"Di sana tempat lahir beta, Dibuai dibesarkan bunda
Tempat berlindung di hari tua, sampai akhir menutup mata."
"Surat dari Praha" turut menyisipkan lagu "Tanah Air Beta" dalam salah satu adegannya, memunculkan ironi tatkala para putera bangsa dengan rasa cinta begitu besar terhadap tanah air, Indonesia, justru tak mendapat perlindungan dari tanah air mereka dan harus menghabiskan masa tua di negeri orang. Hal itu sebagai dampak tatkala lengsernya kepemimpinan Soekarno, digantikan oleh rezim Orde Baru Soeharto. Beberapa mahasiswa yang menyatakan diri anti terhadap Orde Baru pun kehilangan kewarganegaraan mereka, dicap sebagai komunis serta pengkhianat bangsa. Alhasil, mereka tak bisa kembali pulang ke tanah air tercinta. Di dasari dari empat lagu karya Glenn Fredly, mari kita sambut "Surat dari Praha".
Demi memenuhi wasiat sang ibu, Sulastri (Widyawati Sophiaan), Larasati (Julie Estelle) terpaksa harus pergi ke Praha guna mengantarkan sebuah kotak dan sepucuk surat. Setibanya di alamat tujuan, bertemulah Larasati dengan Jaya (Tio Pakusadewo) yang ternyata adalah mantan kekasih Sulastri. Jaya sendiri harus terpaksa tinggal di Praha karena keputusannya menentang Soeharto pada tahun 1965. Awalnya, Larasati berniat untuk meminta tanda tangan sebagai bukti penerimaan kotak dari surat tersebut, tapi penolakan dari Jaya serta beberapa kejadian tak terduga memaksanya tinggal lebih lama di Praha. Berawal dari situ, Larasati perlahan mempelajari masa lalu antara Jaya dan Sulastri lewat lagu-lagu juga surat hasil tulisan Jaya setelah sepuluh tahun menghilang.
Tempat berlindung di hari tua, sampai akhir menutup mata."
"Surat dari Praha" turut menyisipkan lagu "Tanah Air Beta" dalam salah satu adegannya, memunculkan ironi tatkala para putera bangsa dengan rasa cinta begitu besar terhadap tanah air, Indonesia, justru tak mendapat perlindungan dari tanah air mereka dan harus menghabiskan masa tua di negeri orang. Hal itu sebagai dampak tatkala lengsernya kepemimpinan Soekarno, digantikan oleh rezim Orde Baru Soeharto. Beberapa mahasiswa yang menyatakan diri anti terhadap Orde Baru pun kehilangan kewarganegaraan mereka, dicap sebagai komunis serta pengkhianat bangsa. Alhasil, mereka tak bisa kembali pulang ke tanah air tercinta. Di dasari dari empat lagu karya Glenn Fredly, mari kita sambut "Surat dari Praha".
Demi memenuhi wasiat sang ibu, Sulastri (Widyawati Sophiaan), Larasati (Julie Estelle) terpaksa harus pergi ke Praha guna mengantarkan sebuah kotak dan sepucuk surat. Setibanya di alamat tujuan, bertemulah Larasati dengan Jaya (Tio Pakusadewo) yang ternyata adalah mantan kekasih Sulastri. Jaya sendiri harus terpaksa tinggal di Praha karena keputusannya menentang Soeharto pada tahun 1965. Awalnya, Larasati berniat untuk meminta tanda tangan sebagai bukti penerimaan kotak dari surat tersebut, tapi penolakan dari Jaya serta beberapa kejadian tak terduga memaksanya tinggal lebih lama di Praha. Berawal dari situ, Larasati perlahan mempelajari masa lalu antara Jaya dan Sulastri lewat lagu-lagu juga surat hasil tulisan Jaya setelah sepuluh tahun menghilang.
Ini memang merupakan
sebuah pertanyaan klasik yang pasti akan menimbulkan perasaan bingung
serta jawaban yang beragam, apa makna cinta bagi anda? Apakah cinta
harus memiliki, menuntut usaha dan totalitas untuk diraih karena waktu
takkan mampu berpihak pada perasaan yang meragu dan mencoba menunggu?
Atau apakah cinta tidak harus memiliki, hanya sebatas bahagia melihat
seseorang yang anda cintai bahagia bersama orang lain meskipun kemudian
anda harus berteman sepi dan berkawan kelam karena percaya bahwa daun
saja tak sia-sia jatuh ke bumi? Pertanyaan ini dimainkan begitu manis
oleh Angga Dwimas Sasongko selaku sutradara, yang turut menjelaskan
mengenai makna dari cinta, makna dicinta, dan makna mencinta.
Namun bak seperti sebuah "tembok" yang besar bagi masing-masing karakternya, Angga sendiri tak membawa kamu untuk cepat menyelesaikan masalah itu secara gampang, terdapat sensitifitas di dalamnya yang turut akan menghantarkan sebuah tujuan, luka, serta kenyataan yang pahit yang harus dialami oleh karakter. "Surat dari Praha" memang berjalan sedikit santai, namun menghasilkan sebuah kohesi serta polemik terkait masa lalu yang tampil begitu kuat, emosi pun bermain secara cepat dan tepat dan turut membawa penonton untuk merasakan apa yang karakter rasakan terkait masa lalu karakter yang mungkin sedikit susah untuk dimaafkan dan kemudian dihadapi serta dicari jalan keluarnya.
Namun bak seperti sebuah "tembok" yang besar bagi masing-masing karakternya, Angga sendiri tak membawa kamu untuk cepat menyelesaikan masalah itu secara gampang, terdapat sensitifitas di dalamnya yang turut akan menghantarkan sebuah tujuan, luka, serta kenyataan yang pahit yang harus dialami oleh karakter. "Surat dari Praha" memang berjalan sedikit santai, namun menghasilkan sebuah kohesi serta polemik terkait masa lalu yang tampil begitu kuat, emosi pun bermain secara cepat dan tepat dan turut membawa penonton untuk merasakan apa yang karakter rasakan terkait masa lalu karakter yang mungkin sedikit susah untuk dimaafkan dan kemudian dihadapi serta dicari jalan keluarnya.
Naskah garapan M. Irfan Ramli turut membantu berlangsungnya cerita, menciptakan sebuah dialog yang cerdas dan tepat guna sehingga tak perlu untuk tampil keras untuk menjadi puitis. Namun kemampuannya untuk mengeksplorasi karakter sangat luar biasa, penonton dapat begitu cepat memahami seluk-beluk terkait karakter, sehingga dialog pun turut menyokong cerita dan tak asal bunyi saja, mampu menampilkan sebuah debat terkait karakter, terbukti dengan tampil menawannya momen perdebatan antara Jaya dan Larasati yang tak hanya menampilkan sebuah keseruan, melainkan turut di dalamnya membuka sebuah jawaban terkait masa lalu, dan berusaha memafkan apa yang telah terjadi, bukan sebatas hanya ucapan di bibir saja melainkan sampai ke hati.
Ya, hati pulalah
yang menjadikan film ini mempunyai alasan mengapa film yang sederhana
ini dapat mampu tampil tak sekedar sederhana, melainkan mampu tampil
luar biasa. Pencapaian terbesar yang dilakukan oleh Angga sendiri yakni
ia mampu mengajak penonton untuk larut dalam suasana, berbaur dengan
karakter sehingga untuk kemudian menciptakan sebuah bekas selepas
menontonnya, bekas untuk sebuah pelajaran terkait kehidupan yang mungkin
sampai sekarang masih sukar untuk di lakukaan, ya, memafkan, bukan dari
bibir saja melainkan turut melibatkan hati supaya perkataan terkait
"kadang hidup memang lebih sering berisi apa yang tidak kita inginkan"
perlahan mulai bisa dinikmati meski tak semuanya sulit untuk dilakukan
secara singkat, itu pun yang dilakukan oleh Laras dan Jaya disini,
mencoba "melepas" rasa tidak rela akan cinta dengan cara memaafkan yang
turut melibatkan sebuah feel yang hebat terkait pergolakan batin mereka.
Kinerja para cast-pun turut memfasilitasi semua kesederhanaan serta ke subtilan cerita, Tio Pakusadewo mampu memainkan karakter Jaya begitu mumpuni, menyuntikkan emosi di dalamnya terkait sebuah kesepian yang terus menghinggapi dirinya serta bayangan masa lalu yang terus melekat dan kini semuanya berada di depan mata tanpa adanya sebuah undangan untuk tampil kembali, momen tatkala ia berkata lirih "Gong, Sulastri seda" kepada sang anjing yang setia menemani dirinya tatkala mengetahui sang pujaan hati telah meninggal, atau momen tatkala Jaya berrkata kepada Bagong "kamu tidak akan pernah merasakan kesepian, karena kamu hanya tahu kesetiaan" begitu menusuk kalbu, sementara itu Julie Estelle mampu menjadi "lawan sepadan" bagi Jaya, keduanya mampu menghasilan sebuah chemistry yang kuat, serta Rio Dewanto dan juga Widyawati Sophiaan mampu memanfaatkan porsi kecil mereka kian tampil baik.
Bukannya tanpa kekurangan, "Surat dari Praha''sendiri tampil terburu-buru menjelang klimaks juga kehadian product sponsor yang mungkin sedikit mengganggu karena turut memaksakan untuk tampil, memang kedua kesalahan itu tak sepenuhnya tampil menggangu, toh itu tak menghalangi kecintaan saya terhadap film ini. Ditemani iringan lagu milik Glenn Fredly seperti "Sabda Rindu" serta "Nyali Terakhir'' yang turut menjadi kerangka cerita, "Surat dari Praha" begitu tampil manis sekaligus mampu menghadirkan sebuah kesan tersendiri kala menontonnya, setting Praha pun ditampilkan begitu efektif oleh Angga. "Surat dari Praha" adalah sebuah surat dari Angga Dwimas Sasongko beserta M. Irfan Ramli untuk generasi masa kini, terutama untuk bagaimana cara menghadapi sebuah kisah terkait masa lalu untuk kemudian kita maafkan, bukannya untuk dijauhi maupun diungkit untuk kemudian menciptakan sebuah luka kembali.
SCORE : 4.5/5
Kinerja para cast-pun turut memfasilitasi semua kesederhanaan serta ke subtilan cerita, Tio Pakusadewo mampu memainkan karakter Jaya begitu mumpuni, menyuntikkan emosi di dalamnya terkait sebuah kesepian yang terus menghinggapi dirinya serta bayangan masa lalu yang terus melekat dan kini semuanya berada di depan mata tanpa adanya sebuah undangan untuk tampil kembali, momen tatkala ia berkata lirih "Gong, Sulastri seda" kepada sang anjing yang setia menemani dirinya tatkala mengetahui sang pujaan hati telah meninggal, atau momen tatkala Jaya berrkata kepada Bagong "kamu tidak akan pernah merasakan kesepian, karena kamu hanya tahu kesetiaan" begitu menusuk kalbu, sementara itu Julie Estelle mampu menjadi "lawan sepadan" bagi Jaya, keduanya mampu menghasilan sebuah chemistry yang kuat, serta Rio Dewanto dan juga Widyawati Sophiaan mampu memanfaatkan porsi kecil mereka kian tampil baik.
Bukannya tanpa kekurangan, "Surat dari Praha''sendiri tampil terburu-buru menjelang klimaks juga kehadian product sponsor yang mungkin sedikit mengganggu karena turut memaksakan untuk tampil, memang kedua kesalahan itu tak sepenuhnya tampil menggangu, toh itu tak menghalangi kecintaan saya terhadap film ini. Ditemani iringan lagu milik Glenn Fredly seperti "Sabda Rindu" serta "Nyali Terakhir'' yang turut menjadi kerangka cerita, "Surat dari Praha" begitu tampil manis sekaligus mampu menghadirkan sebuah kesan tersendiri kala menontonnya, setting Praha pun ditampilkan begitu efektif oleh Angga. "Surat dari Praha" adalah sebuah surat dari Angga Dwimas Sasongko beserta M. Irfan Ramli untuk generasi masa kini, terutama untuk bagaimana cara menghadapi sebuah kisah terkait masa lalu untuk kemudian kita maafkan, bukannya untuk dijauhi maupun diungkit untuk kemudian menciptakan sebuah luka kembali.
SCORE : 4.5/5
0 Komentar