Tab

Ticker

6/recent/ticker-posts

HUJAN BULAN JUNI (2017)


Hujan Bulan Juni merupakan adaptasi dari novel puitis buatan Sapardi Djoko Darmono, dimana dalam tuturan novel tersebut mengisahkan seorang pria bernama Sarwono (Adipati Dolken) dan Pingkan (Velove Vexia) yang mengajar di Universitas Indonesia. Sarwono lebih memilih menuliskan puisi sebagai media untuk berbicara jujur mengenai isi hati kepada Pingkan, terlebih terhadap kekhawatirannya saat ini kala Pingkan hendak melanjutkan kuliahnya selama dua tahun di Jepang. Alasannya Katsuo (Koutaro Kakimoto), pria asal Jepang yang merupakan alumni UI yang akan menemani studinya.

Sebelum kepergian Pingkan ke Jepang, kita diajak terlebih dahulu menghabiskan awal durasi guna melihat romansa mereka, ikut terhanyut kala lantunan puisi kerap dibawakan oleh Sarwono yang memberikan sebuah makna filosofis bernada puitis yang romantis. Ditemani bidikan kamera dari Faozan Rizal membungkus momen tersebut begitu indah, mulai dari deburan ombak, bunga sakura hingga neon salib yang menyala, menuturkan kehidupan masing-masing karakternya, khususnya masalh terkait perbedaan suku dan keyakinan (Sarwono adalah Jawa-Islam, Pingkan Manado-Kristen).


Namun naskah garapan Tittien Wattimena enggan untuk menjustifikasi permasalahan tersebut, membiarkan cinta turut menyatu dan meleburkan perbedaan diantara mereka. Hestu Saputra (Cinta Tapi Beda, Air Mata Surga) selaku sutradara lebih memfokuskan filmnya terhadap pergolakan batin karakternya, terlebih Sarwono yang tengah dilanda keresahan dan bimbang yang luar biasa mengenai nasib cintanya selanjutnya, terlebih pasca kunjungannya bersama Pingkan ke Manado, begitu melelahkan hati. Namun Sarwono enggan menyerah meski hadir sosok Benny (Baim Wong) pria perwakilan dari masa lalu Pingkan yang juga menaruh hati padanya.


Ya, Hujan Bulan Juni lebih memfokuskan pada studi karakter yang kemudian disiratkan dalam puisinya. Sulit memang jika mencerna tiap bait demi bait yang berisi analogi perasaan itu, yang kemudian menjadi sebuah kendala kala di visualisasikan dalam sebuah layar. Jika dalam novelnya sendiri bermain dengan imaji sang pembaca, dan disinipun penyutradaraan Hestu sedikit kelabakan menyuratkan semua pesan penting tersebut.


Namun romantika antara Sarwono-Pingkan berjalan begitu natural, saling bertukar omongan ringan yang membuat mereka gampang untuk disukai. Adipat Dolken leluasa bermain dengan pergolakan batin yang hebat disamping raut wajahnya yang menyiratkan semua itu, sementara Velove Vexia mampu membuat Pingkan layak untuk dipuja pula dicinta. Sehingga kehadiran Surya Saputra dan Baim Wong pun turut termakan umpan yang juga menimbulkan sebuah momen komedik disaat bersamaan.


Sayangnya penyutradaraan Hestu kembali menemui titik terlemahnya kala konklusi yang terlalu buru-buru dibalik menyuratkan sebuah puisi dalam novelnya. Ya, seperti yang telah saya singgung diatas, Hujan Bulan Juni penuh akan kata analogi dalam balutan puisi, sehingga tatkala ditampilkan tak berjalan mulus, sensitivitasnya hilang dan terkesan terlalu buru-buru ditengah monotonitas alur yang ia bangun yang untungnya tak melucuti semua aspek yang telah dibangun sedari awal.


SCORE : 3.5/5

Posting Komentar

0 Komentar