Tab

Ticker

6/recent/ticker-posts

7 HOURS TO GO! (2016)

Sejak opening-nya bergulir, 7 Hours to Go! jelas menggugah mata, menampilkan sebuah aksi perampokan berkedok lalu kemudian di iringi sebuah perlawanan baku hantam, ini adalah sekuen dimana saya dan tentunya anda sukai, karena selain menggugah mata, ia juga turut menjaga atensi lalu kemudian membuat kita terjaga untuk tetap menikmati durasi demi durasi film berjalan. Begitulah setidaknya apa yang ingin di utarakan oleh Saurabh Varma selaku sutradara yang merangkap sebagai penulis naskah, jelas seperti itu!

Setelah opening yang menggugah mata terlewati, penonton di ajak untuk melihat aksi Arjun Ranavat (Shiv Pandit) yang menyandra tujuh orang lelaki selepas kematian, Maya (Natasa Stankovic) di depan matanya. Menyandra tujuh orang lelaki bukan saja tanpa maksud, melainkan guna melampiaskan amarah sekaligus rasa sedih atas kematian orang terkasih dengan kurun waktu tujuh jam untuk meminta polisi menindaklanjuti kasus tersebut, maka di utuslah ACP Nandini Shukla (Sandeepa Dhar) guna mengawasi segala tindak-tanduk yang bisa saja di lakukukan oleh Arjun Ranavat. Disinilah sebuah konspirasi dimulai!

Bukan sebuah barang baru jika melihat sebuah sajian aksi yang mengkritisi pihak berwajib dalam menangani kasus yang acap kali lalai di lakukan, ini bisa saja menjadi sebuah distraksi yang saling bersebrangan antar pihak berwenang yang lalai dalam menangani atau justru tengah mencari namun urung jua terselesaikan. Tak heran jika orang yang di tinggalkan menuntut sebuah tanggung jawab, mana yang sebenarnya benar dan siapa yang harus bertanggung jawab atas sema ini? Disinilah sebuah pertanyaan itu dimainkan oleh Varma guna menyulut terjadinya sebuah aksi. Memang terkesan klasik, namun Verma sendiri cukup piawai menjaga tensi hingga penonton pun turut percaya mengikuti kasus ini.

Dalam eksekusinya jelas konspirasi demi konspirasi dimainkan, ego saling bersebarangan, amarah semakin membuncah, serta rasa kehilangan yang begitu besar muncul pada karakter, namun disinilah apa yang harus di benahi oleh Verma. Karakter memang cukup memadahi untuk mewadahi semua itu jikalau eksekusi yang diejawantahkan oleh Verma berbanding lurus. Aksi boleh saja menarik, namun sekali lagi ini bukan hanya melibatkan aksi saja, aspek yang mendasari dari terciptanya sebuah aksi itulah yang terasa hilang. Sehingga film hanya berjalan tanpa adanya sokongan yang kuat sebagai pondasi utama.

Saya acap kali terganggu kala Saurab Verma terlalu menekankan aksi slow motion yang tiap kali adegan aksi berlangsung pasti ikut serta, entah itu sebagai bentuk sebuah keperkasaan karakter atau style belaka, yang jelas pasti itu semua terasa corny menurut saya pribadi. Belum lagi karakter yang terlalu banyak mengharuskan Verma untuk membagi layar karakter berunjuk gigi menjalankan sebuah aksi, alhasil semuanya tak mampu sumbangsih memberi daya pikat yang kuat, hanya lalu lalang kemudian pergi, terlepas dari seberapa pentingnya karakterisasi yang mereka bawa, ini yang membuat saya terganggu setelah penggunaan teknisi diatas.

Semuanya di akhiri begitu saja lewat sebuah twist yang memutar balikkan fakta yang membuat saya tertipu, yang dalam artian terasa terkhianati. Bukannya menakjubkan, melainkan terkesan mengkhianati persepsi sedari awal, untuk apa hasilnya demikian jikalau nihil sebuah esensi serta partisipasi yang cukup memadahi, untungnya saja atensi sukses di jaga oleh Verma yang tak melucuti semua itu, meski di beberapa aspek jelas terpampang nyata lubang yang ia miliki serta konklusi yang teramat nihil sebuah esensi.

SCORE : 2.5/5

Posting Komentar

0 Komentar