Tab

Ticker

6/recent/ticker-posts

PASUKAN GARUDA: I LEAVE MY HEART IN LEBANON (2016)

Saya pribadi sangat suka dengan film yang sarat akan pesan nasionalisme, selain memberikan sebuah semangat tersendiri bagi penontonnya, ia juga tentunya mampu memberikan sebuah hiburan tanpa harus bertutur berat, misalnya sebuah aksi perlawanan terkait subjeknya tersendiri. "Pasukan Garuda: I Leave My Heart in Lebanon" sedari awal cukup tampil memikat dinamana menampilkan sebuah footage hitam putih layaknya sebuah video propaganda Nazi, bedanya, film karya TB Silalahi ini menampilkan sebuah aksi PBB dan Kontingen Garuda (pasukan penjaga perdamaian Indonesia di Lebanon). Pasukan Garuda: I Leave My Heart in Lebanon sebuah aksi heroik yang bermain aman dengan gelaran romantika chessy pengundang tangis.

Kapten Satria (Rio Dewanto) adalah anggota Pasukan Garuda yang hendak bertugas ke Lebanon selama setahun, meninggalkan sang kekasih, Diah (Revalina S. Temat). Kondisi tersebut meninggalkan sebuah keraguan bagi Diah, terlebih sang ibu (Tri Yudiman) kurang menyetujui hubungan mereka, berbeda dengan sang ayah (Deddy Mizwar) yang notabene mantan prajurit dan mengerti akan hal itu. Kecemburuan Diah timbul tatkala mengetahui kedekatan Satria dengan wanita setempat, Rania (Jowy Khoury) seorang janda beranak satu, karena sang suami meninggal terkena serangan bom. Di sisi lain datanglah Andri (Baim Wong), pengusaha sukses yang menggunakan kekayaannya untuk merebut perhatian ibu Diah supaya merestuinya sebagai calon menantu.

Film yang bertindak sebagai propaganda bagi Pasukan Garuda, dan itu bukanlah sebuah hal buruk, banyak film yang bertindak serupa tapi menghasilkan sebuah estetika misalnya "The Birth of Nation'' dan "Pengkhiantan G 30 S PKI" adalah dua contoh usungan yang menghasilkan sebuah snematik yang luar biasa menawan. Pasukan Garuda menggambarkan prajurit abdi negara berdidekasi tinggi dimana mereka rela mengesampingkan pribadi, bersedia meluangkan waktu untuk memberikan bantuan hingga amat dicintai oleh masyarakat setempat, bahkan menaruh perhatian pada sesama militer (Satria dan anak buahnya sempat mendatangi angkatan bersenjata Lebanon untuk mengirimi kue dan mengucapkan ucapan ulang tahun). Kebanggaan belum tersulut, tapi saya tak keberatan untuk mempercayai persentasi itu.

"Pasukan Garuda: I Leave My Heart in Lebanon" jatuh akibat romansa yang menuturkan ketabahan prajurit menghadapi benturan masalah personal dan tugas. Berniat menggali sebuah paparan dilema antara Satria dan Diah, naskah garapan Benni Setiawan justru membuat mereka tidak simpatik. Diah adalah tipikal wanita posesif dan gampang dikuasai cemburu. Hanya melihat sang kekasih berbicara dengan seorang wanita pun membuatnya marah, enggan mengangkat telepon dan menolak menerima penjelasan. Sulit pula untuk bersimpati pada Satria yang mayoritas kegiatannya di Lebanon dihabiskan bersama Rania dan sang puteri, Satria sadar Diah cemburu bahkan oleh sesama rekannya pun sendiri sudah diperingatkan, bahkan Satria pun mengaku ingin membantu Rania dan sang puteri dan jatuh hati padanya secara terang-terangan.

Lebanon adalah negara konflik, begitupun lontaran kalimat yang dilontarkan dari ucapan Rania, masyarakat setempat menderita, menghabiskan keseharian mereka hidup menantang maut. "Pasukan Garuda: I Leave My Heart in Lebanon" lalai untuk mengeksplorasi situasi itu, sesekali roket menghujani langit dan militer Indonesia terjebak pada situasi baku tembak yang dikemas begitu clumsy oleh Benni Setiawan dengan efek CGI seadanya yang urung menghasilkan sebuah ketegangan. Saya paham benar filmnya mengetengahkan pesan perdamaian ketimbang eksploitasi teror peperangan, tapi mayoritas durasi diisi sedemikian aman, misalnya memetik apel bersama masyarakat setempat, check up ke dokter, dan berkumpul. Butuh gejolak yang lebih besar agar penonton merasakan perjuangan dan pengorbanan Satria.

Niat Benni Setiawan jelas terpampang, namun teknik penceritaannya yang justru terasa gagal total, berusaha memaparkan sebuah dedikasi dan kesetiaan, kedua protagonis ini justru gagal menjaga kesetiaan bahkan amanah. Memang film bernuansa nasionalisme harus memiliki jiwa nasionalis yang kuat, iya, benar tapi bukan berarti harus mengkhianati aspek penceritaan membuat film terasa berat akan pesan moral namun cerita nol besar, itu yang terjadi disini. Rio Dewanto bermain baik disini, Revalina S. Temat berusaha untuk bermain emosi, tapi peran Boris Manullang lah paling mencuri perhatian berkat comic relief-nya, sungguh sebuah film yang tak signifikan bagi sentral penceritaan.


SCORE : 2/5

Posting Komentar

0 Komentar