"Gak semua yang kita inginkan akan terwujud, dan gak semua yang kita takutkan akan terjadi"
Di muka bumi yang kita pijaki ini, manusia hidup dengan perannya
masing-masing, tak semuanya serupa dan tak semuanya sama memang.
Terkadang kita selaku orang yang mempunyai ras yang "berbeda" dengan
yang lain sering mengalami yang namanya penindasan. Hal terkait
SARA.termasuk rasial terasa lebih
sensitif memang. Bukan karena orang selaku "pem-bully" serta orang yang
intoleran saja, tapi justru disebabkan bertambah mudahnya para "korban"
tersinggung oleh hal tersebut. Misalnya memanggil seseorang dengan
sebutan "Cina" bisa saja dianggap sebagai sebuah tindakan rasisme,
sehingga masyarakat kita dihimbau untuk menyebutnya "Tionghoa". Bukan
maksud untuk membenarkan tindakan rasisme, tapi harus diakui orang-orang
sangat mudah tersinggung menyikapi hal itu, seolah sisi kehidupan harus
dianggap serius. Ditengah panasnya persoalan, muncullah Ernest Prakarsa
dengan segala materi komedi yang didasarkan pada kehidupan pribadinya,
membuat sebuah film adaptasi buku trilogi berjudul "Ngenest" dengan
usungan tagline "Kadang hidup perlu ditertawakan". Sungguh usungan
menarik, cerdas dan berani bukan jika mendengarnya, bahkan jikalau
filmnya pun hasilnya mengecewakan "Ngenest" adalah sebuah film yang
patut untuk diapresiasi karena keberaniannya.
"Ngenest"
bercerita tentang kehidupan Ernest (Kevin Anggara) yang sejak kecil
kerap menjadi korban bullying akibat statusnya sebagai keturunan etnis
Cina. Beruntung ia memiliki sahabat sesama Cina bernama Patrick (Brandon
Salim, dewasanya diperankan oleh Morgan Oey) yang setia menemani dan
memberikan bantuan. Demi menghindari omongan orang-orang (baca: teman
sekolah) atas tindakan tersebut, Ernest tak tinggal diam. Berbagai cara
ia tempuh untuk keluar dari penindasan itu, termasuk mencoba menjalin
pertemanan dengan mereka yang mem-bully dirinya. Semua usaha itu gagal,
hingga timbul kekhawatiran jika anaknya kelak akan mendapat perlakuan
serupa. Berawal dari rasa khawatir itu, Ernest (Ernest Prakarsa)
memutuskan untuk mencari istri orang pribumi demi "memperbaiki"
keturunan. Hingga sewaktu berkuliah, Ernest berkenalan dengan Meira
(Lala Karmela) yang sempurna memenuhi kriterianya, yakni wanita pribumi,
cantik, dan berkulit sawo matang. Tapi rasa takut Ernest tentang nasib
sang anak nyatanya tak semudah itu sirna.
Debut
penyutradaraan seorang Ernest Prakarsa yang turut merangkap sebagai
penulis naskah, wajar memang bila tampil sebuah keraguan di segi
kualitas, setumpuk pertanyaan menggunung pun tampil mulai dari bisakah
ia membuat sebuah alur film yang tak melompat-lompat, bisakah ia tampil
sebagai sutradara disamping ia yang memang seorang stand-up comedy, dan
yang paling penting ialah bisakah ia membuat sebuah cerita yang
mengandung sebuah kritikan tanpa harus terdistraksi komedi? Secara
mengejutkan itu berhasil ia lakukan dan buktikan di debutnya ini, cerita
tersusun atas semi biografi seorang Ernest, mulai ia sejak SD hingga
SMP permasalahan berupa sering diejek hingga dipalak, hingga beranjak ke
masa remaja mencari pacar, dan dewasa masalah seputaran anak. Cerita
itu tersusun rapi disini hingga membentuk sebuah kesatua yang utuh akan
sebuah "perjalanan" hidup Ernest, ditemani dengan jokes yang tampil
sesuai dengan cerita, dan tentunya mengundang gelak tawa.
Menyandang genre sebagai sebuah drama comedy tentunya sanggup dibuktikan
oleh Ernest disini, berbagai jokes terkait adat Cina hingga semua hal
yang berbau Cina tampil disini, dan itu dilontarkan secara halus dengan
iringan jokes yang memang mampu menghadirkan gelak tawa, Ernest juga
serta merta mengajak sesama para komika untuk tampil sebagai pembawa
jokes disini, meski tak terlalu dominan, misalnya seperti kehadiran Ge
Pamungkas dan Arie Kriting, kehadiran mereka walaupun sekejap mampu
meramaikan suasana, tak pelak kamu akan seringkali terhibur dengan lakon
serta lantunan ucapan mereka yang sangat likeable meskipun di porsi
yang sedikit. Selain tingkah para komika yang menghibur dan meramaikan
suasana, kehadiran ensemble cast non komika pun tampil mencuri
perhatian, Morgan Oey sebagai Patrick mampu mengambil perhatian, Ernest
tak hanya menjadikan karakternya sebagai sidekick tanpa arti melainkan
dibalik karakter Patrick yang esensial itu tersimpan suatu masalah pula
yang turut menyokong cerita. Lala Karmela juga ta kalah menarik, ia
mampu melakoni sisi komedi dengan tunjangan sisi dramatik yang pas,
misalnya saat momen yang melibatkan sebuah bajaj, ekspresi yang
ditampilkan begitu "mengena".
Ngenest memang berjalan bak
film yang biasanya, menuturkan kisah kehidupan seorang lelaki keturunan
etnis cina dengan segala permasalahan dan romansanya. Tapi sebagaimana
ia adalah seorang komika yang pandai bertutur, ia juga mampu menyulap
film sangat likeable, romansa seseorang jatuh cinta pada pandangan
pertama, permasalahan cinta hingga hal terkait adat Cina pun tampil
sangat menyenangkan dan mengesankan, semua momen itu memang kerap
terjadi di sebuah film, tapi disini momentum itu mampu menyimpan sebuah
kesan tersendiri terkait sebuah kenangan yang sulit ntuk dilupakan,
sembari ditemani hal terkait Cina, Ernest mengajak penonton baik
mayoritas maupun minoritas untuk santai dalam bersikap dan menyikapi
yang tak segan menertawakan hidup sambil menyelipkan curhatan personal.
Karena lewat sebuah tawa hidup terasa menyenangkan. Ngenest adalah
sebuah komedi manis nan lucu yang berisi menyuarakan kritik sosial.
SCORE : 4/5
0 Komentar