Tab

Ticker

6/recent/ticker-posts

JOMBLO (2017)


"Jomblo itu pedih Jendral!" begitu pula yang empat karakter film ini rasakan, pun demikian dengan saya yang masih menyandang status jomblo. Ejekan tak pernah usai terlepas dari mulut mereka yang telah memiliki pasangan, sehingga jalan untuk mencari gandengan serta sandaran hati pun patut untuk dilakukan. Empat karakter yang terdiri dari Agus (Ge Pamungkas), Olip (Deva Mahenra), Doni (Richard Kyle), dan Bimo (Arie Kriting) yang masih bersatus jomblo ini pun mencoba keluar dari belenggu tersebut, dan film ini pun menyoroti perjuangan mereka untuk melepas status jomblo.

Tentunya tak asik jikalau sebuah film mendapatkan tujuannya tanpa sebuah rintangan. Agus yang berambisi mengakhiri status jomblonya kala bertemu dengan Rita (Natasha Rizky), Olip yang memendam rasa terhadap Asri (Aurelie Moeremans ) bahkan untuk berkenalan pun ia tak sanggup. Doni si Playboy ganteng, serta Bimo yang tak hentinya menembak cewek, meski tolakan datang silih berganti. Keempat karakter dalam film ini memiliki wadah yang cukup sebagai bentuk sebuah remake Jomblo (2006) yang sangat fenomenal itu. Namun ada sebuah perbedaan yang sangat signifikan yang urung untuk dicapai, sebagaimana Jomblo (2006) raih pada masa itu.

Benar, modernisasi perlu untuk dilaukan pun dengan mempertahankan Hanung Bramantyo duduk di bangku sutradara adalah sebuah pilihan yang tepat. Skenario yang ditulis oleh Ifan Ismail serta sang penulis novel aslinya, Adhitya Mulya sukses menyeleraskan kisahnya terhadap masa kini, salah satu contohnya ialah memasukkan musik beraliran EDM. Namun perbedaan yang signifikan bukan terletak dari itu, ,melainkan sebuah keintiman serta kebersamaan khas sahabat yang melekat pada film terdahulunya. Benar, mereka sempat kumpul di kampus serta main di pantai bersama, namun rasanya semua itu kurang untuk menggambarkan sebuah rasa kebersamaan bersama sahabat.

Mau tidak mau saya harus membandingkannya dengan Jomblo (2006) yang kala itu berhasil berkat kejujurannya mengejawantahkan kehidupan para mahasiswa di tengah sebuah masa transisi yang lebih banayak diisi dengan sifat keliaran mereka, seperti menghisap ganja, mencoba seks bahakan merebut pacar sahabat. Poin terakhir di pertahankan, meski kehadirannya sendiri dihadirkan jinak. Hal inilah yang mengurangi esensi filmnya, terlampau jinak bukan berarti tampil begitu terlalu jinak, melainkan mampu berleluasa tampil dengan segala kejinakannya tanpa adanya sebuah kesan yang terlampau nanggung.

Mengenai karakter, Agus mendapat porsi yang lebih banyak. Ge memang piawai berlakon dengan segala kebodohannya. Namun dalam film ini karakternya hanya berjalan sambil lalu, sebatas artificial belaka. Richard Kyle berusaha sekeras mungkin tampil dengan dialog yang carut-marut ditengah body six pack-nya, kegilaan Bimo yang merupakan orang Papua yang lahir di Jogja sebatas menghiasi layar, tanpa adanya sebuah eksplorasi lebih terhadap asal-muasalnya, mengapa tidak dirubah secara menyeluruh? Pun sedari durasi berjalan tak ada sisipan humor terkait maupun sebuah singgungan di lain kesempatan. Karakter Olip-lah yang disini terasa kompleks, sehingga patut untuk disayangkan mayoritas filmnya tampil menyoroti Agus.

Pilihan sebuah konklusi yang menjadikannya bittersweet nihil sebuah dampak, benar persahabatan mereka diuji demi mempertahankan sebuah status, namun semuanya tampil terasa hampa. Bagaimana pun mereka adalah sahabat dekat, tapi sulit untuk merasakan sebuah keintiman dan kehangatan ataupun sebuah resolusi kala salah satu berselisih layaknya sebuah dinamika sebuah persahabatan. Saya begitu terenyuh kala Jomblo (2006) menampilkan Bimo-nya Dennis Adhiswara tersenyum pilu sambil dipeluk tiga sahabatnya. Membuat saya teringat akan sahabat dan ingin sekali merasakan sebuah pelukan hangat kala tertimpa sebuah masalah. Jomblo (2017) memang tak mempunyai itu, dan semakin mengukuhkan filmnya layaknya seorang remaja milenial, yang sebagian dari mereka tengah mengalami krisis identitas ditengah pencarian akan sebuah cinta.

SCORE : 2.5/5

Posting Komentar

0 Komentar