Salah satu isu terpenting sekaligus paling sensitif di negeri ini
adalah keberagaman agama. Ironis memang tatkala negara kita yang
menganut semboyan "Bhineka Tunggal Ika" acapkali pecah konflik dengan
alasan perbedaan kepercayaan. Mayoritas
film Indonesia (khususnya religi) jelas saja mereka tak mempedulikan
masalah ini, mereka memilih untuk saling meninggikan agama mereka dengan
ceramah serta celotehan terkait agama yang terkesan menggurui ditambah
dengan karakter utama yang kelewat sempurna, itu sudah menjadi ciri khas
yang masih melekat pada film religi. Ditengah kondisi itu, hadirlah
"Aisyah: Biarkan Kami Bersaudara" yang bak sebuah oase membawa sebuah
pesan tentang kebersamaan dan keberagaman dan tentunya persaudaraan
antar umat beragama yang di perfilman kita ini memang sangat jarang
untuk dijamah.
Seorang gadis asal Ciwidey, Jawa Barat bernama Aisyah (Laudya Cynthia Bella) baru saja meraih gelar sarjana dan tengah mencari pekerjaan. Aisyah yang didorong hasrat untuk mengabdi sekaligus sakit hati setelah tuntutan pekerjaan membuat pria pujaannya, Jaya (Ge Pamungkas) harus pindah ke Aceh, Aisyah menerima sebuah tawaran mengajar di NTT, tepatnya di sebuah perkampungan bernama Dusun Derok, Kabupaten Timor Tengah Utara, yang sangat terpencil. Meski sempat dilarang oleh sang ibu (Lydia Kandou) Aisyah tetap nekat dengan keinginannya. Mengajar disana tentu tidaklah mudah, mengingat kondisi tempat yang masih terbelakang (tak ada listrik, kurang air bersih, sekolah penuh keterbatasan). Aisyah sendiri telah siap atas konsekuensi itu, namun tantangan terberat hadir tatkala ia ditolak oleh beberapa murid, salah satunya adalah Lordis Defam (Agung Isya Almasie Benu) karena alasan Aisyah beragama Islam, yang mana dianggap dapat menebar teror serta ancaman ditengah mayoritas penduduk yang beragama Katolik.
Seorang gadis asal Ciwidey, Jawa Barat bernama Aisyah (Laudya Cynthia Bella) baru saja meraih gelar sarjana dan tengah mencari pekerjaan. Aisyah yang didorong hasrat untuk mengabdi sekaligus sakit hati setelah tuntutan pekerjaan membuat pria pujaannya, Jaya (Ge Pamungkas) harus pindah ke Aceh, Aisyah menerima sebuah tawaran mengajar di NTT, tepatnya di sebuah perkampungan bernama Dusun Derok, Kabupaten Timor Tengah Utara, yang sangat terpencil. Meski sempat dilarang oleh sang ibu (Lydia Kandou) Aisyah tetap nekat dengan keinginannya. Mengajar disana tentu tidaklah mudah, mengingat kondisi tempat yang masih terbelakang (tak ada listrik, kurang air bersih, sekolah penuh keterbatasan). Aisyah sendiri telah siap atas konsekuensi itu, namun tantangan terberat hadir tatkala ia ditolak oleh beberapa murid, salah satunya adalah Lordis Defam (Agung Isya Almasie Benu) karena alasan Aisyah beragama Islam, yang mana dianggap dapat menebar teror serta ancaman ditengah mayoritas penduduk yang beragama Katolik.
Naskah yang ditulis oleh duo Jujur Prananto dan Gunawan Raharja
memang terkesan formulaik di semua sisi. Karakter Aisyah digiring menuju
konflik dan kemudian mampu ia hadapi berkat kesabaran dan kebaikan
hati. Konklusi yang ia miliki pun dapat terdeteksi sedari Aisyah
dihadapkan pada masalah utama. Fakta ini memang kerap memunculkan sebuah
kesan menggampangkan dalam proses penyesalaian masalah. Namun sulit
untuk tidak suka pada karakter Aisyah yang memang sedari awal likeable,
ia hanyalah seorang wanita yang penuh kelembutan hati, namun tak
terlampau (sok) suci, ia tetaplah seorang wanita yang biasa dihadapkan
pada urusan personal sederhana seperti home sick tatkala lebaran atau
kegundahan hati akibat percintaan. Sentuhan sisi kemanusiaan yang ia
punya sangat mudah untuk penonton memberikan simpati terhadapnya.
Itu semua turut di fasilitasi kinerja Laudya Chyntia Bella yang
memang piawai berlakon, menyulap dialog sederhana yang bak alamiah, yang
bukan semata-mata kalimat inspiratif. Begitupun tatkala ia dihadapkan
pada adegan dramatis, Bella mampu menanganinya, mampu menampilkan sebuah
takaran emosi yang tepat, yang mampu membuat penonton terenyuh
melihatnya, Juga semakin lengkap tatkala Bella mampu menghindarkan
kekakuan dari karakternya lewat beberapa sentuhan kecil, misalnya
merengek pada sang ibu atau tersenyum malu-malu tatkala didekat sang
pria idaman. Selain Bella, karakter Pedro yang dimainan oleh Arie
Kriting juga cukup mencuri perhatian, ia mampu menjadi sebuah supporting
cast yang tampil oke dalam setiap momennya, memunculkan sebuah tone
yang melengkapi dan menyatu dengan cerita lewat karakternya, terlebih
lagi momen antara Aisyah dengan murid-muridnya juga menghadirkan sebuah
interaksi yang meyakinkan lewat beberapa adegan seperti jalan-jalan
untuk memberi perlengkapan, membantu mencari air, menghias pohon natal
hingga membantu masyarakat mendapatkan sebuah akses tercepat untuk air
bersih terkesan oke.
Sutradara Herwin Novianto jelas mampu membuat sebuah interaksi Aisyah dengan murid-muridnya terkesan mumpuni, menghadirkan sebuah chemistry yang kuat dibalik pesan pluralisme agama serta sikap toleransi yang oke, yang membuat penonton ntaman melihat situasi itu, beberapa momen menjelang ending, seperti keterlibatan ibu-ibu setempat yang ingin membantu Aisyah untuk pulang ke rumahnya merayakan hari raya terasa sangat menyentuh, menghasilkan sebuah dramatisasi yang mengena di hati, ditemani Scoring dari Tyo Subiakto, momen ini terasa sangat pas dan menyentuh, tak ayal jika kamu melihatnya sembari menitikan air mata, meski harus terjebak ke dalam momen yang sesekali tampil klise, dan mungkin bagi beberapa orang overly dramatic, Aisyah jelas sangat penting untuk di tonton, terlebih terkait value mengenai toleransi agama yang harus diterapkan oleh kita, karena berkat keberagaman bukan menjadikan sebuah kerusuhan untuk saling membenci dan menganggap paling tinggi, melainkan sebuah perbedaan yang membuat kita tetap satu.
SCORE :4/5
Sutradara Herwin Novianto jelas mampu membuat sebuah interaksi Aisyah dengan murid-muridnya terkesan mumpuni, menghadirkan sebuah chemistry yang kuat dibalik pesan pluralisme agama serta sikap toleransi yang oke, yang membuat penonton ntaman melihat situasi itu, beberapa momen menjelang ending, seperti keterlibatan ibu-ibu setempat yang ingin membantu Aisyah untuk pulang ke rumahnya merayakan hari raya terasa sangat menyentuh, menghasilkan sebuah dramatisasi yang mengena di hati, ditemani Scoring dari Tyo Subiakto, momen ini terasa sangat pas dan menyentuh, tak ayal jika kamu melihatnya sembari menitikan air mata, meski harus terjebak ke dalam momen yang sesekali tampil klise, dan mungkin bagi beberapa orang overly dramatic, Aisyah jelas sangat penting untuk di tonton, terlebih terkait value mengenai toleransi agama yang harus diterapkan oleh kita, karena berkat keberagaman bukan menjadikan sebuah kerusuhan untuk saling membenci dan menganggap paling tinggi, melainkan sebuah perbedaan yang membuat kita tetap satu.
SCORE :4/5
0 Komentar