Critical
Eleven karya duet Monty Tiwa dan Robert Ronny tak ubahnya film romansa
lainnya yang diangkat dari sebuah novel rekaan Ika Natassa, menampilkan
sebuah balada antara dua sejoli yang tengah di mabuk asmara lengkap
dengan setting New York yang begitu bak sebuah cerita
lengkap yang di impikan penonton. Namun apa yang membedakannya di sini
adalah caranya yang tampil begitu prima, tak hanya bermodalkan dua insan
yang di mabuk asmara yang kemudian harus melewati sebuah batu kehidupan
yang menerpa mereka, pada guliran 15 menit pun kita mendapati karakter
sudah bersama, namun permalasahannya sendiri datang tatkala ketika
mereka sudah bersama, bagaimana mereka kembali membangun puing demi
puing kehidupan mereka yang telah terhempas badai?
Istilah Critical Eleven sendiri berasal dari dunia penerbangan yang mempunyai makna 11 menit paling menentukan keselamatan penumpang yang terbagi pada 3 menit selepas take off dan 8 menit jelang landing. Istilah itu kemudian di alegorikan pada kisah dua sejoli yang secara tak sengaja bertemu di sebuah pesawat dan menemukan kecocokan satu sama lain, mereka adalah Ale (Reza Rahadian) seorang pekerja di sebuah oil rig dan Anya (Adinia Wirasti) seorang konsultan manajemen, dua pasutri muda yang tinggal di New York selepas menikah, kebahagian demi kebahagian mulai dirasakan oleh pasutri muda ini, terlebih setelah Anya dinyatakan hamil, kebahagiaan pun makin memuncak, sampai sebuah insiden terjadi, memutar balikkan keadaan menjadi duka yang kemudian menyulut terjadinya sebuah perpecahan akan rumah tangga mereka.
Satu hal yang membuat Critical Eleven terasa begitu mengasyikkan adalah cara Monty Tiwa dan Robert Ronny yang ditunjang naskah dari Jenny Jusuf, Monty Tiwa, Robert Ronny, dan Ika Natassa memadukan serta memanfaatkan elemen cerita yang terdiri dari cinta, asmara dan penerimaan. Memasuki elemen cinta, ia begitu mengajak penonton untuk dekat dengan karakter Ale dan Anya yang kemudian menampilkan sebuah rasa simpati pada karakter, di buat begitu manis lagi tatkala chemistry Reza-Adinia begitu memikat, menggambarkan sepasang pasutri yang sempurna, dambaan penonton.
Memasuki tahap kedua megenai sebuah duka, Tiwa dan Ronny kemudian mampu menyuntikkan sebuah duka yang begitu mendalam, bukan hanya sebatas salah paham belaka, melainkan isu terkait siapa yang benar dan siapa yang salah, kedua-duanya memang berada pada tanggapan masing-masing, memunculkan sebuah ego antara cinta dan benci, sesekali muncul cinta, benci kemudian membayangi serta kejadian terkait hal yang membuat mereka terpuruk bukan hal yang sepele, melainkan sebuah hal yang mereka nantikan keadaannya namun kemudian harus berujung pahit. Jelas itu memunculkan sebuah impak yang tak hadir begitu mudah, konflik semakin pelik tatkala dua karakter ini kian mampu menuturkan sebuah rasa yang menyulut terjadinya sebuah hubungan yang sesekali bisa saja rapuh.
Bukannya ingin bersembunyi di balik kenyataan, dua karakter ini kian maju tatkala masing-masing dari mereka ingin menerima masing-masing. karena kuatnya sebuah hubungan baik itu pertemanan, keluarga maupun suami-istri adalah menerima segala kekurangan dan kelebihan yang mereka miliki, yang kemudian akan mengalahkan ego masing-masing. Namun mengalahkan ego memang bukanlah sebuah perkara yang mudah, Robert-Tiwa tampil begitu memukau tatkala turut melibatkan keluarga, sehingga momen yang terbaik disini adalah tatkala Ale dan sang ayah (Slamet Rahardjo) serta Anya dan sang ibu (Widyawati Sophiaan) berbagi cerita terkait masalah mereka dan kemudian menemukan titik terang permasalahan tersebut, momen itu berjalan begitu melancholy, romantic, and meaningful at the same time.
Begitupun dengan karakter lainnya seperti adik Ale (Revalina S. Temat dan Refal Hady) serta teman kerja Anya (Hamish Daud, Hannah Al Rashid dan Astrid Tiar) hadir menemani dua karakter, kehadiran mereka bukan berarti kosong, melainkan turut memberikan sebuah dukungan kepada masing-masing karakter sehingga terciptalah sebuah relasi yang benar-benar kuat. Menjelang pertengahan, Monti Tiwa dan Robert Ronny yang berpacu dengan durasi 132 menit tampil terlalu over dan sedikit menurunkan tensi terkait duka yang sedikit terkesan berlarut-larut dan terasa repetitif seperti adegan menangis, meratap atau memandang kosong. Semua itu sejatinya tak perlu, karena sejatinya raut muka Adinia maupun Reza pun telah mendeskripsikan itu semua.
Ditemani lagu "Sekali Lagi" milik Isyana Sarasvati yang turut memberikan sebuah atmosfer terkait rasa, serta bidikan kamera dari Yudi Datau yang memanjakan mata, Critical Eleven tampil begitu memukau lewat sajian romansa yang turut menyita simpati dari penonton kemudian membawa penonton terenyuh akan kisah mereka sekaligus memberikan sebuah value yang begitu berharga terkait sebuah hubungan kekeluargaan dan bagaimana menerima satu sama lain. Sebuah balada yang tampil melankolis dan manis. Inilah contoh bagaimana sebuah novel adaptasi serta cerita romansa di buat.
SCORE : 4.5/5
Istilah Critical Eleven sendiri berasal dari dunia penerbangan yang mempunyai makna 11 menit paling menentukan keselamatan penumpang yang terbagi pada 3 menit selepas take off dan 8 menit jelang landing. Istilah itu kemudian di alegorikan pada kisah dua sejoli yang secara tak sengaja bertemu di sebuah pesawat dan menemukan kecocokan satu sama lain, mereka adalah Ale (Reza Rahadian) seorang pekerja di sebuah oil rig dan Anya (Adinia Wirasti) seorang konsultan manajemen, dua pasutri muda yang tinggal di New York selepas menikah, kebahagian demi kebahagian mulai dirasakan oleh pasutri muda ini, terlebih setelah Anya dinyatakan hamil, kebahagiaan pun makin memuncak, sampai sebuah insiden terjadi, memutar balikkan keadaan menjadi duka yang kemudian menyulut terjadinya sebuah perpecahan akan rumah tangga mereka.
Satu hal yang membuat Critical Eleven terasa begitu mengasyikkan adalah cara Monty Tiwa dan Robert Ronny yang ditunjang naskah dari Jenny Jusuf, Monty Tiwa, Robert Ronny, dan Ika Natassa memadukan serta memanfaatkan elemen cerita yang terdiri dari cinta, asmara dan penerimaan. Memasuki elemen cinta, ia begitu mengajak penonton untuk dekat dengan karakter Ale dan Anya yang kemudian menampilkan sebuah rasa simpati pada karakter, di buat begitu manis lagi tatkala chemistry Reza-Adinia begitu memikat, menggambarkan sepasang pasutri yang sempurna, dambaan penonton.
Memasuki tahap kedua megenai sebuah duka, Tiwa dan Ronny kemudian mampu menyuntikkan sebuah duka yang begitu mendalam, bukan hanya sebatas salah paham belaka, melainkan isu terkait siapa yang benar dan siapa yang salah, kedua-duanya memang berada pada tanggapan masing-masing, memunculkan sebuah ego antara cinta dan benci, sesekali muncul cinta, benci kemudian membayangi serta kejadian terkait hal yang membuat mereka terpuruk bukan hal yang sepele, melainkan sebuah hal yang mereka nantikan keadaannya namun kemudian harus berujung pahit. Jelas itu memunculkan sebuah impak yang tak hadir begitu mudah, konflik semakin pelik tatkala dua karakter ini kian mampu menuturkan sebuah rasa yang menyulut terjadinya sebuah hubungan yang sesekali bisa saja rapuh.
Bukannya ingin bersembunyi di balik kenyataan, dua karakter ini kian maju tatkala masing-masing dari mereka ingin menerima masing-masing. karena kuatnya sebuah hubungan baik itu pertemanan, keluarga maupun suami-istri adalah menerima segala kekurangan dan kelebihan yang mereka miliki, yang kemudian akan mengalahkan ego masing-masing. Namun mengalahkan ego memang bukanlah sebuah perkara yang mudah, Robert-Tiwa tampil begitu memukau tatkala turut melibatkan keluarga, sehingga momen yang terbaik disini adalah tatkala Ale dan sang ayah (Slamet Rahardjo) serta Anya dan sang ibu (Widyawati Sophiaan) berbagi cerita terkait masalah mereka dan kemudian menemukan titik terang permasalahan tersebut, momen itu berjalan begitu melancholy, romantic, and meaningful at the same time.
Begitupun dengan karakter lainnya seperti adik Ale (Revalina S. Temat dan Refal Hady) serta teman kerja Anya (Hamish Daud, Hannah Al Rashid dan Astrid Tiar) hadir menemani dua karakter, kehadiran mereka bukan berarti kosong, melainkan turut memberikan sebuah dukungan kepada masing-masing karakter sehingga terciptalah sebuah relasi yang benar-benar kuat. Menjelang pertengahan, Monti Tiwa dan Robert Ronny yang berpacu dengan durasi 132 menit tampil terlalu over dan sedikit menurunkan tensi terkait duka yang sedikit terkesan berlarut-larut dan terasa repetitif seperti adegan menangis, meratap atau memandang kosong. Semua itu sejatinya tak perlu, karena sejatinya raut muka Adinia maupun Reza pun telah mendeskripsikan itu semua.
Ditemani lagu "Sekali Lagi" milik Isyana Sarasvati yang turut memberikan sebuah atmosfer terkait rasa, serta bidikan kamera dari Yudi Datau yang memanjakan mata, Critical Eleven tampil begitu memukau lewat sajian romansa yang turut menyita simpati dari penonton kemudian membawa penonton terenyuh akan kisah mereka sekaligus memberikan sebuah value yang begitu berharga terkait sebuah hubungan kekeluargaan dan bagaimana menerima satu sama lain. Sebuah balada yang tampil melankolis dan manis. Inilah contoh bagaimana sebuah novel adaptasi serta cerita romansa di buat.
SCORE : 4.5/5
0 Komentar