Astro
Boy, Dragonball : Evolution, dan The Last Airbender adalah beberapa
film adaptasi asli dari Jepang yang berhasil di remake ulang oleh
filmmaker di ranah Hollywood, beberapa film yang saya sebutkan diatas
tak mampu menghasilkan sebuah suguhan yang bisa di bilang berada di
level atas, tak kapok dengan hasil film yang telah terlebih dahulu
mengalami prdikat "failed" sutradara
film Snow White and The Huntsman mencoba unjuk jari untuk menggarap
sebuah remake dari manga asal Negeri Sakura yang berjudul sama, karangan
Masamune Shirow, lantas bagimana hasilnya?
Disebuah kota
tanpa nama yang penuh dengar hingar bingar teknologi yang begitu canggih
yang kemudian memungkinkan pencangkokkan otak manusia dalam tubuh
robot, salah satu dari sekian banyak korporasi yang giat menyatukan
manusia dengan robot adalah Hanaka Robotics, berbagai eksperimen untuk
menyempurnakan robot acap kali gagal yang berujung mengecewakan, sampai
pada akhirnya Dr. Outlet (Juliette Binoche) dan CEO Hanaka, Cutter
(Peter Ferdinando) berhasil mengembangkan produk sempurna dalam wujud
Mira Killian (Scarlett Johansson) yang kemudian menempati posisi Major
dalam sebuah tim anti terorisme, Section 9, dibawah kepemimpinan Chief
Daisuke Aramaki (Takeshi Kitano). Bersama dengan Batou (Pilou Asbaek)
Mira mencari dan menelusuri kejahatan terhadap Hanaka Robotics, yang
belakangan terkuat yakni sang pelaku adalah Kuze (Michael Pitt).
Ditengah-tengah melakukan penyelidikan terhadap Kuze, Mira kerap
dibayangi oleh kenangan masa lalu yang kemudian berujung pada sebuah
pertanyaan terhadap dirinya, siapa ia sebenarnya?
Gedung-gedung yang menjulang tinggi, ramainya orang yang lalu lalang
serta lengkap dengan kemewahan futuristik lengkap dengan sebuah hologram
raksasa kerap kamu saksikan di film ini, nuansa cyberpunk yang sangat
kental akan membuat kamu seolah berada pada dunia virtual yang kamu
saksikan, dan itu yang membuat film ini terasa betah untuk dinikmati,
tata artistik yang begitu memikat lewat sinematografer seorang Jess Hall
begitu membua mata betah serta karater yang bisa dibilang unik hingga
hadirnya robot Geisha kian membuat film ini semakin keren lewat suguhan
tata gambar yang memang sudah tak bisa diragukan lagi.
Seperti yang sudah saya gambarkan secara gamblang diatas, film garapan
Rupert Sanders begitu mewah diluar lengkap dengan segala tetek bengek
dunia virtual yang kaya akan teknologi, namun Ghost in the Shell, rapuh
di dalam, ia mengalami sebuah krisis identitas, oke ia memang mewah
disegi artistik namun naskah garapan Jamie Moss, William Wheeler dan
Ehren Kruger terlalu malas untuk bergerak ke level yang paling tinggi,
tak mampu memberikan sebuah sokongan yang kuat terhadap jalur cerita
hingga segala glamour yang ia punya terasa hampa dan urung untuk
dimanfaatkan, serupa dengan Snow White and The Huntsman, Rupert Sanders
memang tak mau beranjak dengan ciri khas yang terus melekat sangat erat
pada dirinya, ia terlalu mengandalkan tata layar dengan suguhan yang
memikat serta sang karakter utama dengan segala kharisma serta
keunggulan yang ia punya, Scarlett Johansson tampil oke disini lengkap
dengan balutan robotic serta nude slimsuit yang begitu mencolok, namun
semua itu terasa kosong.
Alhasil, kamu hanya akan
menyaksikan gemerlap nan megah futuristik dan artistik yang dihasilkan
lengkap dengan aksi baku hantam dan tembak dari seorang ScarJo, tak
peduli dengan banyaknya slow motion yang tampil lalu lalang serta
sedikit sentuhan study character yang berjalan cukup oke, Ghost in the
Shell memang tampil malas dibalik kemewahan artistik yang ia punya, ia
hanya fokus untuk menguak jalan cerita secara datar tanpa adanya sebuah
visi dan misi yang tampil kuat dan sebuah value yang oke terkait jalan
cerita.
SCORE : 2.5/5
0 Komentar