Wiji
Thukul, atau yang bernama asli Widji Widodo dikenal sebagai seorang
penyair yang kerap melontarkan perlawanan terhadap rezim diktatoral
Orde Baru melalui bait demi bait sajaknya yang terdengar melankolis nan
beringas. Keterlibatannya dalam beberapa organisasi yang vokal
menyuarakan pemberontakan terhadap
penguasa lalim kemudian menyeretnya untuk terus menerus berurusan dengan
aparat keamanan. Bahkan namanya pun tercantum dalam daftar aktivis yang
dianggap bertanggungjawab atas meletusnya sebuah kerusuhan pada tanggal
27 Juli 1996 lantaran sang penyair tergabung di Partai Rakyat
Demokratik (PRD). Hal itu pun yang kemudian menyeret Wiji Thukul untuk
kemudian berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya sembari
memperbaharui identitas palsunya guna menghindari cengkraman aparat
keamanan. Hal itu kemudian menarik Yosep Anggi Noen selaku sutradara
yang merangkap sebagai penulis naskah untuk kemudian
memvisualisasikan-nya ke dalam sebuah bentuk gambar bergerak.
Tanpa memposisikan seorang Wiji Thukul bak seorang pahlawan, Yosep
Anggi Noen memilih filmnya untuk mengusung sebuah kontribusi nyata atas
peralihan politik dengan tergulingnya rezim Soeharto yang kemudian
berdampak pada kehidupan seorang wong cilik ,bernama Wiji Thukul
(Gunawan Maryanto) yang sampai sekarang tak jelas rimbanya. Memposisikan
filmnya bak sebuah studi kasus terkait sebuah pelarian Wiji Thukul
tatkala mulai menjajakkan kaki di Pontianak yang secara berkala ia
kemudian pindah hunian, mulai dari rumah seorang dosen bernama Thomas
(Dhafi Yunan) hingga rumah seorang aktivis asal Medan, Martin (Eduwart
Boang Manalu), yang tinggal bersama istrinya, Ida (Melanie Subono).
Disamping soroti hari-hari Wiji yang penuh dengan perasaan mencekam,
Angga juga mngajak penonton untuk kemudian melihat keadaan rumah dari
Wiji di Solo yang dijaga ketat oleh aparat keamaan, termasuk melihat
keseharian sang istri, Sipon (Marissa Anita) dan anaknya yang terus
diinterogasi oleh pihak aparat guna mengulik keberadaan Wiji.
Seperti judulnya, Yosep Anggi Noen memilih untuk mengistirahatkan
kata-kata dan kemudian bermain dengan rasa, membiarkan gambar bicara
guna kemudian menjelaskan sebuah keadaan terkait perasaan karakter
disini. Diiringi dengan alunan suara-suara bersenandung yang kemudian
turut dibacakannya sederet puisi yang berisi keresahan seorang Wiji
Thukul di tengah kesunyian yang mencekat. Bukan berarti minim akan
sebuah emosi, melainkan Istirahatlah Kata-Kata sendiri penuh akan emosi
yang tergambar secara natural, Yosep Anggi Noen jeli sekali
memvisualisaikan kehidupan seorang Wiji Thukul, ia bukanlah seorang
pahlawan seperti banyaknya sebuah film yang diangkat oleh para sineas,
melainkan ia memposisikan karakter Wiji Thukul yang hanyalah seorang
manusia biasa yang rapuh serta hilang akan sebuah kebebasan, lebih
tepatnya ini adalah sebuah kisah mengenai seseorang yang diambil haknya
untuk kemudian mengekspresikan kebebasan baik itu berkumpul maupun
berpendapat.
Alur cerita memang cenderung berjalan lambat,
tetapi bukannya tanpa sebuah esensi, Yosep Anggi Noen piawai sekali
merangkai setiap adegan yang kemudian ia turut tampilkan sebuah simbol
terkait sebuah kejadian yang akan terjadi kelak (semut di air gula,
lukisan penjamuan terakhir). Selain piawainya ia bermain menggunakan
simbol, Anggi juga piawai menciptakan sebuah kesunyian suasana tanpa
harus tampil flat. Ada ketegangan merambat kala di sebuah tempat pangkas
rambut, seorang tentara (Arswendi Nasution) menanyakan identitas Wiji
bersama rekannya, yang mampu menghasilkan sebuah tekanan tersendiri bagi
karakter tanpa harus terjadinya sebuah konflik yang tampil secara
heboh, semua tergambar jelas di raut muka Wiji yang menggambarkan sebuah
kepanikan akan keberadaannya yang kian terancam. Atau kala Anggi
mempertemukan Wiji dengan sang istri untuk pertama kalinya di sepanjang
film, sebuah romantisme dua insan yang sedang dimabuk rindu akan sebuah
pertemuan tergambar jelas di raut muka mereka serta di barengi dengan
ucapan sang istri, Sipon yang memanggil nama sang sumi untuk kemudian
menikmati sebuah kerinduan mendalam sembari berujar "Aku tidak pernah
menangis saat kamu pergi, aku menangis justru saat kamu kembali."
Kinerja para cast terutama Gunawan Maryanto tampil prima, kita
seolah melihat Wiji Thukul berada persis dihadapan kita, Marissa Anita
pun tak kalah unjuk kebolehannya menampilkan sebuah performa yang luar
biasa, khususnya terkait penghantaran sebuah emosi yang terlihat sangat
natural. Ditemani bidikan kamera dari Bayu Prihantoro Filemon yang lebih
banyak tampil statis menangkap peristiwa minim pergerakan. Begitu pula
dengan gubahan musik karya Yennu Ariendra yang jarang menyeruak masuk.
Namun keberadaan gambarnya nampak puitis juga menyimpan setumpuk kisah.
Anggi enggan menelanjangi masa lalu maupun masa depan penuh tanda tanya
dari si tokoh utama, bahkan penghantaran mengenai isu politik pun hanya
tampil di siaran radio.
''Istirahatlah Kata-Kata" adalah
sebuah sajian film yang tampil sederhana namun terasa intim, dialog
memang tampil di istirahatkan, gambar berbicara serta lantunan musik
yang menyeruak masuk serta bidikan kamera yang tampil statis mampu
menghantaran semua pesan juga kesan terkait filmnya sendiri, sebuah
karya yang luar biasa di kala sinema Indonesia yang acap kali dianggap
sebelah mata oleh para pesaing, Yosep Anggi Noen membuktikan bahwa
Indonesia memiliki sebuah karya yang luar biasa tanpa harus terkesan
mewah, cukup sederhana, namun dibalik semua kesederhanaan itu menyimpan
sebuah rasa yang tak hanya bisa diungkapkan oleh kata-kata. "Tidurlah
kata-kata. Kita bangkit nanti." begitupun yang di ucapkan oleh Wiji
Thukul.
SCORE : 5/5
0 Komentar