Hal
yang sangat saya dan mungkin kalian benci adalah sebuah perpisahan.
Perpisahan memisahkan dua insan untuk saling mencinta, menimbulkan
sebuah luka yang begitu mendalam serta penyesalan yang begitu hebatnya.
Tak bisa di pungkiri memang, itu sudah menjadi rumus dunia. Meskipun
demikian, perasaan mengenai persoalan hati memang tak bisa bohong, raga
memang berpisah tapi keinginan untuk
bersama serta mengulang memori manis yang kemudian terangkum dalam
sebuah kenangan nyatanya sulit untuk di bendung. Pada saat itulah timbul
sebuah pertanyaan yang haus untuk di jawab,"Apakah kita akan bertemu
kembali?". Itulah yang coba diangkat oleh sineas asal Thailand, Bank
Tanjaitrong dalam sebuah film yang bak sebuah kalimat "Till We Meet
Again".
Joanna (Linnea Larsdotter) dan Erik (Johan Matton) adalah dua sejoli yang sudah menjalin hubungan dalam satu atap selama lima tahun lamanya, sebuah perjalanan membawa kedua sejoli ini untuk berlibur ke Thailand sekaligus sebagai kesempatan untuk Erik mengikuti kusus menyelam. Erik memang tak bisa jauh dari Joanna, sementara Joanna yang merasa terikat oleh Erik menghalangi niatnya untuk bertemu dengan sang sahabat. Disinilah konflik mulai menyeruak masuk, Joanna pergi menemui sang sahabat,sementara Erik menyelesaikan kursus menyelamnya.
Joanna (Linnea Larsdotter) dan Erik (Johan Matton) adalah dua sejoli yang sudah menjalin hubungan dalam satu atap selama lima tahun lamanya, sebuah perjalanan membawa kedua sejoli ini untuk berlibur ke Thailand sekaligus sebagai kesempatan untuk Erik mengikuti kusus menyelam. Erik memang tak bisa jauh dari Joanna, sementara Joanna yang merasa terikat oleh Erik menghalangi niatnya untuk bertemu dengan sang sahabat. Disinilah konflik mulai menyeruak masuk, Joanna pergi menemui sang sahabat,sementara Erik menyelesaikan kursus menyelamnya.
Memang naskah garapan Johan Matton yang turut berperan sebagai Erik
sangatlah tipis, berawal dari sebuah kepentingan pribadi namun mampu
menghasilkan impact yang besar di ranah eksekusi. Kepiawaian Bank
Tangjaitrong merangkum kisah dua sejoli ini begitu menyulut berbagai
aspek, salah satunya menekankan emosi pada karakternya. Memang ini tak
lebih dari sebuah kesalahpahaman yang acap kali sering di eksplorasi
maupun di eksploitasi bagi para sineas FTV, namun nyatanya metode simple
ini ampuh untuk memainkan perasaan karakter, menyulut pergolakan batin
serta mencoba melupakan di tengah kegamangan hati untuk memilih antara
merajut dan melepaskan.
"Till We Meet Again" adalah sebuah eskapisme, namun itu semua terasa relatable bagi realita di dunia nyata. Ini yang membuat film ini terasa real, saya pribadi dan mungkin kalian pernah merasakan apa yang di rasakan oleh karakter utama ini, sehingga tak ayal koneksi pun makin kuat dan merekat antara karakter dan penonton. Kehadiran David (Emrhys Cooper) menemani perasaan Joanna serta Miranda (Astrea Campbell-Cobb) yang perlahan memberikan ruang hati bagi Erik, termasuk salah satu hal yang sering di alami oleh kita, kehadiran mereka sebagai penyedia ruang bagi dua karakter yang masing-masing sedang bermasalah, Erik dan Miranda memang menyediakan ruang bagi mereka, tetapi Matton tak menjadikan dua karakter ini sebagai perebut maupun berada di ranah antagonis. Mereka memang mempunyai rasa, tapi tak gampang juga untuk mereka mengambil hati serta menarik atensi masing-masing, ini pula yang menarik dari film ini.
Sinematografi bidikan kamera dari Lance Kuhns & Travis Bleen turut
berjasa menemani pelarian dua karakter utama di tengah kegamangan serta
keputusasaan rasa, tak hanya itu saja, itu juga turut memanjakan mata
penonton lewat gelaran sunset di tengah gemuruk ombak, atau keindahan
laut serta hutan Thailand. Musik gubahan Dexter Britain juga sumbangsih
menemani situasi serta perasaan karakter,menggambarkan isi hati yang
seolah telah terwakili. Momen kala dialog "Ask me and i'll stay" adalah
puncak perwujudan hati yang selama ini terpendam rapat serta menyiksa
diri. Ini adalah puncak dimana ketentuan antara melepaskan atau merajut
di pertanyakan.
Keberhasilan "Till We Meet Again" bukan hanya di ranah kognitif dan afektif saja, melainkan performa dari jajaran cast pun turut ikut andil, Matton dalam rasa ketergantungan dan egosnya terhadap Joanna, serta Larsdotter yang piawai bermain rasa. Cooper dan Campbell-Cobb sebagai penyedia ruang pun tampil begitu memukau, tak perlu dengan rayuan gombal, cukup bermain dengan mata, pikiran, dan perasaan yang dituangkan lewat dialog teka-teki terhadap masing-masing. "Till We Meet Again'' adalah sebuah eskapisme terhadap hubungan sekaligus makna dari sebuah rumus kehidupan. Lewat "Till We Meet Again" saya larut dalam emosi, terhanyut kala bermain dalam ranah romantika serta bertanya pada diri pribadi, apakah saya akan menemukan film semacam ini lagi?
SCORE : 4.5/5
Keberhasilan "Till We Meet Again" bukan hanya di ranah kognitif dan afektif saja, melainkan performa dari jajaran cast pun turut ikut andil, Matton dalam rasa ketergantungan dan egosnya terhadap Joanna, serta Larsdotter yang piawai bermain rasa. Cooper dan Campbell-Cobb sebagai penyedia ruang pun tampil begitu memukau, tak perlu dengan rayuan gombal, cukup bermain dengan mata, pikiran, dan perasaan yang dituangkan lewat dialog teka-teki terhadap masing-masing. "Till We Meet Again'' adalah sebuah eskapisme terhadap hubungan sekaligus makna dari sebuah rumus kehidupan. Lewat "Till We Meet Again" saya larut dalam emosi, terhanyut kala bermain dalam ranah romantika serta bertanya pada diri pribadi, apakah saya akan menemukan film semacam ini lagi?
SCORE : 4.5/5
0 Komentar