Inferiority
Complex. Demikian yang sering terjadi pada para penonton tanah air jika
melihat gebrakan baru para sineas kita. Alih-alih mendukung, mereka
hanya bisa mencibir dan bersikap apatis terhadap film macam Gerbang
Neraka ini. Saya selalu senantiasa mendukung perfilman tanah air untuk
bereksperimen asal karya tersebut di garap sedemikian baik dan apik.
Hingga kala menyaksikan film ini pun
saya begitu antusias, dan lucunya apa yang telah saya singgung di atas
justru sempat di singgung dalam filmnya sendiri.
Tak perlu jauh-jauh untuk menanyakan bagaimana kualitas visual effects film ini, karena film kita tengah merangkak, dan tak perlu membandingkannya dengan para sineas luar yang jelas adalah sebuah kebodohan. Gerbang Neraka tak hanya bermain di ranah horror melainkan menggabungkan sisi lain guna terciptanya sebuah relevansi yang memacu adanya perdebatan, seperti memadukan sains dan klenik yang mana dua hal tersebut saling beriringan dan berdistraksi satu sama lain. Karakter Arini Kumalasari (Julie Estelle) mewakili salah satu arkeolog yang tengah meneliti situs Gunung Padang, Cianjur. Begitupun dengan Guntur Samudra (Dwi Sasono) seorang paranormal yang terkenal berkat acaranya di sebuah televisi. Sedangkan Tomo Gunadi (Reza Rahadian) berada di tengah, seorang wartawan kritis yang kini bekerja di sebuah tabloid mistis, dan enggan mempercayai liputannya.
Ketiga karakter di atas jelas bersebrangan, hingga sebuah rentetan kematian misterius di Gunung Padang memaksa mereka untuk bekerja sama, berbicara melalui teori masing-masing dan kemudian mencari sebuah kebenaran. Tentu distraksi akan pendapat mereka akan terjadi, dan di sini menciptaan sebuah nuansa yang cukup memadahi untuk semua itu. Kala adegan bernada sains di gambarkan secara seadanya, pun itu tampil cukup memberikan nuansa penggambaran yang terhitung solid. Kecintaan Robert Ronny akan dunia arkeologi mampu tersampaikan, meski urung untuk bereksplorasi lebih dalam lagi.
Nuansa bernada scientific mungkin akan terasa keteteran, pun saya dapat pahami karena jelas film ini lebih condong ke arah horror-mystery. Untungnya penggabungan tersebut tak di paksa tampil untuk sok pintar, menggabungkan dan memberi bobot terhadap keduanya namun berakhir tak karuan. Pilihan tepat di enyam oleh Rizal Mantovani untuk mengarahkan film ini ke ranah horor, serta melengkapinya dengan jump scare yang terhitung efektif, tambahkan sosok Badurakh yang begitu mengerikan, meyakinkan Rizal bahwa ia adalah sosok yang piawai dalam menampilkan wujud sosok menyeramkan dalam setiap filmnya.
Memasuki paruh kedua, tensi cerita mulai keteteran, menciptakan sebuah kesan repetitif berupa penampakan berwujud yang kemudian memakan korban di malam hari, dan menciptakan kehebohan di pagi hari. Seolah kehabisan eksplorasi, naskahnya urung tampil lebih berani, meski semua itu tertutupi oleh apa yang telah saya singgung di atas, yang untungnya tak menghilangkan sebuah tensi. Julie Estelle tampil begitu meyakinkan keteguhan seorang Arini, Dwi Sasono mampu menyeimbangkan antara berlakon dalam ranah serius dan komedi, meski penonton akan keliru kala melontarkan sebuah tawa. Serahkan pada Reza Rahadian, yang mampu mengubah dialog chessy dengan intonasi yang begitu meyakinkan.
Third act-nya gagal mencapai sebuah klimaks yang mempovokasi. Dialog antara Reza Rahadian dan Lukman Sardi memang mampu memprovokasi serta menyinggung beberapa kalangan juga fakta akan sebuah kejadian yang akan terjadi. Namun seperti tak ingin menghindari sebuah kontroversi, Rizal menggarapnya kurang matang, gagal mencapai tujuan. Meskipun begitu, tata artistik piramid Gunung Padang buatan OrangeRoomCs (Demona, Jagoan Instan) tampil meyainkan berkat CGI yang tepat guna mewadahi tampilan utama filmnya. Ini alasan terpenting mengapa Gerbang Neraka perlu untuk ditonton.
SCORE : 3.5/5
Tak perlu jauh-jauh untuk menanyakan bagaimana kualitas visual effects film ini, karena film kita tengah merangkak, dan tak perlu membandingkannya dengan para sineas luar yang jelas adalah sebuah kebodohan. Gerbang Neraka tak hanya bermain di ranah horror melainkan menggabungkan sisi lain guna terciptanya sebuah relevansi yang memacu adanya perdebatan, seperti memadukan sains dan klenik yang mana dua hal tersebut saling beriringan dan berdistraksi satu sama lain. Karakter Arini Kumalasari (Julie Estelle) mewakili salah satu arkeolog yang tengah meneliti situs Gunung Padang, Cianjur. Begitupun dengan Guntur Samudra (Dwi Sasono) seorang paranormal yang terkenal berkat acaranya di sebuah televisi. Sedangkan Tomo Gunadi (Reza Rahadian) berada di tengah, seorang wartawan kritis yang kini bekerja di sebuah tabloid mistis, dan enggan mempercayai liputannya.
Ketiga karakter di atas jelas bersebrangan, hingga sebuah rentetan kematian misterius di Gunung Padang memaksa mereka untuk bekerja sama, berbicara melalui teori masing-masing dan kemudian mencari sebuah kebenaran. Tentu distraksi akan pendapat mereka akan terjadi, dan di sini menciptaan sebuah nuansa yang cukup memadahi untuk semua itu. Kala adegan bernada sains di gambarkan secara seadanya, pun itu tampil cukup memberikan nuansa penggambaran yang terhitung solid. Kecintaan Robert Ronny akan dunia arkeologi mampu tersampaikan, meski urung untuk bereksplorasi lebih dalam lagi.
Nuansa bernada scientific mungkin akan terasa keteteran, pun saya dapat pahami karena jelas film ini lebih condong ke arah horror-mystery. Untungnya penggabungan tersebut tak di paksa tampil untuk sok pintar, menggabungkan dan memberi bobot terhadap keduanya namun berakhir tak karuan. Pilihan tepat di enyam oleh Rizal Mantovani untuk mengarahkan film ini ke ranah horor, serta melengkapinya dengan jump scare yang terhitung efektif, tambahkan sosok Badurakh yang begitu mengerikan, meyakinkan Rizal bahwa ia adalah sosok yang piawai dalam menampilkan wujud sosok menyeramkan dalam setiap filmnya.
Memasuki paruh kedua, tensi cerita mulai keteteran, menciptakan sebuah kesan repetitif berupa penampakan berwujud yang kemudian memakan korban di malam hari, dan menciptakan kehebohan di pagi hari. Seolah kehabisan eksplorasi, naskahnya urung tampil lebih berani, meski semua itu tertutupi oleh apa yang telah saya singgung di atas, yang untungnya tak menghilangkan sebuah tensi. Julie Estelle tampil begitu meyakinkan keteguhan seorang Arini, Dwi Sasono mampu menyeimbangkan antara berlakon dalam ranah serius dan komedi, meski penonton akan keliru kala melontarkan sebuah tawa. Serahkan pada Reza Rahadian, yang mampu mengubah dialog chessy dengan intonasi yang begitu meyakinkan.
Third act-nya gagal mencapai sebuah klimaks yang mempovokasi. Dialog antara Reza Rahadian dan Lukman Sardi memang mampu memprovokasi serta menyinggung beberapa kalangan juga fakta akan sebuah kejadian yang akan terjadi. Namun seperti tak ingin menghindari sebuah kontroversi, Rizal menggarapnya kurang matang, gagal mencapai tujuan. Meskipun begitu, tata artistik piramid Gunung Padang buatan OrangeRoomCs (Demona, Jagoan Instan) tampil meyainkan berkat CGI yang tepat guna mewadahi tampilan utama filmnya. Ini alasan terpenting mengapa Gerbang Neraka perlu untuk ditonton.
SCORE : 3.5/5
0 Komentar