Mengangkat
sebuah novel teen lite ke dalam sebuah film memang sudah lazim di
angkat para filmmaker, ya, memang sebuah film yang diadaptasi dari
sebuah novel mempunyai tugas yang bisa dibilang tak mudah, terutama bagi
sang sutradara yang memegang nahkoda film ini akan berlayar. Apakah
sang sutradara berhasil membawa film yang disadur dari novel ini? R. J.
Cutler mencoba memegang nahkoda dan
menentukan arah jalan film yang disadur dari novel best seller karya
Gayle Forman, If I Stay. Apakah If I Stay dapat membuat penonton Stay
serasa di Pantay?
Remaja wanita yang mencintai Cello miliknya
sama besar seperti rasa cintanya pada teman dan keluarganya, Mia Hall
(Chloe Grace Moretz), menaruh rasa tertarik pada anak laki-laki bernama
Adam Wilde (Jamie Blackley), seorang vokalis band yang sangat terkenal.
Tapi, sebuah kecelakaan mobil menimpa Mia, sang ayah, Denny (Joshua
Leonard), sang ibu, Kat (Mireille Enos), dan saudaranya Teddy (Jakob
Davies). Mia dipaksa untuk menghadapi gejolak antara hidup atau mati
sebagai roh ketika ia berada dalam keadaan koma.
Hal yang harus
diperhatikan dalam menggarap sebuah film adaptasi adalah bagaimana
sutradara mengeksplorasi karakter serta hal penting yang berhubungan
dengan film ini, ya, memang tak setiap novel yang difilmkan harus sama
persis dengan buku, namun sutradara harus mengambil langkah cepat dan
tepat untuk arah film ini. Ya memang R. J. Cutler berhasil menampilkan
inti film ini, namun sayang Cutler tak mampu memanfaatkan apa potensi
yang dimiliki oleh film ini.
Potensi dimana sang karakter utama
lengkap dengan latar belakang yang ia miliki hingga suatu insiden yang
membuatnya jatuh koma dan berada diantara hidup dan mati dapat menjadi
bumbu yang manis dan dramatis tidak dimanfaatkan oleh Cutler, ia hanya
memberi jalan yang salah dimana bukan jalan yang tepat, alhasil
semuanyapun bobrok begitu saja.
Hal yang paling bodoh dan
ambigu adalah Cutler tak mampu membuat penonton terasa terikat oleh
karakter, koneksi antara penonton dengan karakter miss begitu saja,
sehingga yang dilihat penonton hanyalah sebuah karakter lain yang
datang, menjalankan tugas, lalu meminta simpati begitu saja. Memang
terasa dipaksakan, dimana karakter asing yang tiba-tiba meminta rasa
belas kasihan tanpa alasan yang begitu jelas. Rupanya novel garapan
Gayle Forman tak mampu dieksekusi dengan baik oleh R. J. Cutler meskipun
dengan sokongan script dari Shavna Cross sekalipun.
Elemen
yang dimiliki film ini sebenarnya penting dimana sang karakter utama
terikat oleh musik, keluarga, serta cinta, namun elemen itu tak
dimanfaatkan dan mengakibatkan semua elemen itu cuma omong kosong dan
bualan semata.
Memang akting yang ditampilkan pemain tak buruk
begitupun dengan chemistry antar pemain yang tak diragukan lagi. Namun
sayang, rupanya semua itu tak didukung dengan penggarapan yang mumpuni
dimana karakter utama berjuang hidup dengan cintanya, alasan LIVE FOR
LOVE hanya sebuah elemen biasa yang hadir lalu menghilang begitu saja
tanpa alasan yang jelas serta menimbulkan ambiguitas yang kemudian
terasa manipulatif belaka.
SCORE : 2.5/5
0 Komentar