Sejarah
memang tak lekang oleh waktu, ia mempunyai berbagai hal yang indah
namun tak sedikit pula yang menyakitkan, menilik beberapa tahun silam,
tepatnya pada warsa 1963, kita dikejutkan oleh sebuah berita yang datang
dari negara superpower yakni Amerika Serikat yang menjadi perhatian
dunia. Berita kematian Presiden Amerika yang menjabat sejak Januari
1961, John Fitzgerald Kennedy, yang
tewas di bunuh dengan cara ditembak ketika sedang menjalani
iring-iringan presiden di negara bagian Texas. Tidak hanya policy saja
yang ia tinggalkan saat itu, namun juga "legacy", salah satunya tentu
diterima oleh sang istri, Jacqueline Lee Kennedy Onassis atau "Jackie"
sang ibu negara.
Pasca insiden pembunuhan terhadap suaminya
yang juga Presiden Amerika kala itu, John F. Kennedy (Caspar Philipson),
pada tanggal 22 November 1963 di Dallas, Texas, Jacqueline Kennedy atau
kerap di panggil Jackie (Natalie Portman) tidak hanya harus berhadapan
dengan situasi duka yang menyakitkan dalam lingkup personal dirinya,
namun ia juga harus menghadapi berbagai hal yang "ditinggalkan" oleh
mendiang suaminya itu. Jackie berusaha untuk membawa 'memori' yang
ditinggalkan oleh mendiang suaminya ke dalam jalur yang tepat.
Terasa simple? Bukan, bukan karena film ini tidak punya banyak hal yang
menarik untuk di tampilkan, tapi karena pada dasarnya seperti itulah
garis besar dari apa yang Pablo Larrain coba lakukan di film ini. Kisah
pembunuhan terhadap mendiang John F. Kennedy dapat dikatakan sebuah
"well-known history" sehingga pertanyaan terbesar yang akan muncul
adalah apa yang ingin film ini lakukan terhadap insiden tersebut?
Bersama dengan sang screenwriter Noah Oppenheim di film pertama
berbahasa Inggris-nya ini, Pablo Larrain mencoba menampilkan dampak dari
peristiwa tersebut terhadap sang ibu negara, yakni Jackie. Fokusnya
memang bukan dari insidennya tetapi berpusat pada seorang wanita lengkap
dengan perjuangannya melewati 'cobaan' tersebut. Yang menariknya adalah
personal struggle yang Jackie tunjukkan justru berhasil menambah rasa
pedih dari insiden pembunuhan sang bapak negara, John F. Kennedy.
Dari acara pemakaman sang mendiang suami hingga respon yang
ditampilkannya, Jackie membawa sebuah luka yang sangat besar yang
menyelimuti sekujur tubuhnya dan menjadi sebuah 'mimpi terburuk' yang
pernah ia alami, yakni kehilangan sang suami tercinta. Tidak hanya
paranoia dan rasa sedih dan duka yang mendalam saja yang mendominasi
pikiran Jackie tetapi juga berbagai hal lain terkait politik, konspirasi,
dan tentu saja para pelaku. Yang dtampilkan Larrain di film ini adalah
membawa kamu fokus pada kehidupan Jackie, terutama momen bagaimana ia
bertarung melawan rasa sedih dan juga rasa bingung, dari mulai ketika ia
memakai pink suit yang dinodai oleh darah itu hingga sebuah hal simple
tapi impactful ketika memberikan pertanyaan ada seorang supir.
Eksekusinya memang terasa tersirat didalam cerita namun Larrain dan
Oppenheim terus membangun grief yang ia punya menjadi semakin dan
semakin tinggi.
Hasilnya? hal itu terus terasa makin meningkat karena tak hanya hadir dari sebuah ledakanyang eksplisit, melainkan
lewat ekspresi yang tenang namun penuh gejolak emosi yang menunjukan
bahwa Jackie memang seperti ingin pergi bersama sang suami.Larain memang
tak mengupas sebuah insiden itu, melainkan 'memoles' luka atas kejadian
itu yang akan memunculkan sebuah pertanyaan 'Bagaimana nasib Jackie,
setelah kehilangan sang suami?' pertanyaan itu yang ia coba lempar ke
penonton yang disini dapat menghasilkan berbagai lapisan yang saling
membantu untuk membuat Jackie layaknya bom waktu yang dapat meledak
kapan saja. Uniknya, Jackie tak nampak sebagai sebuah biografi maupun
seorang eks First Lady, unsur dramatic ang sangat kental yang membuat
film ini kian bersinar, Larrain mengupas habis bagaimana kondisi dari
dalam diri seorang Jackie.
Itu yang menjadikan Jackie sebagai sebuah
psychological drama yang sangat menawan, sebuah penggambaran pada
buntut atau akibat dari pembunuhan JFK dari sudut padang Jackie yang
menghasilkan tiga momen, pertama interview, kedua White House, dan momen
ketiga adalah moment diantara sang mendiang Suami dan pemakamannya.
Tiga momen tadi seperti sebuah lapisan yang saling menambal satu sama
lain untuk membuat situasi yang telah kompleks menjadi semakin kompleks
atau rumit. Penderitaan yang dialami Jackie tak terasa intens saja namun
unnerving, kesan yan ditampilkan begitu kental dan ditemani scoring
yang simple namun terasa masuk ke dalam hati, hal itu terasa menarik dan
menghasilkan sebuah epic yang amazing.
Natalie Portman adalah
kekuatan utama film ini. Larrain membuat ia seolah benar mengalami hal
tersebut, her face, her sound berhasil ditampilkan oleh Portman dengan
begitu menawan dalam menggambarkan situasi tersebut, ia seolah
benar-benar larut dalam duka dan kesedihan mendalam, saya suka Portman
disini ia tampil sederhana namun berhasil menciptakan sebuah gebrakan
betapa ironisnya kehidupan Jackie kala itu, sebuah pencapain yang luar
biasa and Congrulations for you Portman. Overall, Jackie sebuah drama
yang sangat luar biasa dari tangan dingin Pablo Larrain, ia berhasil
menciptakan sebuah feel sekaligus mengulang sejarah terhadap insiden
pada tahun 1963 itu menjadi sebuah sajian yang luar biasa dan tentunya
sangat menawan dan solid berkat script, eksekusi and actually Mrs.
Portman. So, are you like to believe in fairy tales?
SCORE : 4.5/5
0 Komentar