Tab

Ticker

6/recent/ticker-posts

REVIEW : BAKUMAN (2015)

Pemain :
Takeru Sato, Akito Takagi, Nana Komatsu
Genre :
Drama
Sutradara :
Hitoshi Ohne
Naskah :
Tsugumi Ohba (manga), Takeshi Obata (manga)
Rilis :
3 Oktober 2015
Durasi :
119 Menit
Rating :
2/5

Mengangkat sebuah anime manga ke dalam sebuah film live action bisa menjadi sebuah perkara yang keren, karna pembaca setia akan merasa puas dengan pendeskripsian tokohnya secara real dan jelas melalui sebuah film itu sendiri. Namun, mengubah versi anime ke dalam sebuah sajian live action juga bisa dikatakan perkara yang gagal, karna jika sang pembaca merasa pendeskripsian melalui sebuah sajian film itu gagal dalam menggarap baik itu disegi aktor maupun script.

Moritaka Mashiro (Takeru Sato) adalah seorang siswa yang memiliki bakat menggambar komik yang dialirkan oleh sang paman. Namun, dia tak ingin menjadi penulis komik, karena suatu alasan yang terus menghantuinya, ia tak ingin nasibnya kelak seperti pamannya yang meninggal karna kelelahan menulis komik dan komik yang dibuatnya tiba-tiba dipaksa diberhentikan karna kurangnya peminat.
Hingga suatu hari karyanya dilihat oleh teman sekelasnya, Akito Takagi (Ryunosuke Kamiki) yang bermimpi menjadi seorang penulis komik, namun ia tidak bisa menggambar. Merekapun berdiskusi untuk membuat suatu karya, namun tetap Mashiro menolak. Namun, ketika ia bertemu dengan Miho Azuki (Nana Komatsu), ia pun berubah pikiran, Azuki meminta Mashiro untuk melanjutkan karyanya hingga sukses, dan setelah sukses merekapun berjanji akan tetap bersama. Hal itu menguatkan Mashiro hingga ia dapat membuat sebuah karya komik nomer satu di Jepang mengalahkan One Piece dan Dragon Ball.

Namun membuat karyanya menjadi nomer satu diterbitan editor JUMP tak semudah membalikan telapak tangan.

Bakuman, memiliki cerita yang predictable. Ya, plot bagaimana dua penulis komik itu entah kenapa dibuat sedemikian datar, dan mungkin terkesan biasa. Bagaimana dua penulis komik itu entah kenapa tak memberikan sesuatu yang xtraa ordinary bagi sebuah live action.


Hitoshi Ohne entah kenapa begitu pelit memberikan konflik, andai saja konflik film ini begitu kuat, maka film ini setidaknya menghibur. Juga, entah kenapa konflik dua penulis komik dengan penulis komik no satu tak dibuat sedemikian hebat, sehingga persaingan diantara keduanya terkesan biasa tanpa ada tambahan konflik yang dapat memecah sang karakter utama. Lalu sebenarnya karakter antagonis film ini dimana?



Ohne juga rupanya terlalu fokus dan mempercayakan diri pada karakter utama, juga kejadian yang dialami sang paman karakter utama, entah kenapa dibuat sedemikian terjadi lagi seolah-olah film ini bergenre reinkarnasi. Romansa antara sang karakter utama dan sang gadis yang dicintainya entah kenapa tak dimanfaatkan Ohne. Padahal jika romansa antara kedua karakter itu dimanfaatkan dengan sedikit konflik maka film ini setidaknya akan terlihat lebih hidup dan membuat penonton lepas dari kejenuhan.

Ya, Ohne memang terlalu keras kepala dengan egonya yang tujuannya membuat sajian live action yang keren, namun hasilnya alakadarnya. Untung saja sinematografi film ini keren, dan memanjakan mata serta mengupas habis tentang dunia komik, setidaknya ini adalah titik terang film ini.

Meskipun para pemain bermain maksimal, namun tetap script film ini kurang maksimal. Banyak plot yang sebenarnya bisa menjadi keren, namun semua itu adalah akibat dari ego Ohne yang tak kesampaian yang membuat film ini terkesan Kurang greget.

Posting Komentar

0 Komentar