Gasing
Tengkorak mengangkat salah satu fenomena yang berasal dari Minang,
yakni Gasing Tengkurak yang mana adalah sebuah ilmu untuk membunuh
orang, sangat menarik memang jika kita menilik pada premis yang di
usung. Namun nyatanya sekali lagi harus kita terapkan bahwa biasanya
"ekspetasi enggan untuk berjalan beriringan dengan realita", Gasing
Tengkorak pun demikian.
Menandai ini adalah film terakhir yang di garap oleh Jose Poernomo
(Jailangkung, Ruqyah: The Exorcism) pada tahun lalu, Gasing Tengkorak
bercerita mengenai Veronica (Nikita Willy) seorang diva yang
mengasingkan diri pasca pingsan di tengah-tengah konser. Hendak ingin
beristirahat dan menenangkan diri di tengah jadwal tour yang padat,
Veronica justru mendapati dirinya di serang bahkan di teror oleh sesosok
makhluk berwujud wanita yang membawa gasing juga sesosok hantu anak
kecil berkepala tengkorak. Malang nian nasibmu my dear.
Anda
tentu menunggu aksi teror dari sang hantu bukan? begitupun sama halnya
kala kita menonton film horor, sebelumnya anda harus bersabar selama 30
menit lamanya, karena sebelum teror di mulai, anda akan menyaksikan
extended version with Nikita Willy sekaligus iklan sebuah rumah yang
maha luas, dengan balkon yang besar, kolam renang nyaman dan aman
sekaligus lapangan basket. Belum lagi di belakang rumah terdapat
pemandangan dengan kebun teh yang maha luas sekalipun, yang bahkan jika
saya ingin membeli pun rasanya tak sanggup dengan modal hanya isi
dompet, di tambah lagi kita menyaksikan Nikita Willy yang tengah
bernyanyi ala Krisyanto dalam lagu Putri, bermain PlayStation VR bahkan
berlenggak-lenggok memakai wig sekalipun, maka, nikmat mana yang kamu
dustakan?
Namun, ini adalah film horor, dan tentunya bukan
iklan rumah yang tak mampu saya beli. Gasing Tengkorak justru menyalahi
rule, seperti yang saya telah singgung di atas, Gasing Tengkorak adalah
ilmu membunuh orang, dan seperti yang telah di tampilkan di opening
(sekaligus dalam mantra) ketika gasing terhenti, nyawa korban pun
terhenti. Namun fakta di lapangan adalah sebaliknya, nyawa Vero tak
kunjung terhenti sesuai yang penonton inginkan, eeh... maaf saya
melantur, maksud saya nyawa sang hantu perempuan.
Niat Jose
Poernomo serta sang penulis naskah Baskoro Adi Wuryanto memang mulia,
yakni menghadirkan sebuah ledakan berupa twist, namun bukannya sebuah
twist yang mampu membuat tertegun penontonnya, melainkan sebuah twist
yang justru menyalahi aturan bahkan mengkhianati apa yang telah susah
payah di bangun lebih awal, alhasil apa yang saya rasakan ketika film
berakhir adalah perasaan hampa sekaligus kosong.
Ada sebuah
niatan dalam menciptakan sebuah ketegangan yang berujung pada ranah tipu
muslihat yang mencoba mengoles mengenai sebuah disorder, perlu di
tekankan, ini adalah film horor! bukannya saya melarang penggunaan twist
melainkan ini sama sekali tak ada hubungannya. Nikita Willy yang
memulai debutnya bermain dalam genre horor tak tergolong buruk ketika
bermain melalui ranah ekspresi dan ketakutan, begitupun nilai plus mampu
disematkan kala pembangunan jump scare begitu meyakinkan, meski
kemudian harus di rusak kala scoring berisik serta teror berbasis
hentakan merusaknya secara sekaligus.
SCORE : 1/5
0 Komentar