Tab

Ticker

6/recent/ticker-posts

REVIEW - KITAB SIJJIN & ILLIYYIN

 

Bukan. Ini bukan sekuel Sijjin (2023) yang mempertemukan Hadrah Daeng Ratu dan Lele Laila  selaku kombo perempuan penghasil box-office. Datang dari orang yang sama, judulnya sendiri merujuk pada dua kitab, yang sebagaimana termaktub dalam surah Al-Muthaffifin merupakan dua kitab yang eksis secara bersamaan, kitab yang mencatat segala perbuatan orang durhaka (sijjin) serta kitab yang mencatat segala perbuatan orang berbakti dan berbuat saleh (illiyyin). Singkatnya, Kitab Sijjin & Illiyyin menghadirkan sebuah komparasi atas perbuatan amal tersebut.

Selepas kematian tragis kedua orangtuanya, Yuli (Yunita Siregar) harus tinggal dan hidup dalam tekanan yang diberikan oleh Ambar (Djenar Maesa Ayu) yang merupakan istri dari suami ayahnya. Sebagaimana umpatan "anak hasil perselingkuhan" yang kerap ia terima, Yuli hanya bisa pasrah ketika Ambar berbuat semena-mena terhadapnya, begitu pula dengan Laras (Dinda Kanyadewi), anak tunggak Ambar yang turut merundungnya. 

Sulit untuk tak menampik  bahwa naskah buatan Lele Laila sangat sinetron-ish, terlebih dengan keterlibatan Dinda Kanyadewi yang akan mengingatkan penonton dengan salah satu karakter ikoniknya di televisi. Narasi yang dibangun Lele memang sengaja menekankan hal itu, yang membuat penonton turut mendukung motivasi Yuli yang nantinya meminta bantuan seorang dukun bernama Pana (Septian Dwi Cahyo). Didasari rasa sakit hati bertahun-tahun, Yuli dengan kesadaran penuh berniat menewaskan seluruh keluarga Ambar.

Tak hanya keluarga Ambar saja, kebencian Yuli pun turut menyeret Rudi (Tarra Budiman), suami Laras, beserta kedua anaknya, Tika (Kawai Labiba) dan Dean (Sultan Hamonangan) yang secara fisik mungkin tidak menyakiti Yuli, namun mereka diam saja ketika Yuli diperlakukan tidak adil, seolah tidak terjadi apa-apa.

Dari sinilah Kitab Sijjin & Illiyyin memperlihatkan taringnya, pengarahan Hadrah Daeng Ratu memastikan penonton merasakan perasaan tidak nyaman serta rasa ngilu yang datang silih berganti lewat pemandangan menyakitkan. Entah itu lewat serpihan kaca yang menancap di kaki, kecoak yang keluar dari bola mata, hingga remuk dan hancurnya isi kepala, semua ditampilkan tanpa malu-malu.

Pun, keputusan untuk mengandalkan efek praktikal (tanpa sepenuhnya bergantung pada CGI) layak untuk diberikan apresiasi lebih, utamanya kepada tim tata produksi. Hal ini dijadikan sebagai media santet yang digunakan oleh Yuli guna melancarkan perbuatannya, di mana nama orang yang hendak dijadikan korban ditanam dalam mayat orang yang baru saja meninggal, dijahit secara kasar, mesikipun kondisi mayat tersebut perlahan membusuk. Sungguh aturan main yang terlihat baru dan efektif dalam melipatgandakan sebuah kengerian.

Memasuki paruh kedua, Kitab Sijjin & Illiyyin mungkin terkesan repetitif. Ketiadaan urgensi terkait misteri (karena sedari awal kita sudah tahu sang protagonis yang berbelok menjadi antagonis) sedikit menurunkan tensi filmnya yang tak jauh dari pola Yuli melakukan santet korban terkena dampaknya  pemakaman dan tahlil diadakan.

Meskipun demikian, tensinya urung mengendur. Keberhasilan ini salah satunya didukung oleh performa pemain yang tampil meyakinkan, yang membuat saya betah duduk lama di depan layar tanpa mempermasalahkan hal tadi. Dinda Kanyadewi sekali lagi menguarkan aura yang layak dibenci, Yunita Siregar menampilkan degradasi emosi dari karakter Yuli yang tindakannya mungkin tidak bisa dibenarkan, namun dapat dipahami. Sementara Kawai Labiba menjadikan Tika sebagai satu-satunya antitesis yang mewakili segala perbuatan baik, meskipun dilanda duka dan luka, ia tetap menjalankan salat juga gemar mengikuti kajian di mesjid.

Memasuki paruh ketiga, giliran Abuya (David Chalik), ustaz yang di dua babak awal filmnya masih digambarkan layaknya figur yang gemar berceramah bertransformasi menjadi tokoh sentral yang mengambilalih konflik. Abuya kali ini digambarkan memiliki kekuatan tenaga dalam, yang pasca melakukan rukiah terlihat keramik yang retak setelahnya. Sungguh, sebuah pahlawan yang diharapkan kehadirannya.

Satu hal yang luput dibahas secara lebih mendalam ialah terkait mitologi kedua kitab tersebut. Kitab Sijjin & Illiyin mungkin hanya sebatas melakukan komparasi tanpa ada niatan untuk melakukan eksplorasi. Di titik ini, otomatis urgensinya menurun drastis, namun tidak dengan rentetan siksa dunia miliknya yang menghadirkan sebuah pemandangan tragis. 

SCORE : 3/5

Posting Komentar

0 Komentar