Ruqyah: The Exorcism menggunakan pakem yang sering kita temui dari film
yang mengangkat exorcism sebagai tumpuan film, tak jauh beda dengan apa
yang di lakukan oleh The Conjuring maupun The Exorcist, bedanya ini
menggunakan metode ruqyah, yang mana kita kenal sebagai sebuah metode
pengusiran entitas jahat dalam agama Islam. Jose Poernomo yang menukangi
film ini, yang mana Jose bukanlah
sutradara film horor kemarin sore, berbekal pengalaman yang pernah ia
emban selama menggarap film horor, Ruqyah: The Exorcism mungkin harus
berada jauh di bawah film garapannya sebelumnya, kala image film horor
yang ia usung berubah menjadi sebuah sajian penyulut tawa ketimbang
penyulut rasa takut.
Bukan tanpa alasan saya menyebut film ini
sebagai penyulut tawa, setidaknya saya dan mungkin anda yang sudah
menonton film ini tak sanggup menahan tawa kala melihat Asha (Celine
Evangelista) kesurupan roh jahat dan kemudian memanjat tembok layaknya
perlombaan pinjat pinang ataupun Bruce Wayne di film Batman Begins yang
kala itu tengah di ruqyah oleh Mahisa (Evan Sanders) seorang wartawan
yang entah asalnya dari mana, sedari opening bergulir ia merekam suara
di hutan kemudian bertemu dengan Asha seorang aktris yang kemudian
mengalami keluhan terkait jiwanya yang berasa tak beres, terlebih kala
ia kepanasan ketika mengambil air wudhu.
Pertemanan Asha dan
Mahisa terlampau sangat singkat, hanya karena Mahisa mengembalikan
dompet serta handphone Asha yang ketinggalan yang kemudian menjadi
partner bicara sekaligus penolong. Sulit untuk menemukan chemistry yang
klop di antara mereka. Durasi berjalan secara generik dimana Mahisa
mulai mencari tahu apa yang terjadi dengan Asha yang kemudian di temukan
bahwa Asha di tanami jin supaya karir dan juga kekayaan melesat. Tak
ada elaborasi lebih dalam terkait hal yang melatar belakangi hal itu
selain sebagai jalan guna cerita demi cerita bergulir.
Ruqyah:
The Exorcism memang menggunakan formula yang generik, dan saya tak
menyalahi keputusan akan hal itu, melainkan penggunaan judul ruqyah itu
sendiri yang hanya sebatas tempelan belaka, sebagai jalan serta cara
untuk mengakhiri konklusi bukan mengenai elaborasi terkait apa yang di
alami Asha, selain kita hanya di suguhi Asha yang kerap kesurupan dan
tenggelam dalam halusinasi, sementara Mahisa unjuk gigi membacakan
lantunan ayat suci Al-Qur'an ketimbang membawa Asha langsung kepada
Kiai.
Kebodohan naskah garapan Jose Poernomo dan Baskoro Adi
Wuryanto jelas tak kepalang, mulai dari dialog yang terdengar ajaib bin
aneh, adegan pun demikian, seperti ketika Mahisa membawa Asha ke sebuah
rumah kosong daripada keputusan akhir yang di tampilkan konklusi
membawanya pada seorang Kiai (Alfie Affandy). Setidaknya penonton di
ajak terlebih dahulu menyaksikan ekspresi Evan Sanders kala membaca
istighfar yang begitu datar serta make up ajaib serta bulu mata lentik
dari Celine Evangelista yang bak make up permanen, bahkan air wudhu pun
tak mampu menghapus tata rias tersebut.
Ada niatan untuk
membuat jump scare terasa efektif dan creepy namun ini adalah film
exorcism maka di buat sebanyak mungkin-lah adegan tersebut, setidaknya
itu yang ada di pikiran Jose Poernomo yang justru menenggelamkan
kemampuannya dalam membuat film horor dan menyulapnya menjadi sajian
film horor dengan rasa tawa yang sulit di bendung, ketimbang ketakutan
yang harusnya muncul.
SCORE : 1.5/5
0 Komentar