Saya
pribadi sangat suka dengan film yang sarat akan pesan nasionalisme,
selain memberikan sebuah semangat tersendiri bagi penontonnya, ia juga
tentunya mampu memberikan sebuah hiburan tanpa harus bertutur berat,
misalnya sebuah aksi perlawanan terkait subjeknya
tersendiri. "Pasukan Garuda: I Leave My Heart in Lebanon" sedari awal
cukup tampil memikat dinamana menampilkan sebuah footage hitam putih
layaknya sebuah video propaganda Nazi, bedanya, film karya TB Silalahi
ini menampilkan sebuah aksi PBB dan Kontingen Garuda (pasukan penjaga
perdamaian Indonesia di Lebanon). Pasukan Garuda: I Leave My Heart in
Lebanon sebuah aksi heroik yang bermain aman dengan gelaran romantika
chessy pengundang tangis.
Kapten Satria (Rio Dewanto) adalah
anggota Pasukan Garuda yang hendak bertugas ke Lebanon selama setahun,
meninggalkan sang kekasih, Diah (Revalina S. Temat). Kondisi tersebut
meninggalkan sebuah keraguan bagi Diah, terlebih sang ibu (Tri Yudiman)
kurang menyetujui hubungan mereka, berbeda dengan sang ayah (Deddy
Mizwar) yang notabene mantan prajurit dan mengerti akan hal itu.
Kecemburuan Diah timbul tatkala mengetahui kedekatan Satria dengan
wanita setempat, Rania (Jowy Khoury) seorang janda beranak satu, karena
sang suami meninggal terkena serangan bom. Di sisi lain datanglah Andri
(Baim Wong), pengusaha sukses yang menggunakan kekayaannya untuk merebut
perhatian ibu Diah supaya merestuinya sebagai calon menantu.
Film yang bertindak sebagai propaganda bagi Pasukan Garuda, dan itu
bukanlah sebuah hal buruk, banyak film yang bertindak serupa tapi
menghasilkan sebuah estetika misalnya "The Birth of Nation'' dan
"Pengkhiantan G 30 S PKI" adalah dua contoh usungan yang menghasilkan
sebuah snematik yang luar biasa menawan. Pasukan Garuda menggambarkan
prajurit abdi negara berdidekasi tinggi dimana mereka rela
mengesampingkan pribadi, bersedia meluangkan waktu untuk memberikan
bantuan hingga amat dicintai oleh masyarakat setempat, bahkan menaruh
perhatian pada sesama militer (Satria dan anak buahnya sempat mendatangi
angkatan bersenjata Lebanon untuk mengirimi kue dan mengucapkan ucapan
ulang tahun). Kebanggaan belum tersulut, tapi saya tak keberatan untuk
mempercayai persentasi itu.
"Pasukan Garuda: I Leave My
Heart in Lebanon" jatuh akibat romansa yang menuturkan ketabahan
prajurit menghadapi benturan masalah personal dan tugas. Berniat
menggali sebuah paparan dilema antara Satria dan Diah, naskah garapan
Benni Setiawan justru membuat mereka tidak simpatik. Diah adalah tipikal
wanita posesif dan gampang dikuasai cemburu. Hanya melihat sang kekasih
berbicara dengan seorang wanita pun membuatnya marah, enggan mengangkat
telepon dan menolak menerima penjelasan. Sulit pula untuk bersimpati
pada Satria yang mayoritas kegiatannya di Lebanon dihabiskan bersama
Rania dan sang puteri, Satria sadar Diah cemburu bahkan oleh sesama
rekannya pun sendiri sudah diperingatkan, bahkan Satria pun mengaku
ingin membantu Rania dan sang puteri dan jatuh hati padanya secara
terang-terangan.
Lebanon adalah negara konflik, begitupun
lontaran kalimat yang dilontarkan dari ucapan Rania, masyarakat setempat
menderita, menghabiskan keseharian mereka hidup menantang maut.
"Pasukan Garuda: I Leave My Heart in Lebanon" lalai untuk mengeksplorasi
situasi itu, sesekali roket menghujani langit dan militer Indonesia
terjebak pada situasi baku tembak yang dikemas begitu clumsy oleh Benni
Setiawan dengan efek CGI seadanya yang urung menghasilkan sebuah
ketegangan. Saya paham benar filmnya mengetengahkan pesan perdamaian
ketimbang eksploitasi teror peperangan, tapi mayoritas durasi diisi
sedemikian aman, misalnya memetik apel bersama masyarakat setempat, check
up ke dokter, dan berkumpul. Butuh gejolak yang lebih besar agar
penonton merasakan perjuangan dan pengorbanan Satria.
Niat
Benni Setiawan jelas terpampang, namun teknik penceritaannya yang justru
terasa gagal total, berusaha memaparkan sebuah dedikasi dan kesetiaan,
kedua protagonis ini justru gagal menjaga kesetiaan bahkan amanah.
Memang film bernuansa nasionalisme harus memiliki jiwa nasionalis yang
kuat, iya, benar tapi bukan berarti harus mengkhianati aspek penceritaan
membuat film terasa berat akan pesan moral namun cerita nol besar, itu
yang terjadi disini. Rio Dewanto bermain baik disini, Revalina S. Temat
berusaha untuk bermain emosi, tapi peran Boris Manullang lah paling
mencuri perhatian berkat comic relief-nya, sungguh sebuah film yang tak
signifikan bagi sentral penceritaan.
SCORE : 2/5
0 Komentar