Iqbal (Iqbaal Dhiafakhri Ramadhan) dan Aldi (Alvaro Maldini) adalah dua sahabat yang tergabung bersama dalam sebuah band. Walau begitu keduanya sama sekali belum pernah manggung dengan alasan kekurangan personel. Untuk itu Aldi berencana merekrut Kiki (Teuku Ryzki), sang ketua OSIS teladan yang masa jabatannya hendak berakhir. Pada pemilihan ketua OSIS, Ayla (Caitlin Halderman) yang juga teman kecil Iqbal berambisi meraih kemenangan. Merasa dianggap remeh oleh Ayla, Iqbal pun turut serta mencalonan diri, Masalahnya, berbeda dengan Ayla, Iqbal bukanlah siswa pandai dan gemar bertingkah seenaknya.
Memang jalinan cerita diatas tampil sangat predictable, tapi disinilah naskah garapan Haqi Achmad menunjukan kualitasnya, Haqi sanggup menyatukan tiga jalur cerita mulai dari pemilihan OSIS, romansa dan konflik personal karakter tanpa harus tumpang tindih. Ketiga jalur itu bersinergi dan membentuk sebuah jalinan yang koheren serta menampilkan sebuah hukum kaukalitas yang logis, sebagai contoh misalnya karakter Ayla yang kurang perhatian dari sang Ibu (Wulan Guritno) memantik ambisi besarnya di sekolah. Rasa sepi itu membuat ketertarikannya dengan Iqbal masuk akal. Kedekatan antar kedua tokoh pun mulai terjadi, terlebih tatkala Ayla makan bersama dengan keluarga Iqbal yang memang menimbulkan sebuah titik balik sekaligus perasannya untuk merasakan sebuah keluarga yang ia dambakan. Begitupun dengan karakter yang lain seperti Kiki yang dilarang oleh ayahnya (Ikang Fawzi) untuk bermusik, hingga Aldi yang bersikap ingin selalu menang lewat jalan yang kotor.
Romansanya tampil sederhana, tampil memadahi tanpa harus bermain gombal (penyakit romansa teenlit putih abu-abu). Penampilan Iqbaal Dhiafakhri Ramadhan dan Caitlin Halderman pun turut memfasilitasi itu, Iqbal merupakan sosok yang likeable dan mampu mencuri perhatian dibanding teman sesamanya, sementara Caitlin mewakili karakter Ayla yang tampil melekat pada dirinya, terlebih tatkala ia merasa rapuh. Alhasil chemistry yang kust pun terjadi diantara mereka, sehingga momen dimana mereka berjalan sambil menari-nari pun terasa sangat sweet, namun tak begitu dengan romansa antara Aldi dan Tara (Gege Elisha) serta Kiki dan Bella (Agatha Chelsea) yang memang berpotensi tampil likeable seperti pada saat momen credit title tampil.
Turut di lengkapi juga dengan hantaran musiknya sebagai pemandu jalan cerita yang memang klop, memang liriknya tak mewah maupun jenius, tetapi ia mampu tampil ringan dan catchy mengiringi momen demi momen kebersamaan mereka ditengah suasana kasmaran. Keberhasilan "Ada Cinta di SMA" seperti yang telah saya singgung tadi yakni ia mampu tampil sederhana dan logis, memaparkan setumpuk konflik tanpa harus bertabrakan satu sama lain yang akhirnya mampu menciptakan sebuah feel yang kuat bagi penonton lewat karakter yang mampu tampil memukau, turut serta juga para supporting actor seperti Reza Nangin sebagai kepala sekolah mampu mencuri perhatian lewat karakternya.
Sangat disayangkan third act-nya tampil menggampangkan, seolah terburu-buru ingin mencapai konklusi dan menyisakan konflik yang masih urung untuk terjawab, ini setidaknya yang menghalangi saya untuk memberikan nilai lebih kepada film ini, awal serta pertengahan berjalan dengan mulus namun berakhir dengan begitu menggampangkan akibat keinginan Patrick Effendy yang sangat tergesa-gesa ingin mengakhiri guliran cerita film ini. Namun setidaknya "Ada Cinta di SMA" mampu memberikan sebuah hiburan bagi Comate serta penonton lainnya sekaligus sebagai contoh bagaimana film teenlit seharusnya dibuat.
SCORE : 3/5
0 Komentar