Tab

Ticker

6/recent/ticker-posts

REVIEW : NGENEST (2015)

"Gak semua yang kita inginkan akan terwujud, dan gak semua yang kita takutkan akan terjadi"

Di muka bumi yang kita pijaki ini, manusia hidup dengan perannya masing-masing, tak semuanya serupa dan tak semuanya sama memang. Terkadang kita selaku orang yang mempunyai ras yang "berbeda" dengan yang lain sering mengalami yang namanya penindasan. Hal terkait SARA.termasuk rasial terasa lebih sensitif memang. Bukan karena orang selaku "pem-bully" serta orang yang intoleran saja, tapi justru disebabkan bertambah mudahnya para "korban" tersinggung oleh hal tersebut. Misalnya memanggil seseorang dengan sebutan "Cina" bisa saja dianggap sebagai sebuah tindakan rasisme, sehingga masyarakat kita dihimbau untuk menyebutnya "Tionghoa". Bukan maksud untuk membenarkan tindakan rasisme, tapi harus diakui orang-orang sangat mudah tersinggung menyikapi hal itu, seolah sisi kehidupan harus dianggap serius. Ditengah panasnya persoalan, muncullah Ernest Prakarsa dengan segala materi komedi yang didasarkan pada kehidupan pribadinya, membuat sebuah film adaptasi buku trilogi berjudul "Ngenest" dengan usungan tagline "Kadang hidup perlu ditertawakan". Sungguh usungan menarik, cerdas dan berani bukan jika mendengarnya, bahkan jikalau filmnya pun hasilnya mengecewakan "Ngenest" adalah sebuah film yang patut untuk diapresiasi karena keberaniannya.

"Ngenest" bercerita tentang kehidupan Ernest (Kevin Anggara) yang sejak kecil kerap menjadi korban bullying akibat statusnya sebagai keturunan etnis Cina. Beruntung ia memiliki sahabat sesama Cina bernama Patrick (Brandon Salim, dewasanya diperankan oleh Morgan Oey) yang setia menemani dan memberikan bantuan. Demi menghindari omongan orang-orang (baca: teman sekolah) atas tindakan tersebut, Ernest tak tinggal diam. Berbagai cara ia tempuh untuk keluar dari penindasan itu, termasuk mencoba menjalin pertemanan dengan mereka yang mem-bully dirinya. Semua usaha itu gagal, hingga timbul kekhawatiran jika anaknya kelak akan mendapat perlakuan serupa. Berawal dari rasa khawatir itu, Ernest (Ernest Prakarsa) memutuskan untuk mencari istri orang pribumi demi "memperbaiki" keturunan. Hingga sewaktu berkuliah, Ernest berkenalan dengan Meira (Lala Karmela) yang sempurna memenuhi kriterianya, yakni wanita pribumi, cantik, dan berkulit sawo matang. Tapi rasa takut Ernest tentang nasib sang anak nyatanya tak semudah itu sirna.



Debut penyutradaraan seorang Ernest Prakarsa yang turut merangkap sebagai penulis naskah, wajar memang bila tampil sebuah keraguan di segi kualitas, setumpuk pertanyaan menggunung pun tampil mulai dari bisakah ia membuat sebuah alur film yang tak melompat-lompat, bisakah ia tampil sebagai sutradara disamping ia yang memang seorang stand-up comedy, dan yang paling penting ialah bisakah ia membuat sebuah cerita yang mengandung sebuah kritikan tanpa harus terdistraksi komedi? Secara mengejutkan itu berhasil ia lakukan dan buktikan di debutnya ini, cerita tersusun atas semi biografi seorang Ernest, mulai ia sejak SD hingga SMP permasalahan berupa sering diejek hingga dipalak, hingga beranjak ke masa remaja mencari pacar, dan dewasa masalah seputaran anak. Cerita itu tersusun rapi disini hingga membentuk sebuah kesatua yang utuh akan sebuah "perjalanan" hidup Ernest, ditemani dengan jokes yang tampil sesuai dengan cerita, dan tentunya mengundang gelak tawa.

Menyandang genre sebagai sebuah drama comedy tentunya sanggup dibuktikan oleh Ernest disini, berbagai jokes terkait adat Cina hingga semua hal yang berbau Cina tampil disini, dan itu dilontarkan secara halus dengan iringan jokes yang memang mampu menghadirkan gelak tawa, Ernest juga serta merta mengajak sesama para komika untuk tampil sebagai pembawa jokes disini, meski tak terlalu dominan, misalnya seperti kehadiran Ge Pamungkas dan Arie Kriting, kehadiran mereka walaupun sekejap mampu meramaikan suasana, tak pelak kamu akan seringkali terhibur dengan lakon serta lantunan ucapan mereka yang sangat likeable meskipun di porsi yang sedikit. Selain tingkah para komika yang menghibur dan meramaikan suasana, kehadiran ensemble cast non komika pun tampil mencuri perhatian, Morgan Oey sebagai Patrick mampu mengambil perhatian, Ernest tak hanya menjadikan karakternya sebagai sidekick tanpa arti melainkan dibalik karakter Patrick yang esensial itu tersimpan suatu masalah pula yang turut menyokong cerita. Lala Karmela juga ta kalah menarik, ia mampu melakoni sisi komedi dengan tunjangan sisi dramatik yang pas, misalnya saat momen yang melibatkan sebuah bajaj, ekspresi yang ditampilkan begitu "mengena".



Ngenest memang berjalan bak film yang biasanya, menuturkan kisah kehidupan seorang lelaki keturunan etnis cina dengan segala permasalahan dan romansanya. Tapi sebagaimana ia adalah seorang komika yang pandai bertutur, ia juga mampu menyulap film sangat likeable, romansa seseorang jatuh cinta pada pandangan pertama, permasalahan cinta hingga hal terkait adat Cina pun tampil sangat menyenangkan dan mengesankan, semua momen itu memang kerap terjadi di sebuah film, tapi disini momentum itu mampu menyimpan sebuah kesan tersendiri terkait sebuah kenangan yang sulit ntuk dilupakan, sembari ditemani hal terkait Cina, Ernest mengajak penonton baik mayoritas maupun minoritas untuk santai dalam bersikap dan menyikapi yang tak segan menertawakan hidup sambil menyelipkan curhatan personal. Karena lewat sebuah tawa hidup terasa menyenangkan. Ngenest adalah sebuah komedi manis nan lucu yang berisi menyuarakan kritik sosial.


SCORE : 4/5

Posting Komentar

0 Komentar