bulu kuduk berdiri kala mendengarnya, sama halnya kala menyaksikan film ini.
SCORE : 4/5
0 Komentar