Tab

Ticker

6/recent/ticker-posts

MY LIFE AS A COURGETTE (2016)

Berbeda dengan film animasi lain yang sering bermain dengan dunia fantasy mereka ataupun sikap keberanian yang ia miliki, My Life is a Courgette atau yang berjudul lain My Life is a Zucchini menyoroti kisah anak-anak yang kurang beruntung, yang hsrus menanggung beban tatkala rasa kasih sayang yang harusnya mereka miliki harus hilang karena suatu ego dari dalam diri manusia (baca: orang tua). Sutradara indie, Claude Barras menyadur novel Autobiographie d'une Courgette tulisan Gilles Paris ini jelas ditujukan bagi kalangan penonton dewasa yang telah mampu memahami nasib malang para tokoh di dalamnya. My Life is a Corgette a.ka My Life is a Zucchini is the best animation movie for me, so, what's with you?

Courgette. Itulah panggilan Icare (Gaspard Schlatter) dari sang ibu yang menjadi alkoholik sejak ditinggal kabur sang suami. Courgette adalah seorang anak yang introvert, yang gemar mengurung diri di kamar, sambil melakukan kegiatan seperti mencoret-coret dinding, menerbangkan layangan bergambar ayahnya yang memakai kostum pahlawan super (gambaran ayah ideal setiap anak), atau menyusun kaleng bir sisa ibunya. Sampai suatu peristiwa memaksa Courgette untuk tinggal di sebuah panti asuhan bersama anak-anak lainnya yang bermasalah, seperti halnya Camille (Sixtine Murat) seorang anak baru yang memikat hatinya. Persahabatan, cinta, dan keluarga. Sisi-sisi kehidupan tersebut dihadapi anak-anak dengan kesamaan nasib serupa.

Ya, seperti yang telah kamu ketahui, bahwa film animasi yang bisa dibilang different from them others dimana Claude Barras disini mengangkat sebuah animasi namun dengan ruang lingkup dewasa, pernahkah kamu memikirkan bagaimana nasib anak-anak yang seharusnya mendapat sebuah kasih sayang dibalik tampang lugu yang dimilikinya? itu yang menarik disini, Barras mampu membuat sebuah animasi yang bisa dibilang sensitif tapi jika kita tilik lebih dalam, ini bukan hanya sebuah animasi melainkan sebuah realita yang mungkin terjadi pada anak yang mengalami hal yang sama, bagaimana di usia mereka yang masih polos harus menanggung beban layaknya orang tua, sebuah animasi yang memikat, meskipun kita tahu disini ruang lingkup narasi hanya bersetting di panti asuhan saja, yang tersusun atas rangkaian peristiwa yang dialami Courgette,sebutlah jadi korban bully Simon (Paulin Jaccound), menjalin kedekatan dengan seorang polisi bernama Raymond (Michel Vuiller), hingga bertemu dengan seorang anak baru yang bernama Camille yang mampu menghidupkan setitik semangat yang hilang dari diri Courgette, memang sekilas tampil secara episodik, namun naskah yang dilakukan secara keroyokan oleh Celine Sciamma, Claude Barras, Germano Zullo, dan Morgan Navarro ini mampu menekankan sebuah kesatuan yang utuh serta menekankan bahwa semua itu adalah proses alamiah yang saling terkait meskipun tanpa memakai skema besar, tapi kebersamaan ana-anak dengan penderitaan yang sama adalah skema besarnya.
Kesubtilan yang cerdik turut mengiringi penceritaan, salah satunya terbentuk eksposisi kalimat yang tersirat di dalam baris ucpan karakter yang memiliki beragam fungsi, misalnya alasan Raymond sangat perhatian kepada Courgette yang dijabarkan secara gamblang disini, lalu ada juga masalah terait Simon yang selalu menganggap Alice sebagai mimpi buruk atas kejadian yang menimpa ayahnya di masa lalu yang dipenjara karena melakukan suatu hal yang tak dapat ia jabarkan, serta tokoh lain misalnya seorang anak perempuan yang selalu mengharap ibunya datang, pelecehan seksual, alkoholisme, serta tindak kekerasan lain yang tak seharusnya berada pada film animasi anak, namun semua kegamblangan itu digarap dengan baik disini oleh Barras yang turut menyokong penceritaan menjadi semakin kokoh. Selain itu, yang saya suka dai Barras disini adalah ia mampu menyertakan simbiolisme yang merunut pada suatu kesubtilan misalnya acap kali trlihat burung yang membangun sarangnya, merawat anaknya dan secara kita sadari semua itu merupakan sebuah sindiran mungkin bagi penonton dewasa, yang burung lakukan itu justru berkebalikan dengan apa yan seharusnya anak-anak alami disini.

Meski mengusung tema kelam, My Life is a Courgette enggan untuk bermuram durja. Sebagaimana telah disinggung tadi, medium animasi mewadahi keceriaan ana-anak, entah itu seperti bermain salju, menghentakan aki sambil menari atau berfoto usil di depan kamera, meski di satu adegan mereka mungkin iri dengan apa yang mereka lihat antara kebersamaan seorang ibu dan anak yang pebuh kasih sayang, namun mereka dengan kuat sadar akan keadaan. Semua itu cukup memancing gelak tawa tatkala mereka sejenak melupakan dan terjebak di dalam sebuah ego yang mencekik orang dewasa, mereka masih dapat tersenyum, pemilihan ending positif ditengah durasi yang hanya sebatas 66 menit membuat My Life is a Courgette tampil menawan yang membuat semua tampak cerah tatkala cahaya dan iringan musik akustik dari Sophie Hunger turut selaras mengikuti penceritaan dan kesubtilan cerita.


SCORE : 4.5/5

Posting Komentar

0 Komentar