Tab

Ticker

6/recent/ticker-posts

ISTIRAHATLAH KATA-KATA (2016)

Wiji Thukul, atau yang bernama asli Widji Widodo dikenal sebagai seorang penyair yang kerap melontarkan perlawanan terhadap rezim diktatoral Orde Baru melalui bait demi bait sajaknya yang terdengar melankolis nan beringas. Keterlibatannya dalam beberapa organisasi yang vokal menyuarakan pemberontakan terhadap penguasa lalim kemudian menyeretnya untuk terus menerus berurusan dengan aparat keamanan. Bahkan namanya pun tercantum dalam daftar aktivis yang dianggap bertanggungjawab atas meletusnya sebuah kerusuhan pada tanggal 27 Juli 1996 lantaran sang penyair tergabung di Partai Rakyat Demokratik (PRD). Hal itu pun yang kemudian menyeret Wiji Thukul untuk kemudian berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya sembari memperbaharui identitas palsunya guna menghindari cengkraman aparat keamanan. Hal itu kemudian menarik Yosep Anggi Noen selaku sutradara yang merangkap sebagai penulis naskah untuk kemudian memvisualisasikan-nya ke dalam sebuah bentuk gambar bergerak.

Tanpa memposisikan seorang Wiji Thukul bak seorang pahlawan, Yosep Anggi Noen memilih filmnya untuk mengusung sebuah kontribusi nyata atas peralihan politik dengan tergulingnya rezim Soeharto yang kemudian berdampak pada kehidupan seorang wong cilik ,bernama Wiji Thukul (Gunawan Maryanto) yang sampai sekarang tak jelas rimbanya. Memposisikan filmnya bak sebuah studi kasus terkait sebuah pelarian Wiji Thukul tatkala mulai menjajakkan kaki di Pontianak yang secara berkala ia kemudian pindah hunian, mulai dari rumah seorang dosen bernama Thomas (Dhafi Yunan) hingga rumah seorang aktivis asal Medan, Martin (Eduwart Boang Manalu), yang tinggal bersama istrinya, Ida (Melanie Subono). Disamping soroti hari-hari Wiji yang penuh dengan perasaan mencekam, Angga juga mngajak penonton untuk kemudian melihat keadaan rumah dari Wiji di Solo yang dijaga ketat oleh aparat keamaan, termasuk melihat keseharian sang istri, Sipon (Marissa Anita) dan anaknya yang terus diinterogasi oleh pihak aparat guna mengulik keberadaan Wiji.

Seperti judulnya, Yosep Anggi Noen memilih untuk mengistirahatkan kata-kata dan kemudian bermain dengan rasa, membiarkan gambar bicara guna kemudian menjelaskan sebuah keadaan terkait perasaan karakter disini. Diiringi dengan alunan suara-suara bersenandung yang kemudian turut dibacakannya sederet puisi yang berisi keresahan seorang Wiji Thukul di tengah kesunyian yang mencekat. Bukan berarti minim akan sebuah emosi, melainkan Istirahatlah Kata-Kata sendiri penuh akan emosi yang tergambar secara natural, Yosep Anggi Noen jeli sekali memvisualisaikan kehidupan seorang Wiji Thukul, ia bukanlah seorang pahlawan seperti banyaknya sebuah film yang diangkat oleh para sineas, melainkan ia memposisikan karakter Wiji Thukul yang hanyalah seorang manusia biasa yang rapuh serta hilang akan sebuah kebebasan, lebih tepatnya ini adalah sebuah kisah mengenai seseorang yang diambil haknya untuk kemudian mengekspresikan kebebasan baik itu berkumpul maupun berpendapat.

Alur cerita memang cenderung berjalan lambat, tetapi bukannya tanpa sebuah esensi, Yosep Anggi Noen piawai sekali merangkai setiap adegan yang kemudian ia turut tampilkan sebuah simbol terkait sebuah kejadian yang akan terjadi kelak (semut di air gula, lukisan penjamuan terakhir). Selain piawainya ia bermain menggunakan simbol, Anggi juga piawai menciptakan sebuah kesunyian suasana tanpa harus tampil flat. Ada ketegangan merambat kala di sebuah tempat pangkas rambut, seorang tentara (Arswendi Nasution) menanyakan identitas Wiji bersama rekannya, yang mampu menghasilkan sebuah tekanan tersendiri bagi karakter tanpa harus terjadinya sebuah konflik yang tampil secara heboh, semua tergambar jelas di raut muka Wiji yang menggambarkan sebuah kepanikan akan keberadaannya yang kian terancam. Atau kala Anggi mempertemukan Wiji dengan sang istri untuk pertama kalinya di sepanjang film, sebuah romantisme dua insan yang sedang dimabuk rindu akan sebuah pertemuan tergambar jelas di raut muka mereka serta di barengi dengan ucapan sang istri, Sipon yang memanggil nama sang sumi untuk kemudian menikmati sebuah kerinduan mendalam sembari berujar "Aku tidak pernah menangis saat kamu pergi, aku menangis justru saat kamu kembali."

Kinerja para cast terutama Gunawan Maryanto tampil prima, kita seolah melihat Wiji Thukul berada persis dihadapan kita, Marissa Anita pun tak kalah unjuk kebolehannya menampilkan sebuah performa yang luar biasa, khususnya terkait penghantaran sebuah emosi yang terlihat sangat natural. Ditemani bidikan kamera dari Bayu Prihantoro Filemon yang lebih banyak tampil statis menangkap peristiwa minim pergerakan. Begitu pula dengan gubahan musik karya Yennu Ariendra yang jarang menyeruak masuk. Namun keberadaan gambarnya nampak puitis juga menyimpan setumpuk kisah. Anggi enggan menelanjangi masa lalu maupun masa depan penuh tanda tanya dari si tokoh utama, bahkan penghantaran mengenai isu politik pun hanya tampil di siaran radio.

''Istirahatlah Kata-Kata" adalah sebuah sajian film yang tampil sederhana namun terasa intim, dialog memang tampil di istirahatkan, gambar berbicara serta lantunan musik yang menyeruak masuk serta bidikan kamera yang tampil statis mampu menghantaran semua pesan juga kesan terkait filmnya sendiri, sebuah karya yang luar biasa di kala sinema Indonesia yang acap kali dianggap sebelah mata oleh para pesaing, Yosep Anggi Noen membuktikan bahwa Indonesia memiliki sebuah karya yang luar biasa tanpa harus terkesan mewah, cukup sederhana, namun dibalik semua kesederhanaan itu menyimpan sebuah rasa yang tak hanya bisa diungkapkan oleh kata-kata. "Tidurlah kata-kata. Kita bangkit nanti." begitupun yang di ucapkan oleh Wiji Thukul.

SCORE : 5/5

Posting Komentar

0 Komentar