Berbicara mengenai cinta memang tak ada habisnya. Cinta bisa datang
tiba-tiba, cinta bisa merubah benci menjadi cinta, cinta bisa
memberikan warna bagi kehidupan dan lainnya, demikianlah definisi cinta
menurut orang-orang. Tanpa kita sadari, cinta juga bisa berawal dari
sebuah secangkir coklat dan hobi yang sama. Mengapa itu bisa terjadi?
mungkin sederhananya karena memang mempunyai hobi yang sama membuat
mereka seakan cocok. Itu pun yang kemudian hendak di eksplorasi oleh Jay
Sukmo selaku sutradara disini.
Orvala Theobroma (Pamela Bowie), perempuan pecinta cokelat. Bahkan namanya pun beraroma cokelat. Salah satu impian Orvala adalah bekerja dalam hal yang berhubungan dengan coklat Impiannya terwujud ketika bertemu Aruna Handrian (Miqdad Addausy), kekasihnya yang mengajak Orvala untuk bergabung mengelola sebuah kafe coklat, Fedde Velten Cafe, yang berkonsep Eropa.
Di Fedde Velten Cafe Orvala bertemu kembali dengan Juno Aswanda (Ricky Harun) kekasihnya di masa lalu yang menghilang tanpa kabar berita. Juno menginginkan Orvala kembali, meminta kesempatan kepada Orvala untuk kembali kepadanya. Cinta segi tiga pun mulai muncul antara Orvala, Aruna dan Juno. Kehadiran Fidela (Sheila Dara Aisha) di Fedde Velten Cafe sebagai sosok cinta Aruna di masa lalu menambah rumit permasalahan.
Seperti yang telah di sampaikan oleh sinopsis di atas yang saya kutip dari laman IDFC (Indonesian Film Critics), The Chocolate Chance memang tampil formulaik seperti kebanyakan film bertema romansa yang usang. Berawal dari sebuah secangkir coklat yang mengantarkannya pada sebuah tambatan hati yang selalu menjadi penyemangat sanubari kemudian selepas itu muncul namanya sakit hati yang kemudian hadir kembali. Begitulah formula yang di usung Jay Sukmo. Memang bukan sebuah kesalahan jika menggunaan unsur formulaik toh selama bisa mengikat karakter dengan penonton serta memberi sedikit sentuhan terhadap filmnya, namun apa yang hendak di tampilkan oleh Jay Sukmo di sini terlampau berada pada standar film romansa khas FTV yang mendayu-dayu dan tentunya predictable.
Naskah garapan Johansyah Jumberan yang menyadur lewat novel young adult rekaan Yoana Danika tak berusaha tampil menempatkan penonton pada situasi yang pelik maupun rumit. Konfliknya berjalan sederhana dan tak jauh dari sekedar kisah remaja. Dari kesederhanaan itu urung untuk menampilkan sebuah kesan tersendiri menontonnya, atensi penonton memang tertuju, namun hanya sebatas melihat tanpa turut merasakan apa yang di rasakan kaakternya. Kurangnya feel terhadap cerita menjadi masalah utama film ini selain kesan formulaik dan predictable yang di miliki.
Pamela Bowie tampil berada di jajaran depan, begitupun chemistry-nya dengan Ricky Harun yang sesekal terasa manis namun sulit untuk di raskan penonton sendiri. Naskahnya tampil lempeng tanpa adanya sebuah belokan. Pembangunan cerita pun berada pada standarisasi yang kemudian menjembatani penonton menuju momem tearjerker seputar kehilangan dan saling menerima. Pesan itu pun sulit tampil meninggalkan kesan. Belum lagi adegan pun acap ali tampil bak seperti pengulangan dari film lain, serta twist yang sedari awal hanya tampil sebagai pelengkap saj tanpa adanya sebuah daya kejut mengenai cerita itu sendiri.
Menggunakan medium coklat sebagai ranah bercerita kurang tergali lebih dalam oleh Jay Sukmo, ia hanya berkutat pada romansa yang sering di pakai oleh FTV. Naskah yang tampil dangkal serta minimnya sebuah pemaparan lebih lanjut dari coklat yang dijadikan sebagai medium itu sendiri menjadi masalah utama selain daripada feel yang urung untuk terlaksana, baik itu bagi penonton maupun karakter.
SCORE : 1.5/5
Orvala Theobroma (Pamela Bowie), perempuan pecinta cokelat. Bahkan namanya pun beraroma cokelat. Salah satu impian Orvala adalah bekerja dalam hal yang berhubungan dengan coklat Impiannya terwujud ketika bertemu Aruna Handrian (Miqdad Addausy), kekasihnya yang mengajak Orvala untuk bergabung mengelola sebuah kafe coklat, Fedde Velten Cafe, yang berkonsep Eropa.
Di Fedde Velten Cafe Orvala bertemu kembali dengan Juno Aswanda (Ricky Harun) kekasihnya di masa lalu yang menghilang tanpa kabar berita. Juno menginginkan Orvala kembali, meminta kesempatan kepada Orvala untuk kembali kepadanya. Cinta segi tiga pun mulai muncul antara Orvala, Aruna dan Juno. Kehadiran Fidela (Sheila Dara Aisha) di Fedde Velten Cafe sebagai sosok cinta Aruna di masa lalu menambah rumit permasalahan.
Seperti yang telah di sampaikan oleh sinopsis di atas yang saya kutip dari laman IDFC (Indonesian Film Critics), The Chocolate Chance memang tampil formulaik seperti kebanyakan film bertema romansa yang usang. Berawal dari sebuah secangkir coklat yang mengantarkannya pada sebuah tambatan hati yang selalu menjadi penyemangat sanubari kemudian selepas itu muncul namanya sakit hati yang kemudian hadir kembali. Begitulah formula yang di usung Jay Sukmo. Memang bukan sebuah kesalahan jika menggunaan unsur formulaik toh selama bisa mengikat karakter dengan penonton serta memberi sedikit sentuhan terhadap filmnya, namun apa yang hendak di tampilkan oleh Jay Sukmo di sini terlampau berada pada standar film romansa khas FTV yang mendayu-dayu dan tentunya predictable.
Naskah garapan Johansyah Jumberan yang menyadur lewat novel young adult rekaan Yoana Danika tak berusaha tampil menempatkan penonton pada situasi yang pelik maupun rumit. Konfliknya berjalan sederhana dan tak jauh dari sekedar kisah remaja. Dari kesederhanaan itu urung untuk menampilkan sebuah kesan tersendiri menontonnya, atensi penonton memang tertuju, namun hanya sebatas melihat tanpa turut merasakan apa yang di rasakan kaakternya. Kurangnya feel terhadap cerita menjadi masalah utama film ini selain kesan formulaik dan predictable yang di miliki.
Pamela Bowie tampil berada di jajaran depan, begitupun chemistry-nya dengan Ricky Harun yang sesekal terasa manis namun sulit untuk di raskan penonton sendiri. Naskahnya tampil lempeng tanpa adanya sebuah belokan. Pembangunan cerita pun berada pada standarisasi yang kemudian menjembatani penonton menuju momem tearjerker seputar kehilangan dan saling menerima. Pesan itu pun sulit tampil meninggalkan kesan. Belum lagi adegan pun acap ali tampil bak seperti pengulangan dari film lain, serta twist yang sedari awal hanya tampil sebagai pelengkap saj tanpa adanya sebuah daya kejut mengenai cerita itu sendiri.
Menggunakan medium coklat sebagai ranah bercerita kurang tergali lebih dalam oleh Jay Sukmo, ia hanya berkutat pada romansa yang sering di pakai oleh FTV. Naskah yang tampil dangkal serta minimnya sebuah pemaparan lebih lanjut dari coklat yang dijadikan sebagai medium itu sendiri menjadi masalah utama selain daripada feel yang urung untuk terlaksana, baik itu bagi penonton maupun karakter.
SCORE : 1.5/5
0 Komentar