Sejak
opening-nya bergulir, 7 Hours to Go! jelas menggugah mata, menampilkan
sebuah aksi perampokan berkedok lalu kemudian di iringi sebuah
perlawanan baku hantam, ini adalah sekuen dimana saya dan tentunya anda
sukai, karena selain menggugah mata, ia juga turut menjaga atensi lalu
kemudian membuat kita terjaga untuk tetap menikmati durasi demi durasi
film berjalan. Begitulah setidaknya apa
yang ingin di utarakan oleh Saurabh Varma selaku sutradara yang
merangkap sebagai penulis naskah, jelas seperti itu!
Setelah
opening yang menggugah mata terlewati, penonton di ajak untuk melihat
aksi Arjun Ranavat (Shiv Pandit) yang menyandra tujuh orang lelaki
selepas kematian, Maya (Natasa Stankovic) di depan matanya. Menyandra
tujuh orang lelaki bukan saja tanpa maksud, melainkan guna melampiaskan
amarah sekaligus rasa sedih atas kematian orang terkasih dengan kurun
waktu tujuh jam untuk meminta polisi menindaklanjuti kasus tersebut,
maka di utuslah ACP Nandini Shukla (Sandeepa Dhar) guna mengawasi segala
tindak-tanduk yang bisa saja di lakukukan oleh Arjun Ranavat. Disinilah
sebuah konspirasi dimulai!
Bukan sebuah barang baru jika
melihat sebuah sajian aksi yang mengkritisi pihak berwajib dalam
menangani kasus yang acap kali lalai di lakukan, ini bisa saja menjadi
sebuah distraksi yang saling bersebrangan antar pihak berwenang yang
lalai dalam menangani atau justru tengah mencari namun urung jua
terselesaikan. Tak heran jika orang yang di tinggalkan menuntut sebuah
tanggung jawab, mana yang sebenarnya benar dan siapa yang harus
bertanggung jawab atas sema ini? Disinilah sebuah pertanyaan itu
dimainkan oleh Varma guna menyulut terjadinya sebuah aksi. Memang
terkesan klasik, namun Verma sendiri cukup piawai menjaga tensi hingga
penonton pun turut percaya mengikuti kasus ini.
Dalam
eksekusinya jelas konspirasi demi konspirasi dimainkan, ego saling
bersebarangan, amarah semakin membuncah, serta rasa kehilangan yang
begitu besar muncul pada karakter, namun disinilah apa yang harus di
benahi oleh Verma. Karakter memang cukup memadahi untuk mewadahi semua
itu jikalau eksekusi yang diejawantahkan oleh Verma berbanding lurus.
Aksi boleh saja menarik, namun sekali lagi ini bukan hanya melibatkan
aksi saja, aspek yang mendasari dari terciptanya sebuah aksi itulah yang
terasa hilang. Sehingga film hanya berjalan tanpa adanya sokongan yang
kuat sebagai pondasi utama.
Saya acap kali terganggu kala
Saurab Verma terlalu menekankan aksi slow motion yang tiap kali adegan
aksi berlangsung pasti ikut serta, entah itu sebagai bentuk sebuah
keperkasaan karakter atau style belaka, yang jelas pasti itu semua
terasa corny menurut saya pribadi. Belum lagi karakter yang terlalu
banyak mengharuskan Verma untuk membagi layar karakter berunjuk gigi
menjalankan sebuah aksi, alhasil semuanya tak mampu sumbangsih memberi
daya pikat yang kuat, hanya lalu lalang kemudian pergi, terlepas dari
seberapa pentingnya karakterisasi yang mereka bawa, ini yang membuat
saya terganggu setelah penggunaan teknisi diatas.
Semuanya
di akhiri begitu saja lewat sebuah twist yang memutar balikkan fakta
yang membuat saya tertipu, yang dalam artian terasa terkhianati.
Bukannya menakjubkan, melainkan terkesan mengkhianati persepsi sedari
awal, untuk apa hasilnya demikian jikalau nihil sebuah esensi serta
partisipasi yang cukup memadahi, untungnya saja atensi sukses di jaga
oleh Verma yang tak melucuti semua itu, meski di beberapa aspek jelas
terpampang nyata lubang yang ia miliki serta konklusi yang teramat nihil
sebuah esensi.
SCORE : 2.5/5
0 Komentar