Dalam
medium sebuah karya, salah satunya film memang dituntut untuk
bereksplorasi selebar dan seluas mungkin. Itu mutlak untuk dilakukan.
Caranya bagaimana? jelas banyak sekali, baik itu berupa kritikan ataupun
sindiran selaku media menyampaikan pendapat, yang mana ini adalah unsur
terpenting dalam mengambil sebuah intisari yang akan disampaikan oleh
si pembuat film itu sendiri ke
penontonnya. Namun bagaimana jika sebuah film comedy dengan sentuhan
religi ini terus-menerus berceramah sebanyak dan sesering mungkin,
bukankah lebih bagus jika intisari filmnya tak di utarakan secara
non-verbal, karena saya percaya penonton yang pintar akan lebih puas
jika menerima intisari tersebut dengan sendirinya. Insya Allah Sah memang enggan untuk mengikuti formula demikian, alih-alih beceramah
tanpa henti.
Silvi (Titi Kamal) tengah di repoti oleh urusan persiapan pernikahannya dengan Dion (Richard Kyle) yang tiap hari selalu dirundung rintangan yang tak ada ujungnya, termasuk momen ketika lamaran pun urung untuk terlaksana. Belum lagi kehadiran Raka (Pandji Pragiwaksono) pria lugu anak buah Dion yang selalu hadir dimanapun Silvi berada untuk menasihati Silvi untuk rajin beribadah sesuai nazar yang telah Silvi buat ketika terjebak di dalam sebuah lift bersama Raka. Benarkah semua kesialan itu ada hubungannya dengan nazar Silvi yang urung ia tepati?
Pesan yang diusung oleh Insya Allah Sah memanglah baik dan tak bisa untuk saya pungkiri. Menepati sebuah nazar jelas penting, terlebih ini adalah nazar kepada Tuhan. Seperti yang telah saya singgung di atas, akan lebih baik jika semua ini dapat penonton petik sendiri ketimbang dituturkan secara tak henti oleh sosok pria yang lugu, yang mana terlihat seperti anak kecil yang sering menginvasi ruang personal wanita. Raka memang berniat baik, mengingatkan Silvi untuk menepati janjinya yang mana juga termasuk salah satu perbuatan mulia dalam agama. Namun jika ia terus hadir tanpa henti hingga menelpon Silvi tengah malam guna mengingatkan janji yang telah Silvi buat, bahkan hadir di depan pintu rumah Silvi tanpa di undang sekalipun dengan pesan masih sama seperti di atas. Bukankah ini terlihat mengerikan? Ini lebih terlihat seperti stalker yang jauh lebih mengerikan.
Benni Setiawan sang sutradara sekaligus merangkap sebagai penulis naskah yang ia sadur dari novel karangan Achi TM memang kurang berkreasi, mengandalkan momen repetitif kemunculan Raka secara tiba-tiba yang turut pula ia jadikan sebagai comic relief yang mengerikan alih-alih menyenangkan. Pandji Pragiwaksono memang tampil sekuat dan semaksimal mungkin, namun tokoh Raka sendiri urung memberikan sebuah kesan untuk disukai oleh penonton. Richard Kyle mempunya dua opsi untuk di perbaiki, berakting dengan luwes atau berdialog bahasa Indonesia baik dan benar. Sementara itu, Titi Kamal adalah roda utama penggerak film ini, mencibir sesuka hati lewat kata-kata pedas hingga bertingkah konyol sekalipun, konsisten menggelakkan tawa meski tak di dukung sumber materi yang sepadan sekalipun.
Disamping unsur comedy yang dijajah oleh ajakan preachy, Insya Allah Sah memegang peranan penting seputar "keruwetan persiapan pernikahan" yang mesti kita simak dan di jadikan sebagai fokus utama, namun kekurangan daya sekali lagi menghampiri, tanpa adanya sebuah eksplorasi tegak untuk berdiri sendiri. Sekali lagi, Insya Allah Sah berkutat pada pola yang sama, yakni berceramah tanpa henti dan urung mengendurkan otot urat kita sebagaimana menyaksikan sebuah film komedi, terasa aneh memang film dengan nuansa komedi justru dijajah seorang man child begini.
SCORE : 1.5/5
Silvi (Titi Kamal) tengah di repoti oleh urusan persiapan pernikahannya dengan Dion (Richard Kyle) yang tiap hari selalu dirundung rintangan yang tak ada ujungnya, termasuk momen ketika lamaran pun urung untuk terlaksana. Belum lagi kehadiran Raka (Pandji Pragiwaksono) pria lugu anak buah Dion yang selalu hadir dimanapun Silvi berada untuk menasihati Silvi untuk rajin beribadah sesuai nazar yang telah Silvi buat ketika terjebak di dalam sebuah lift bersama Raka. Benarkah semua kesialan itu ada hubungannya dengan nazar Silvi yang urung ia tepati?
Pesan yang diusung oleh Insya Allah Sah memanglah baik dan tak bisa untuk saya pungkiri. Menepati sebuah nazar jelas penting, terlebih ini adalah nazar kepada Tuhan. Seperti yang telah saya singgung di atas, akan lebih baik jika semua ini dapat penonton petik sendiri ketimbang dituturkan secara tak henti oleh sosok pria yang lugu, yang mana terlihat seperti anak kecil yang sering menginvasi ruang personal wanita. Raka memang berniat baik, mengingatkan Silvi untuk menepati janjinya yang mana juga termasuk salah satu perbuatan mulia dalam agama. Namun jika ia terus hadir tanpa henti hingga menelpon Silvi tengah malam guna mengingatkan janji yang telah Silvi buat, bahkan hadir di depan pintu rumah Silvi tanpa di undang sekalipun dengan pesan masih sama seperti di atas. Bukankah ini terlihat mengerikan? Ini lebih terlihat seperti stalker yang jauh lebih mengerikan.
Benni Setiawan sang sutradara sekaligus merangkap sebagai penulis naskah yang ia sadur dari novel karangan Achi TM memang kurang berkreasi, mengandalkan momen repetitif kemunculan Raka secara tiba-tiba yang turut pula ia jadikan sebagai comic relief yang mengerikan alih-alih menyenangkan. Pandji Pragiwaksono memang tampil sekuat dan semaksimal mungkin, namun tokoh Raka sendiri urung memberikan sebuah kesan untuk disukai oleh penonton. Richard Kyle mempunya dua opsi untuk di perbaiki, berakting dengan luwes atau berdialog bahasa Indonesia baik dan benar. Sementara itu, Titi Kamal adalah roda utama penggerak film ini, mencibir sesuka hati lewat kata-kata pedas hingga bertingkah konyol sekalipun, konsisten menggelakkan tawa meski tak di dukung sumber materi yang sepadan sekalipun.
Disamping unsur comedy yang dijajah oleh ajakan preachy, Insya Allah Sah memegang peranan penting seputar "keruwetan persiapan pernikahan" yang mesti kita simak dan di jadikan sebagai fokus utama, namun kekurangan daya sekali lagi menghampiri, tanpa adanya sebuah eksplorasi tegak untuk berdiri sendiri. Sekali lagi, Insya Allah Sah berkutat pada pola yang sama, yakni berceramah tanpa henti dan urung mengendurkan otot urat kita sebagaimana menyaksikan sebuah film komedi, terasa aneh memang film dengan nuansa komedi justru dijajah seorang man child begini.
SCORE : 1.5/5
0 Komentar