Tab

Ticker

6/recent/ticker-posts

AFTER SCHOOL HORROR 2 (2017)

Seperti judulnya, After School Horror 2 membawa penonton masuk ke dalam teror hantu dengan latar belakang sekolah, mengisi aktivitas remaja milenial dengan suguhan teror hantu ketimbang beramai-ramai mencari contekan ulangan maupun berselfie ria, polanya sederhana khas remaja masa kini yang tergila-gila akan cinta, itu yang dilakukan Putra (Devin Putra) untuk rela melukis wajah Sumarni tengah malam demi menerima tantangan dari Eva (Yoriko Angeline). Hal itu tentu membuat kedua sahabatnya, Rangga (Randy Martin) dan Sandra (Cassandra Lee) cemas, karena mereka tahu Eva adalah cewek matrealistis dan hanya memanfaatkan Putra. Disinilah yang namanya "berawal dari iseng berakhir dengan bencana".

Seperti kebanyakan para remaja di film yang kerap bertingkah bodoh dan enggan untuk berpikir dua kali menuju konsekuensi, After School Horror 2 pun bertindak demikian, menggambarkan kegilaan remaja milenial yang baru mengenal cinta dan merelakan serta menghalalkan segala cara demi mempunyai hubungan dalam ruang lingkup pacaran, terlebih ini adalah syarat dari sang pujaan hati, mana mungkin di tolak. Putra adalah contoh dari remaja masa kini yang saya rasa cukup rasional jika meniliknya dalam kehidupan nyata, karakternya terasa relatable dengan para remaja milenial, khususnya anak SMA kebanyakan. Namun ini berbicara mengenai Baginda Nayato Fio Nuala yang jelas mempunyai ambisi tingkat tinggi jika di hadapkan dengan yang namanya film horor, maka tak salah jika ambisinya melampaui batasan.

Batasan tersebut memang tak tanggung-tanggung, mengikuti perkembangan zaman yang kini sudah canggih, hantu dalam wujud perempuan pun tak lagi menakuti dengan tawa cekikikan melainkan dengan senapan sekaligus. What the fuck?? Hantu bawa Senapan? Tidak salah kah? saya tidaklah bercanda, seriusan dalam satu adegan di perlihatkan sangat jelas hantu perempuan membawa senapan. Entahlah ini bentuk modernisasi dalam mendukung kinerja serta kredibilitas hantu dalam menakuti, ataupun dalam bentuk parodi pemancing tawa. Namun adegan tersebut jelas menimbulkan tawa yang berkelanjutan bagi saya pribadi.

Naskah garapan Erry Sofid jelas terlampau simple dan sangat tipis sekalipun, menyerahkan sepenuhnya pada sang Baginda untuk berambisi sebebas-bebasnya, hantu di atas contohnya. Sangat luar biasa bukan? Saya sejatinya cukup menikmati film ini, selain karena saya adalah mantan remaja milenial yang pernah merasakan duduk di bangku SMA. Sehingga kala adegan satu kelas berubah menjadi hantu dan ingin mencekik Putra dengan senang hati saya nikmati, meskipun setelah itu adegan sering terasa menjemukkan. Durasi 78 menit sering diisi penampakan yang menggedor telinga daripada jantung, berisikna pun mengalahkan speaker active dengan volume full sekalipun.

Latar belakang mengenai gudang angker tempat hantu Sumarni sejatinya terlampau sangat generik dan dangkal, begitupun konklusi akhir menyoroti apa yang dilakukan Sumarni kala itu, yang turut memberi peran kepada Michelle Joan sebagai alumni SMA Kharisma sekaligus kakak dari Sandra untuk unjuk kemampuan, performa-nya enggan untuk menolong konklusi, selain karena naskah yang dangkal juga kemapuan Joan yang hanya bermodalkan pandangan kosong untuk menunjukkan ekspresi traumatik sekalipun.

Wahai para pembaca setia yang budiman, izinkanlah saya untuk mengakhiri ulasan film garapan Baginda Nayato Fio Nuala yang out of the box dengan ambisinya yang kelewat batas, terlalu naif jika saya tak mengakui kemampuan beliau dalam menciptakan sebuah modernisasi kepada hantu berwujud perempuan, ketika cekikikan tawa sudah begitu mainstream, senapan adalah gebrakan baru untuk hantu berwujud perempuan. Jadi, Hayoo siapa yang ingin melihat hantu perempuan bertarung mencari mangsa dengan menggunakan senapan?

SCORE : 1/5

Posting Komentar

0 Komentar