Umumnya
film yang berlokasi tunggal atau juga sering disebut dengan one place
show, protagonis berada pada satu ruangan tertutup layaknya Ryan
Reynolds di film "Buried'' maupun James Franco di film ''127 Hours"
karena beragam alasan. Jelas yang sering diutamakan dari premis ini
adalah kesan klaustrofobik yang digunakan sebagai senjata utama untuk
memancing ketegangan dan tentunya
menyulut atensi dari penonton. The Wall karya sutradara Doug Liman (The
Bourne Identity, Mr. & Mrs. Smith, Edge of Tomorrow) yang turut
dibantu oleh naskah olahan Dwain Worrell mengangkat situasi yang
bertolak belakang. Ketimbang kungkungan serta kereman ruang tertutup,
gurun lapang nan gersang di Irak jadi tempat yang menakutkan dengan
sebuah tembok rapuh beas sekolah yang menjadi pemisah antara "dead or
alive" serta "now or never" sang protagonis.
Di tengah
perang Irak, Sersan Allen Isaac (Aaron Taylor-Johnson) dan Sersan Kepala
Shane Matthews (John Cena) sedang menginvestigasi lokasi konstruksi
pipa tempat pembantaian kepada para petugas dan pekerja keamanan.
Setelah 22 jam nihil peristiwa, mereka menyatakan bahwa situasi aman dan
pelaku telah pergi. Namun tatkala Matthews hendak mengambil sebuah
radio milik salah satu korban, peluru penembak misterius mengenainya.
Usaha Isaac menyelamatkan sang rekan justru turut tertembak, bahkan
radio dan botol minuman miliknya pun ikut hancur. Bersembunyi di balik
tembok, Isaac menyadari lawannya adalah Juba (disuarakan oleh Laith
Nakli), seorang penembak jitu yang telah membawa maut bagi 35 prajurit
Amerika.
Aspek utama yang perlu diperhatikan dalam menggarap
sebuah film one place show adalah intensitas, dengan menghabiskan watu
di suatu tempat dan kurangnya para pelakon kesan monotan kerap timbul,
otomatis pundak utama berada pada sang protagonis, Aaron Taylor-Johnson
yang durasinya dihabiskan untuk berbaring di gurun mampu menampilkan
sebuah performa yang kuat, yang mati-matian berjuang untuk hidup sembari
mengatur strategi untuk keluar dari tempat itu dan kemudian selamat.
Meski di paruh awal tampil sedikit monoton serta first act ala kadarnya,
namun Itu semua cukup tampil baik, terlebih dengan ia menuju paruh
kedua dengan sebuah strategi terkait obrolannya dengan Juba yang memang
seolah mengetahui keberadaannya secara jelas dan tentunya selangkah
lebih maju darinya.
Worrell memang mendefinisikan naskahnya
tampil ringan, bak ibarat kamu tengah bercerita dengan seseorang
ditengah rasa panik lewat telepon, begitupun yang terjadi disini, dialog
yang ringan serta mampu membangun sisi psikologis sang karakter, dan
tentunya menyindir pihak Amerika serikat selaku penjajah Irak. Alhasil
koneksi antara Isaac dan Juba bisa dibilang cukup kuat, dengan segala
hambatan serta kelebihan Juba yang dipanggil "haji" (sebutan tentara
Amerika untuk orang Irak atau Afghanistan), gemar membaca bait puisi
Edgar Allan Poe kala Isaac yang hanya kenal dengan Shakespeare. Inilah
sebuah pemandangan ketika penjajah dibodohi yang dijajah, dan pihak
Superior terlihat kerdil pengetahuannya dibanding para "teroris" yang
dianggap musuh.
Masalah yang dimiliki film ini adalahsoal
aspek psikis, kalimat tulisan Worrell memang terlampau dangkal guna
membangun permainan yang memikat serta obrolan yang terjadi antara Isaac
dan Juba kurang menggali sebuah gambaran yang memang lebih dari sekedar
seorang manusia, kelebihan masing-masing karakter kurang di gali secara
dalam, begitupun yang berakibat pada penonton yang hanya menyaksikan
mereka tanpa sebuah ikatan maupun koneksi, hanya menyaksikan saja tanpa
adanya sebuah simpati maupun empati terhadap karakternya yang
diakibatkan lagi oleh kurang jelasnya seluk beluk mereka dari kelalaian
menjabarkan sebuah alasan.
Jelas sekali jikalau kita
mendengar nama sutradara Doug Liman memang sutradara kelas wahid yang
mampu bermain dengan segala spectacle yang ia miliki lewat karyanya yang
biasa tampil leluasa, namun seperti Isaac, Liman sendiri masih kurang
bisa memanfaatkan "ruang sempit" sebagai kajian utama, memang beberapa
aspek mampu ia mainkan secara baik, termasuk hadirnya sebuah kejutan
menjelang ending, ketiadaan musik mampu membuat film ini oke demi
menghindari kesan over, namun setidaknya The Wall sendiri mampu
mengalir rapi sehingga nyawan untuk diikuti.
SCORE : 3/5
0 Komentar