Setiap minggunya, horor lokal senantiasa meramaikan layar bioskop tanpa pernah absen sekalipun. Di titik ini, saya sudah mulai jenuh dengan eksistensinya yang bak lingkaran setan. Ketamakan dan keserakahan para sineas dalam meraup pundi finansial sudah tak bisa lagi dielakkan. Sebagai promosi, kerap kali adaptasi utas viral dikedepankan sebagai jualan, menciptakan sebuah stagnansi yang tak berbanding lurus dengan kualitas filmnya. Hingga Randolph Zaini kembali pasca terakhir kali debut menyutradarai Preman (2021) dengan sebuah gebrakan yang mengeliminasi hal di atas. Dia Bukan Ibu membukikan bahwa horor hasil adaptasi utas viral akhirnya memiliki tajinya.
Saya berani menyebut hal tersebut lantaran pasca Di Ambang Kematian (2023) hingga Racun Sangga: Santet Pemisah Rumah Tangga (2024) sulit sekali menemukan horor hasil adaptasi utas viral yang mengedepankan kualitas di atas kuantitas. Kebanyakan di antara mereka hadir hanya untuk sekadar menghiasi tanpa pernah memberikan sebuah penceritaan mumpuni. Dia Bukan Ibu menampik hal tersebut dengan mengajak penontonnya terlebih dahulu untuk memahami cerita dan merasakan kehangatan para karakternya, yang nantinya berjasa menciptakan sebuah empati sekaligus simpati yang menghadirkan sebuah koneksi tersendiri, utamanya dalam menciptakan sebuah rasa peduli.
Kisahnya sendiri menyoroti sebuah keluarga kecil, di mana Yanti (Artika Sari Devi) turut memboyong kedua anaknya, Vira (Aurora Ribero) dan Dino (Ali Fikry) untuk pindah rumah ke sebuah pinggiran kota demi memulai kehidupan kembali pasca ditinggalkan oleh sang suami (Husein Alathas). Dibantu Jamal (Iskak Khivano), sang adik yang terjebak pinjol dan judol, mereka menempati sebuah rumah dengan area minim penghuni. Hal tersebut kemudian dimanfaatkan Dino untuk membuat konten horor bersama sang kakak, sementara sang ibu membuka usaha salon untuk melanjutkan hidup.
Terinspirasi oleh utas viral X milik JeroPoint, paruh awal Dia Bukan Ibu memberikan sebuah komparasi sekaligus analogi tersendiri bagi filmnya kedepannya, pun semenjak kejadian tersebut, baik anaknya (maupun penonton) jarang sekali melihat raut wajah sang ibu yang kerap berjalan membelakangi, mencuatkan kesan misterius sekaligus penasaran yang tinggi.
Ditulis naskanya oleh Randolph Zaini bersama Titien Wattimena serta Beta Inggrid Ayu, mereka memastikan sekaligus meluangkan waktu untuk bercerita tanpa pernah bergantung sepenuhnya terhadap kompilasi jumpscare. Dan ketika momen tersebut hadir, barulah Randolph menciptakan sebuah gebrakan yang bukan hanya sekedar mengagetkan, melainkan menghadirkan sebuah kengerian dalam level yang berbeda.
Seiring bergulirnya durasi, Vira dan Dino kerap merasakan kejanggalan yang menimpa ibunya, momen tersebut dimainkan secara cerdik oleh Randolph, di mana aktivitas mengamati dan membuntuti sang ibu menjadi sebuah kenikmatan tersendiri sekaligus membuka tabir misteri, karena sejatinya Randolph menekankan sebuah atmosfer yang mencuatkan sebuah kengerian di balik sosok ibu yang seharusnya menjadi tempat berlindung.
Randolph memang meminimalisir jumpscare, menolak filmnya sepenuhnya untuk bergantung pada hal tersebut dan menggantikannya dengan sebuah ekskalasi yang senantiasa meninggi lewat keanehan tingkah-polah sang ibu. Artika Sari Devi berjasa melahirkan sosok ibu yang penuh dengan kemisteriusan serta sarat akan keanehan tanpa terkesan berlebihan, semenatara kolaborasi Aurora Ribero-Ali Fikry membuat kita percaya bahwa mereka merupakan saudara selayaknya di kehidupan nyata.
Satu hal pasti yang saya sukai dari pengadeganan Randolph adalah keputusannya untuk tak memanfatkan lagu lawas sebagaimana kebanyakan horor arus utama, scoring-nya tampil autentik dan khas. Begitu pula dengan teknik menakutinya yang jauh dari kesan murahan, sesekali ia bermain lewat sebuah penampakan yang berada di belakang karakternya, entah itu lewat sebuah bayangan maupun cermin, siapa sangka teknik klasik seperti ini tampil jauh lebih efektif ketimbang sosok hantu yang setor muka memenuhi seisi layar (yang masih menjadi penyakit utama horor arus utama) hingga beberapa referensi lain, paling kentara adalah The Visit (2015) garapan M. Night Shyamalan.
Paruh ketiga Dia Bukan Ibu membuka sebuah tabir misteri yang terjadi. Persentasinya memang sangat dekat dan bukanlah sebuah hal baru dalam khasanah film horor kita, namun Randolph sekali lagi mengemasnya secara berbeda, di mana momen tersebut ia jadikan sebagai sebuah penebusan yang setimpal yang tak hanya mengandalkan sebuah gore saja, melainkan turut menekan sebuah rasa sesungguhnya yang dialami oleh seorang makhluk bernama manusia.
Konklusinya memainkan hal tersebut secara berimbang. Ketika sebuah individu kemudian mendapatkan "peran baru" dalam kehidupan, label tersebut sejatinya melekat secara penuh dan perlahan mengharuskannya untuk mengesampingkan diri sendiri. Apakah sebuah keputusan tepat apabila ia kembali ke jalannya sendiri? Identitas yang kerap bertabrakan seperti ini yang dimainkan oleh Randolph. Sungguh sebuah dualisme menakutkan. Inilah yang disuarakan oleh filmnya secara pelan, namun terdengar lantang.
SCORE : 3.5/5
0 Komentar