Ada
beberapa alasan yang mendasari bahwa Danur: I can see ghosts yang
berdiri dibawah produksi Pichouse (anak dari MD Pictures) patut begitu
dinanti kehadirannya. Pertama, film ini diangkat dari sebuah novel
"Gerbang dialog danur" yang mana ini adalah pengalaman asli dari sang
penulis sekaligus musisi Risa Saraswati.
Kedua, film ini dibintangi oleh Prilly Latuconsina yang mana adalah
seorang aktris muda yang multitalented sekaligus mempunyai penggemar
yang sangat masif, juga kehadiran Shareefa Daanish yang bisa dibilang
"Ratu horor modern Indonesia". Ketiga adalah promosi yang begitu gencar
dilakukan, baik itu lewat media sosial maupun layar televisi serta media
lain seperti radio dan kanal YouTube, hingga tak heran jika "Danur"
menjadi film Indonesia yang menduduki tingkat pertama sebagai film
terlaris sekaligus mendapat gelar dari rekor muri sebagai "film horor
pertama terlaris dalam beberapa hari penayangannya" sangat jelas memang
jika menilik tulisan diatas "Danur" sendiri berprestasi dengan potensi
yang dimilikinya, Namun pertanyaannya adalah apakah "Danur" yang telah
menorehkan prestasi di segi komersil dan penghargaan berbanding lurus
dengan kualitas yang dihasilkannya?
Di ulang tahun
kedelapan, Risa kecil (Asha Kanyeri Bermudez) berharap menemukan kawan
untuk mengusir rasa kesepiannya akibat selalu ditinggal sang ibu
(Kinaryosih) bekerja serta sang ayah yang bekerja di luar negeri.
Harapan Risa terkabul, ia tak sendirian lagi sekarang, ia berteman
dengan tiga bocah berdarah Belanda yang bernama Peter (Gamaharitz),
William (Wesley Andrew) dan Janshen (Kevin Bzezovski Taroreh). Sang ibu
kerap mengalami hal aneh terjadi pada Risa, ia sering berbicara dan
bermain sendiri, dan terlebih ia tak bisa melihat apa yang dikatakan
Risa terkait temannya. Ketakutan dan kecurigaannya akan sang anak
datang, ia kemudian memanggil seseorang yang pintar, terungkap bahwa
Peter, William dan Janshen adalah makhluk halus, tak ingin putrinya
celaka ia pun membawa pergi Risa. Selang sembilan tahun, Risa (Prilly
Latuconsina) kembali ke rumah masa kecilnya itu guna menjaga sang nenek
(Ingrid Widjanarko) bersama sang adik, Riri (Sandrinna Michelle
Skornicki). Serentetan peristiwa janggal pun sekali lagi menyambut Risa
terutama setelah mereka kedatangan seorang perawat yang misterius
bernama Asih (Shareefa Danish) yang kentara menyimpan sebuah agenda
terselubung dibalik kedatangannya.
Di tangan Awi Suryadi
selaku sutradara, Danur bisa dibilang mampu tampil untuk memikat dibalik
beberapa potensi myang telah ia miliki, adegan awal film langsung
dibuka dengan nuansa sunyi dengan adegan dimana Risa memainkan piano
dalam keadaan bersedih sembari menyanyikan lagu "Boneka Abdi" yang kerap
dinyanyikan di beberapa scene lainnya, reaksi awal yang saya lihat dari
"Danur" adalah sebuah gelaran yang memikat dimana Awi disini sangat
lihai dan leluasa memainkan teknik visualisasi juga sembari membawa
penonton ke sebuah jalur koneksi dengan karakter, memang nuansa aneh
yang kental dengan rasa sunyi yang merambat naik ini sangat lihai
dimainkan oleh Awi disini, apalagi setelah ia mencoba bermain dengan
sebuah keanehan terkait "Asih" ia makin menaikan tensi yang ia miliki
dengan scoring yang menghentak yang siap membuat bulu roma kamu naik.
Namun ketika adegan bergulir maju, Awi Suryadi yang dibantu oleh
sokongan naskah dari Lele Laila dan Ferry Lesmana kian kendor, apa yang
kamu rasa dengan karakter Risa setelah ia mengalami kejadian atas
kehadirannya Asih berjalan layaknya film horor generik, masalahnya? Awi
Suryadi sejatinya mulai kehilangan performa tatkala ia menjejali adegan
dengan trik memunculkan penampakan sang hantu, sehingga apa yang
seharusnya dialami oleh karakter terkait rasa cemas bisa dibilang
terlalu overkill, begitupun dengan penonton yang mulai hilang koneksi
terkait cerita dan hubungannya dengan karakter. Ditemani jumpscare yang
menghentak serta dijejali dengan penampakah hantu Asih yang kerap muncul
tatkala karakter tengah beraktivitas nyatanya terasa menjemukan bagi
kamu yang biasa menonton film horor, mungkin bagi yang jarang atau tak
terbiasa menonton film horor memang trik yang ditampilkan terasa ampuh.
Alhasil, apa yang seharusnya memukau justru tampil mengecewakan,
terlebih kurang tereksposnya karakter Risa yang dimainkan oleh Prilly
Latuconsina secara mumpuni, begitupun dengan Shareefa Danish yang ampuh
membuat kengerian mulai dari sorot matanya terasa menjemukan tatkala
adegan close up terlalu sering diumbar, padahal baik Prilly maupun
Shareefa dapat tampil sangat memukau dang menghasilkan duet terbaik
jikalau masalah teknis tak terasa over.
Serupa tapi tak sama
dengan ''Wewe" garapan Rizal Mantovani, film ini bertindak sebagai sebuah
aksi penyelamatan, lihat saja adegan konklusi dari karakter Risa yang
bertarung bak film Insidious lengkap dengan tata lampu merah dengan
sedikit cahaya hijau, memang terasa ampuh namun tak berarti
menyelamatkannya dari berbagai kesalahan yang telah dilakukan, apalagi
tata make up Ingrid Widjanarko yang terasa kurang pas dan match dengan
muka yang terasa tak rata dan terkesan menonjol yang mampu menarik gelak
tawa, Kinaryosih serta Indra Brotolaras dan para pemeran hantu bocah
Belanda cukup tampil oke disini, meski keberadaannya tak terlalu
terekspos disini. Danur memang sangat berpotensi menjadi sebuah suguhan
horor yang mumpuni, namun sayang apa yang dilakukan oleh Awi Suryadi
kelewat over di segala teknik disini, bak ibarat kamu makan dengan
masakan yang enak, namun perlahan kamu mulai merasa kekenyangan dan
memakan makanan tadi terasa hambar. Saya selalu berharap dan menunggu
dari seorang Awi Suryadi, terlebih jika ia melakukan perbaikan nanti di
franchise "Danur" yang konon berjudul "Maddah" yang tak lain adalah
novel kedua lanjutan dari Danur sendiri.
0 Komentar