Melihat
jejeran nama seperti Alim Sudio, Asma Nadia serta Guntur Soeharjanto
jelas bukanlah pertama kali mereka bersatu dalam sebuah layar,
sebelumnya mereka bertiga tergabung dalam "Jilbab Travelers: Love Sparks
in Korea". "Cinta Laki-Laki Biasa" mempertemukan
kembali jajaran nama itu sebagai usaha membangun sebuah suguhan film
bernuansa religiusititas. Memang masih memegang paem umum layaknya film
beretema serupa, namun "Cinta Laki-Laki Biasa" mempunyai sebuah effort
yang mulus tanpa adanya sebuah kesan menggurui atau karakter kelewat
sempurna, yang mana adalah sebuah penyakit film bertemakan religi.
Ceritanya sendiri berkisah mengenai Nania (Velove Vexia) seorang
wanita dari golongan "berada" yang kemudian melakukan sebuah praktek di
sebuah proyek pembangunan rumah sederhana, yang kemudian
mempertemukannya dengan Muhammad Rafli Imani (Deva Mahenra) seorang
lelaki yang menjadi mentor-nya. Berawal dari sanalah cinta mempertemukan
mereka, sehingga tatkala Rafli melamar Nania guncangan pun terjadi
terkait "status" yang menjadi permasalahan sang ibu Nania (Ira Wibowo)
yang menentang keras, begitupun dengan ketiga kakaknya (Dewi Rezer,
Fanny Fabriana, Donita) yang sukses menikah dengan laki-laki yang mapan
(Agus Kincoro, Uli Herdiansyah, Adi Nugroho). Namun cinta tak kalah
karena urusan itu, Nania dan Rafli kemudian menjalin sebuah rumah
tangga.
Memang cerita yang tertera diatas terkesan formulaic
tentang sebuah kisah cinta "beda status" yang mana sudah ribuan kali
menjadi langganan sebuah film dan FTV yang sering muncul di televisi
swasta. Namun materi yang sudah terkesan formulaic ini menyimpan sebuah
konflik sederhana namun berpotensi tampil secara intim. Begitupun yang
terjai di film berdasarkan sebuah novel karya Asma Nadia ini yang
kemudian turut serta sebagai peracik naskah bersama Alim Sudio, ia
memang tak terkesan mewah, namun benturan konflik terkait "status" itu
mampu tampil secara mulus tanpa adanya sebuah paksaan terkait cerita
maupun tampil secara tergesa-gesa.
Guntur Soeharjanto selaku
sutradara mampu mmainkan timing yang tepat sehingga membuat penonton
cepat pula memberikan sebuah simpati kepada karakter, tengok saja adegan
tatkala sang mertua (Ibu dari Nania) terlalu mengurusi rumah tangga
Nania seperti mengirimkan sebuah peralatan bayi tatkala Nania hamil
karena ia beranggapan bahwa Rafli tak akan mampu untuk membelinya, itu
memang sebuah adegan sederhana namun itu pun berkat kinerja Soeharjanto
mampu menampilkan sebuah gesekan yang kuat, khususnya terkait batin
Rafli yang seolah dianggap remeh. Intimitas itu pun yang menjadi
kekuatan dasar karakter, karakter Rafli memang tak sempurna, ia hanyalah
seorang laki-laki biasa seperti yang telah tercantum di judulnya, tapi
cinta yang ia miliki sangat luar biasa, ia beranggapan bahwa sebuah
kebahagian itu tak dibangun dalam kemewahan, tapi dengan sebuah
kesederhanaan yang diwarnai keakraban dan ketulusan, sama seperti halnya
rumah tak perlu mewah, karena rumah mewah tak menjamin keluarganya akan
bahagia, melainkan dari sebuah rasa yang kita ciptakan terhadap rumah
itu.
Dikala itu pun juga Soeharjanto piawai memainkan emosi,
emosi karakter dan penonton tersulut semakin kuat pula semakin pelik,
belum lagi tatkala sang ibu Nania yang sering membandingkan Rafli dengan
sang kakak serta Tyo Handoko (Nino Fernandez) seorang dokter muda yang
tadinya akan dijodohkan dengan Nania. Disaat bersamaan juga musik
gubahan Andhika Triyadi mampu mengisi celah emosional adegan tersebut,
sehingga menampilkan sebuah pergolakan yang sama hebatnya. Deva Mahenra
mampu menyuntikkan sisi emosional yang pas, batin ia memang terkoyak
habis, tapi tutur ekspresi yang ia tampilkan begitu membantu yang jelas
tergambar dari raut wajahnya, sementara itu Velove Vexia mampu mejadi
lawan sepadan bagi Deva ia pun tampil begitu natural serta memberikan
dampak yang baik pada chemistry mereka, Ira Wibowo pun tak kalah
hebatnya, ia mampu menjadi penyulut konflik yang tak tampil intimidatif
namun intimacy. Nino Fernandez mungkin tak terlalu tampil banyak ruang,
tapi keberadaannya pun mampu menciptakan konflik yang cukup kuat,
seperti tatkala ia merawat Nania di rumah sakit tempat ia bekerja.
Kala penceritaannya menuju third-act Soeharjanto justru tampil
tergesa-gesa ingin segera menuju klimaks, alhasil adegan itu pun tampil
kurang maksimal dan sedikit menurunkan tensi cerita. Kala tensi mulai
naik Soeharjanto mengemasnya begitu menggampangkan dan terburu-buru,
meski tak sepenuhnya mengganggu intensitas cerita, jelas ada lebih
baiknya kalo third-act ini tampil sedikit santai, hal ini terjadi
mungkin demi mempercepat durasi sehingga tak pelak gulirannya begitu
cepat. Walaupun demikian, tata gambar arahan Cesa David Luckmansyah
jelas membantu aliran cerita, meski ta tampil memikat nan mewah seperti
di "Jilbab Travelers: Love Sparks in Korea" namun ritmenya terasa pas.
"Cinta Laki-Laki Biasa" garapan Guntur Soeharjanto memang bermodalkan
cerita yang lumrah terjadi, namun berkat timing serta penggarapan yang
mumpuni, menjadikannya jauh dari kesan megecewakan, meski kekurangan di
akhir melekat pada film ini.
SCORE : 3/5
0 Komentar