Rest Area dibuka dengan menjanjikan. Paruh awalnya menampilkan seorang pria (diperankan oleh Afrian Arisandy) yang tengah dikejar oleh para komplotan mafia tanah yang dipimpin oleh Satrio (Haydar Salishz). Tentu, nasib buruk akan terjadi, sementara pengadeganan Aditya Testarossa dalam debut film panjang pertamanya (turut pula merangkap sebagai penulis naskah) mempunyai semangat serupa horror-slasher pada umumnya yang mengedepankan ketegangan sebagai sebuah hiburan. Sayang, ketika momen tersebut tiba, dampak signifikan urung dihasilkan. Singkatnya, deretan kematian yang seharusnya menjadi sebuah hiburan ditampilkan diluar adegan.
Selepas peristiwa tersebut, filmnya menyoroti "5 crazy rich" yang sebagaimana tagline-nya tawarkan, nantinya akan terjebak di sebuah Rest Area angker. Mereka terdiri dari: Ale (Julian Jacobs) si anak pemilik jalan tol, Keanu (Ajil Ditto) yang berkuliah di Italia, Theo (Chicco Kurniawan) yang tampil nyentrik, Mia (Lania Fira) si konten kreator sekaligus kekasih Theo, dan Zizi (Lutesha) yang datang atas ajakan Keanu. Tentu sulit untuk memberikan simpati pada kelima remaja ini selepas perlakukan mereka terhadap salah satu pengendara yang mengalami mogok dan beristirahat di jalan tol.
Tak butuh waktu lama juga untuk filmnya memberikan sebuah "karma" bagi mereka. Dalam perjalanan, Ale tidak sengaja menabrak seseorang hingga terpental. Di saat bersamaan, muncul pula sosok misterius yang membawa cangkul dengan topeng kresek yang mengancam nyawa mereka.
Seharusnya, dari sini Rest Area mampu menekan pengadeganan sebagaimana kenikmatan menyaksikan sebuah horror-slasher. Sayang, pengarahan dan naskah filmnya tak mendukung hal tersebut untuk terealisasi sebagaimana mestinya. Aditya Testarossa bak kebingungan merangkai dan merajut naskah filmnya dalam menciptakan sebuah teror yang sebenarnya, membuat Rest Area terasa melelahkan meskipun hanya berdurasi 79 menit.
Entah itu perihal rules atau ketidakmampuan sineasnya menciptakan sebuah "hukuman" setimpal. Rest Area justru tenggelam dalam sebuah cacat logika. Alih-alih menyulut sebuah ketegangan, filmnya justru mengundang tawa selepas menampilkan salah satu karakternya tersedot masuk ke lubang kloset duduk. Entah apa maksud dan tujuan hal tersebut?
Sebagaimana yang telah saya singgung di awal, Testarossa pun seolah malu-malu menampilkan adegan kekerasan yang seharusnya dikedepankan. Deretan kematian karakternya ditampilkan secara off-screen, sementara jingle yang dijadikan jualan untuk promosi filmnya urung menampilkan sebuah keseraman.
Memasuki babak ketiga, Rest Area banting setir ke arah yang tak terduga. Selepas horor-slasher berkedok komedi (karena lalai terhadap aturan main) yang malu-malu tampil, kini giliran elemen time-looping yang diterapkan. Sungguh, sebuah versi murah dari Final Destinantion tanpa menerapkan semangat serupa.
Perlahan, Rest Area melupakan sindiran sekaligus pesan yang ingin disampaikan hanya untuk berkutat pada sebuah kebingungan. Biarpun demikian, saya amat menyukai transisi filmnya menjelang konklusi, di mana terlihat Lutesha sekuat tenaga mengatrol filmnya untuk tetap berdiri tegak. Nama seperti Lutesha dan Chicco Kurniawan seharusnya tidak terjebak dalam sebuah film yang mengubur potensi serta bakat yang dimiliki.
SCORE : 1.5/5
0 Komentar