Debut
pertama Soleh Solihun dibangku sutradara (bersama Monty Tiwa) mengajak
para penonton mengenal kehidupan Soleh Solihun semasa kuliah di Bandung,
tentu begitu menarik kala orangnya turut langsung menggarap bahkan
memainkan perannya sendiri. Secara garis besar Mau Jadi Apa? adalah
sebuah film komedi, berbekal pengalaman itulah film ini tampil prima
lewat sentuhan komedinya yang mampu
tampil menggelak tawa bahkan pula menyisipkan sebuah poin tersendiri
yang tengah hangat dibicarakan, yakni mengenai kasus sexual abuse
allegation.
Selain pengejawantahan pengalaman Soleh sendiri
film ini seperti yang telah saya singgung diatas menyelipkan beragam isu
yang mampu menimbulkan isu penting nan relevan, contohnya kala Soleh
(diperankan sendiri oleh Soleh Solihun) bergabung sebagai wartawan
majalah kampus Fikom Unpad, Fakjat (Fakta Jatinangor) demi mendekati Ros
(Aurelie Moeremans). Persoalan sumbangsih mayarakat terhadap negara
disinggung kala iklim politik nasional sedang memanas pasca reformasi.
Berbekal kejadian dari sanalah Soleh dengan inisiatif membahas hal lain
seperti olahraga dan seni yang kurang terekspos dam kerap dipandang
remeh.
Bersama dengan kelima rekannya, Lukman (Boris Bokir),
Marsyel (Adjis Doaibu), Eko (Awwe), Syarif (Ricky Wattimena) dan Fey
(Anggika Bolsterli) mendirikan sebuah majalah alternatif bernama Karung
Goni (Kabar, Ungkapan, Gosip dan Opini) yang membahas tentang musik,
film, olahraga hingga kemudian berkembang membahas hal disekitar kampus
yang tak semuanya para mahasiswa tahu. Jelas sebuah upaya yang berat,
namun demi sebuah kebaikan mereka rela menguak bahkan mengkritik represi
media terhadap instansi demi melindungi nama perseorangan, dan lebih
besarnya negara sekalipun.
Disinilah fokus penting yang
paling utama tampil yang memberikan sebuagh kegampangan tersendiri di
konklusi, memang semuanya berjalan happy ending namun terlalu meremehkan
bahkan ditataran logika pun tak diterima oleh perseorangan, terutama
orang yang diangkat sebagai korban tadi. (SPOILER ALERT) Ketika konklusi
menampilkan sosok korban yang dilecehkan oleh sang Dosen, dengan
mudahnya film ini mengesampingkan hala terkait dampak tersebut. Benar
memang kebenaran patut untuk diungkap, namun bukan berarti harus
mengungkapnya tanpa seizin orang, terlebih ini adalah sebuah aib. Siapa
yang tak sakit hati atau mengalami luka batin kala aib tersebut tersebar
luas?
Memang konklusi tersebut bermasalah, namun sebagai
film komedi saya tetap menyarankan anda untuk menyaksikan film ini.
Soleh mampu menampilkan "kenakalan" mahasiswa dengan begitu asyik bahkan
segar, menggunakan meta jokes seperti Cek Toko Sebelah maupun Ariel
Noah sekalipun. Pun penonton mampu terkoneksi dengan cepat kala Soleh
menggunakan teknik breaking the fourth wall lewat filmnya ini. Menuju
paruh kedua, komedinya memang rawan jatuh pada sebuah kesan tak lucu,
namun berkat kinerja para cast terutama Anggika Bolsterli semuanya mampu
terjaga rapi, masih mencoba menampilkan sisi liar mahasiswa yang
menyenangkan.
Kehadiran Monty Tiwa turut berjasa menangani
sekuen dramatik, sebut saja ketika Eko yang begitu membenci ayahnya
karena kegagalan bisnisnya gagal menghantarkan Eko kuliah di Australia,
sementara bagi Lukman, Eko semestinya bersyukur karena sang ayah sudah
berusaha tak seperti ayahnya yang gemar berjudi. Konflik tesebut
sejatinya relatif dan bahkan mampu tampil bergejolak. Ingin saya
menyukai film ini, kalau bukan karena naskah garapan Soleh Solihun,
Khalid Kashogi dan Agasyah Karim terlalu menganggap remeh konklusi yang
penting itu.
SCORE : 2.5/5
0 Komentar