Harus
diakui memang genre film rom-com di tanah air masih memegang predikat
sebagai primadona layar, alasannya tentu saja sebagai sarana pelepas
penat untuk mencari sebuah tontonan ringan juga memberikan suatu
tambahan tersendiri, yakni mampu relatable akan kehidupan masa kini
serta mengundang saraf tawa. Bukanlah sebuah kesenangan bukan? Monty
Tiwa adalah salah satu sutradara yang
getol membuat sajian itu, memang tak semuanya berhasil, tapi beberapa
filmnya mampu memberikan sebuah bekas tersendiri pada penontonnya.
Menilik beberapa tahun ke belakang, tepatnya pada tahun 2015 ia pernah
membuat sebuah karya bertajuk "Lamaran" dimana selain merunut soal
rom-com ia juga turut menyelipkan materi lain berupa kultural budaya di
Indonesia serta beberapa aksi lain terkait aksi politik.
Tiar Sarigar (Acha Septriasa) adalah seorang pengacara wanita berdarah
Batak yang sangat ambisius, karirnya melejit tatkala ia membela salah
satu kliennya, Basuki (Marwoto) atas kasusnya bersama bos mafia kelas
kakap, Arif Rupawan (Dwi Sasono). Keberadaan Tiar justru membahayakan
reputasi Arif, maka ia mengutus sang pembunuh bayaran (Mongol Stres)
sebagai ancaman. Pihak berwajib yang mencium kasus ini pun mengirim dua
agen rahasia Ari (Arie Kriting) dan Sasha (Sacha Stevenson) untuk
melindungi Tiar. Namun cara mereka justru memancing kekacauan tatkala
turut melibatkan Aan (Reza Nangin) seorang resepsionis kantor tempat
Tiar bekerja yang berdarah Sunda yang disamarkan untuk menjadi pacar
Tiar. Bahayanya lagi, hubungan palsu ini turut merisaukan keluarga Tiar,
ayah-ibunya (Cok Simbara-Lina Marpaung) serta sang sepupu yang
oportunis Dono (Ozzol Ramdan) melarang keras hubungan mereka, terlebih
karena perbedaan suku serta kasta, begitupun dengan ibu Aan, Ibu Euis
(Wieke Widowaty).
Seperti yang telah saya singgung diatas
dan juga tertera pada sinopsis, "Lamaran" memang mempunyai konsep yang
memang bisa dibilang menarik, dimana disini Monty Tiwa yang dibantu
sokongan naskah dari Cassandra Massardi turut menyelipkan konsep
kultural budaya antara Batak-Sunda yang memang mampu menghasilkan sebuah
poin yang menarik untuk dikulik, begitupun dengan isu terkait politik
turut memperkaya naskah film ini. Namun seperti yang ditakutkan akan
terjadi, saya takut Monty semua poin itu terdistraksi antar satu sama
lain. Paruh awal hingga 30 menit berjalan, "Lamaran" sejatinya masih
kebingungan untuk meraih atensi penonton, begitupun dengan saya pribadi
yang seakan meraba-raba menyaksikan film ini. Untungnya setelah proses
itu berakhir, Monty sendiri cukup lihai untuk membangun premis demi
premis film ini, dibuka dengan isu terkait politik hingga kemudian
menyeret penonton untuk masuk ke ranah romansa berbalut komedi terkait
kultural adat yang berbeda, dan itu bisa dibilang cukup berhasil menjaga
atensi penonton, meski eksekusinya sendiri belum bisa dikatakan
sempurna.
Ya, memang belum sempurna. Premis terkait
politik-kultural budaya hingga rom-com sendiri acap kali terasa
terdistraksi satu sama lain, menyebabkan ketiga poin itu tampil tumpang
tindih, isu terkait politik harus diakui ketika durasi bergulir menuju
pertengahan mulai terabaikan dan menuju ke ranah rom-com dengan kultural
adat, yang memang harus dikatakan belum berhasil, pasalnya Monty
sendiri terlihat setengah-setengah mengolah isu terkait kultural itu,
memang beberapa adegan mampu berhasil seperti pertengkaran antara Ibu
Tiar dan juga Ibu Aan, Bu Euis terkait makanan misalnya, itu berhasil
berada pada taraf komedik yang cukup berhasil, lengkap dengan
argumentasi yang dibawakan cukup mulus.
Romansa antara
Acha-Reza mungkin bisa dibilang cukup namun tak terasa spesial, Acha
unjuk kebolehannya dengan logat aksen Batak-nya yang cukup oke serta
Reza dengan aksen Sunda namun ke-kota-an nya, dialog seperti "Terima
kasih karena telah menjadi kesempatan terbesar aku" hingga "aku capek
lihat orang-orang sukses di balik meja" mampu disulap menjadi romantis
oleh Reza Nangin lengkap dengan ekspresi lugunya begitupun Acha yang
mampu menghantarkan emosi hingga dialog yang terdengar chessy terasa
sangat bermakna sekalipun. Begitupun dengan kehadiran para cast lainnya
seperti Arie-Sacha yang mampu tampil oke di ranah komedik, hingga Lina
Marpaung a.ka Mak Gondut beserta Wieke Widowaty berhasil menjadi lawan
yang sepadan, terlebih kepada Mak Gondut yang juga tampil sangat
menawan, terutama tatkala saat memamerkan kebolehannya sebagai stand up
comedian.
"Lamaran" memang bukanlah film yang sempurna
maupun oke disegi cerita serta eksekusi, eksekusi yang ditampilkan oleh
Monty sendiri masih meninggalkan lubang yang cukup signifikan, premis
terkait romansa yang chessy namun terasa enak untu diikuti berkat
performa pemain yang tampil mumpuni dan celetukan comedy yang terbilang
hit-miss menjadikan "Lamaran" sendiri sebuah tontonan yang cukup
menghibur ditengah eksekusinya yang terbilang tampil mengambil jalur
aman. At least, usaha Monty patut untuk di apresiasi.
SCORE : 3/5
0 Komentar