Berbeda
dengan film animasi lain yang sering bermain dengan dunia fantasy
mereka ataupun sikap keberanian yang ia miliki, My Life is a Courgette
atau yang berjudul lain My Life is a Zucchini menyoroti kisah anak-anak
yang kurang beruntung, yang hsrus menanggung beban tatkala rasa kasih
sayang yang harusnya mereka miliki harus hilang karena suatu ego dari dalam
diri manusia (baca: orang tua). Sutradara indie, Claude Barras menyadur
novel Autobiographie d'une Courgette tulisan Gilles Paris ini jelas
ditujukan bagi kalangan penonton dewasa yang telah mampu memahami nasib
malang para tokoh di dalamnya. My Life is a Corgette a.ka My Life is a
Zucchini is the best animation movie for me, so, what's with you?
Courgette. Itulah panggilan Icare (Gaspard Schlatter) dari sang ibu
yang menjadi alkoholik sejak ditinggal kabur sang suami. Courgette
adalah seorang anak yang introvert, yang gemar mengurung diri di kamar,
sambil melakukan kegiatan seperti mencoret-coret dinding, menerbangkan
layangan bergambar ayahnya yang memakai kostum pahlawan super (gambaran
ayah ideal setiap anak), atau menyusun kaleng bir sisa ibunya. Sampai
suatu peristiwa memaksa Courgette untuk tinggal di sebuah panti asuhan
bersama anak-anak lainnya yang bermasalah, seperti halnya Camille
(Sixtine Murat) seorang anak baru yang memikat hatinya. Persahabatan,
cinta, dan keluarga. Sisi-sisi kehidupan tersebut dihadapi anak-anak
dengan kesamaan nasib serupa.
Ya, seperti yang telah kamu
ketahui, bahwa film animasi yang bisa dibilang different from them
others dimana Claude Barras disini mengangkat sebuah animasi namun
dengan ruang lingkup dewasa, pernahkah kamu memikirkan bagaimana nasib
anak-anak yang seharusnya mendapat sebuah kasih sayang dibalik tampang
lugu yang dimilikinya? itu yang menarik disini, Barras mampu membuat
sebuah animasi yang bisa dibilang sensitif tapi jika kita tilik lebih
dalam, ini bukan hanya sebuah animasi melainkan sebuah realita yang
mungkin terjadi pada anak yang mengalami hal yang sama, bagaimana di
usia mereka yang masih polos harus menanggung beban layaknya orang tua,
sebuah animasi yang memikat, meskipun kita tahu disini ruang lingkup
narasi hanya bersetting di panti asuhan saja, yang tersusun atas
rangkaian peristiwa yang dialami Courgette,sebutlah jadi korban bully
Simon (Paulin Jaccound), menjalin kedekatan dengan seorang polisi
bernama Raymond (Michel Vuiller), hingga bertemu dengan seorang anak
baru yang bernama Camille yang mampu menghidupkan setitik semangat yang
hilang dari diri Courgette, memang sekilas tampil secara episodik, namun
naskah yang dilakukan secara keroyokan oleh Celine Sciamma, Claude
Barras, Germano Zullo, dan Morgan Navarro ini mampu menekankan sebuah
kesatuan yang utuh serta menekankan bahwa semua itu adalah proses
alamiah yang saling terkait meskipun tanpa memakai skema besar, tapi
kebersamaan ana-anak dengan penderitaan yang sama adalah skema besarnya.
Kesubtilan yang cerdik turut mengiringi penceritaan, salah satunya
terbentuk eksposisi kalimat yang tersirat di dalam baris ucpan karakter
yang memiliki beragam fungsi, misalnya alasan Raymond sangat perhatian
kepada Courgette yang dijabarkan secara gamblang disini, lalu ada juga
masalah terait Simon yang selalu menganggap Alice sebagai mimpi buruk
atas kejadian yang menimpa ayahnya di masa lalu yang dipenjara karena
melakukan suatu hal yang tak dapat ia jabarkan, serta tokoh lain
misalnya seorang anak perempuan yang selalu mengharap ibunya datang,
pelecehan seksual, alkoholisme, serta tindak kekerasan lain yang tak
seharusnya berada pada film animasi anak, namun semua kegamblangan itu
digarap dengan baik disini oleh Barras yang turut menyokong penceritaan
menjadi semakin kokoh. Selain itu, yang saya suka dai Barras disini
adalah ia mampu menyertakan simbiolisme yang merunut pada suatu
kesubtilan misalnya acap kali trlihat burung yang membangun sarangnya,
merawat anaknya dan secara kita sadari semua itu merupakan sebuah
sindiran mungkin bagi penonton dewasa, yang burung lakukan itu justru
berkebalikan dengan apa yan seharusnya anak-anak alami disini.
Meski mengusung tema kelam, My Life is a Courgette enggan untuk
bermuram durja. Sebagaimana telah disinggung tadi, medium animasi
mewadahi keceriaan ana-anak, entah itu seperti bermain salju,
menghentakan aki sambil menari atau berfoto usil di depan kamera, meski
di satu adegan mereka mungkin iri dengan apa yang mereka lihat antara
kebersamaan seorang ibu dan anak yang pebuh kasih sayang, namun mereka
dengan kuat sadar akan keadaan. Semua itu cukup memancing gelak tawa
tatkala mereka sejenak melupakan dan terjebak di dalam sebuah ego yang
mencekik orang dewasa, mereka masih dapat tersenyum, pemilihan ending
positif ditengah durasi yang hanya sebatas 66 menit membuat My Life is a
Courgette tampil menawan yang membuat semua tampak cerah tatkala cahaya
dan iringan musik akustik dari Sophie Hunger turut selaras mengikuti
penceritaan dan kesubtilan cerita.
SCORE : 4.5/5
0 Komentar