Bukan
sebuah trik yang baru, trik ini pernah digunakan Ashutosh Gowariker di
film epic love story sebelumnya, Jodhaa Akbar dan disusul oleh Bajirao
Mastani arahan Sanjay Leela Bhansali di film terpopuler yang menyabet
banyak penghargaan, lalu yang teranyar Mirzya. Lalu apakah yang akan
dilakukan Gowariker pada film ini, apakah memadukan semua unsur film
pendahulunya, ataukah menjadikannya beda
dengan bantuan directoring yang luar biasa serta efek CGI yang mumpuni?
Let's check this out....
Sarman (Hrithik Roshan) seorang
laki-laki biasa dari desa yang pergi ke sebuah kerajaan impian, Mohenjo
Daro. Disana ia bertemu dengan Chaani (Pooja Hedge) seorang putri
kerajaan yang telah membuat Sarman terpana, rupanya perbedaan kasta
menghalangi cinta mereka, sang putri akan dijodohkan dengan Moonja
(Arunoday Singh) yang tak lain adalah putra dari sang Maham (Kabir
Bedi). Belakangan terungkap bahwa Sarman adalah putra dari raja Mohenjo
Daro yang dikudeta oleh manusia berjiwa iblis. Bagaimanakah perjuangan
hidup dan cinta Sarman di Negeri Mohenjo Daro?
Mohenjo Daro
sebuah film epic yang seperti tidak mempunyai arah tujuan kemana ia akan
berlayar, di paruh awal, oke film ini menampilkan aksi menawan sang
hero, Hrithik Roshan yang melawan buaya besar yang terlihat jauh dari
kesan mewah, efek CGI nya masih mentah serta bangunan kerajaan terlihat
seperti miniatur tempelan, oke kembali ke awal, Mohenjo Daro rupanya
tak mampu memberikan sebuah epic movie, ia kebingungan di paruh awal
yang menyebabkan film ini terpuruk dan tersesat diantara jalan yang
berliku. Gowariker tak mampu memberikan sebuah introduce yang menarik
diawal film.
Gowariker juga membuat penonton bingung, apa
sebenarnya motif yang akan ia tampilkan di film ini, apakah memfokuskan
romantisme atau adventure epic, diawal film adalah penyebab dari
penyakit film ini, film ini tak mampu menyokong cerita dan membuat
cerita makin hidup, yang ada hanyalah Gowariker membuat film ini
perlahan-lahan tenggelam. Oke, memang harus diakui performance Hrithik
Roshan di film pertamanya di tahun 2016 memang harus diacungi jempol, ia
setidaknya adalah nyawa dari film ini, serta Kabir Bedi yang tak kalah
keren memerankan sosok antagonisnya.
Setelah Interval, film ini
mulai menampakan batang hidungnya, Gowariker rupanya terlalu irit dalam
menampilkan sebuah konflik yang besar di awal film, dan sengaja
menumpukan dan kemudian mengakhirinya menjelang ending film. Memang
sebuah kesalahan yang susah untuk dibilang kecil, apalagi film ini
diperparah dengan sokongan cerita yang kurang nyantol dan nonjok, dan
kemudian dibuat lebih parah lagi dengan visual effet CGI yang jauh dari
kata mumpuni, adegan bencana (baca : banjir) hanya sekedar tempelan dan
mengisi kekosongan belaka. Andai saja Gowariker mampu membuat sajian
epic adventure dengan tambahan bumbu romantis yang sinkron dan solid,
yang kemudian ditunjang oleh script dan visual effect CGI yang mumpuni,
maka Mohenjo Daro akan berada sejajar dengan Bajirao Mastani.
Overall, MOHENJO DARO film yang berbudget lebih dari 100 crore hanya
sebuah sajian epic adventure dan romantisme bullshit semata dan semua
terasa hampa.
0 Komentar