Mengangkat
cerita legendaris dari negeri seribu dewa, India, tepatnya dari daerah
Punjab kisah cinta tragis Mirza Sahiban, kisah yang paling populer
termasuk Heer Ranjha, Sohni Mahiwal dan Sassi Punun. Dikisahkan Mirza
Khan seorang ksatria yang selalu membawa busur panah dan menunggangi
kuda putihnya bernama Bakki, putra dari Wanjhal Khan pimpinan suku
Khardi di Danabad, sebuah kota di
Jaranwala wilayah Faisalabad Pakistan. Sedangkan Sahiban adalah seorang
Putri dari Mahni kepala Khewa, sebuah kota di teritorisial di distrik
Jhang, Pakistan. Rakeysh Omprakash Mehra memanfaatkan sebuah cerita
legendaris tadi ke dalam sebuah film, memanfaatkan kisah cinta tragis
Mirza Sahiban dengan modifikasi sana sini dengan membawa latar modern.
Munish (Harshvardhan Kapoor) dan Suchitra (Saiyami Kher) adalah dua
sahabat akrab sejak kecil, kemana-mana mereka selalu bersama dan
melengkapi satu sama lain, hubungan mereka lebih dari sekedar teman,
namun mereka enggan mengakuinya. Suatu hari mereka dipisahkan satu sama
lain oleh kedua orang tuanya. Takdir pun seolah mendampingi mereka,
akhirnya mereka dipertemukan kembali secara tak sengaja, namun ada duka
diantara keduanya, Suchitra hendak menikah dengan Karan (Anuj Choudhry)
seorang anak bangsawan yang tak lain adalah majikan dari Manish yang
menjadi pengiring kudanya. Cinta mereka terhalang takdir dan realita,
bak Mirza dan Sahiban.
Menggabungkan cerita rakyat legendaris
dan bumbu moderenisasi jelas adalah suatu yang patut diapresiasi,
bagaimana tidak Rakeysh Omprakash Mehra dapat memadukan sebuah film
dengan dua dimensi kisah dan waktu serta menggambarkan bagaimana Mirza
dan Sahiban dalam spekulasi modern. Namun apa yang dilakukan Raykesh
Omprakash Mehra rupanya tak sesuai ekspetasi, ia malah memilih jalan
yang salah, dimana spekulasi waktu tak sesuai dengan jalan cerita,
memang tak terlalu fatal, namun Mehra rupanya tak mau memperhatikan
prosedur, ia berani membuat sebuah sesuatu yang berbeda namun ia tak
mampu mempertanggung jawabkannya.
Try to create a surreal world
rupanya spekulasi yang dibawakan Mehra dengan dibantu oleh sokongan
naskah dari Gulzar, rupanya tak menjadikan film ini "create a surreal
world" melainkan "create a dreamer world", menggabungkan dua dimensi
dunia berbeda hanya menjadikan film ini seolah mendompleng kisah
legendaris tadi menjadi sebuah kisah yang lemah dan terkesan hampa. Yang
menyebabkan film ini terkesan hampa dan kosong adalah kesalahan Mehra
memadukan dua dimensi dunia yang berbeda tadi saling menyerang dan
bertubrukan satu sama lain, dua dimensi tadi tak mampu saling melengkapi
dan terkesan porsi yang ditampilkan kurang.
Bereksperimen dengan
times wrap rupanya tak bisa membuat film ini tampil standout, justru
malah makin tenggelam dengan rasa ketidak percaya diri, seandainya
penggunaan times wrap tadi dapat di directing dengan mumpuni, maka film
ini bisat tampil dengan percaya diri. Porsi yang ditampilkan oleh dua
dimensi tadi terasa tidak sinkron dan berat sebelah, jujur film ini
lebih mengedepankan sisi modern ketimbang epic romantic Mirza dan
Sahiban. Cerita yang ditampilkan oleh Gulzar seolah men-copy paste kisah
tadi, dengan sedikit tambahan pemanis buatan yang sayangnya tak
menarik.
Alur yang ditampilkan film ini lamban serta lagu yang
tak sinkron dan pas ditelinga, membuat film ini semakin fatal, memang
effect CGI ledakan bom serta serangan harimau terkesan bagus, namun masih
kasar.
Overall, Mirzya sebuah epic fantasy romantic yang gagal
dan saling bertubrukan satu sama lain serta alur cerita yang lamban dan
lagu yang mengganggu.
0 Komentar