Tab

Ticker

6/recent/ticker-posts

REVIEW - BAYI AJAIB (2023)

 

Berstatus sebagai film perdana bagi rumah produksi Falcon Black (anak produksi Falcon Pictures yang akan berfokus pada sub-genre horror), remake Bayi Ajaib (1982) ini dirasa segar berkat status cult classic orsinalnya yang amat dicintai dan bahkan sukses menjadi mimpi buruk pada masanya-akhirnya dihidupkan kembali lewat pembawaan yang lebih proper secara teknis. Modifikasi ekstrim pun tak ditekankan (hanya beberapa elemen yang dirubah) karena pada dasarnya film horor perdana seorang Rako Prijanto (Perfect Strangers, Teman Tapi Menikah, 3 Nafas Likas) ini adalah bentuk penghormatan yang setia pada materi aslinya. Bahkan, beberapa penambalan pun dilakukan yang memberikan dampak yang cukup signifikan pada progresi alurnya.

Ditulis naskahnya oleh Alim Sudio (Perfect Strangers, 12 Cerita Glen Anggara, Miracle in Cell No. 7) penambalan yang dimaksud membuat narasinya makin kompleks, paling kentara adalah pada karakterisasi salah satu tokoh sentralnya yang diberikan range lebih luas. Bahkan, dalam salah satu kesempatan ia mempertanyakan keberadaannya yang mana lebih manusiawi ketimbang versi aslinya.

Ceritanya masih sama. Kosim (Vino G. Bastian) berambisi memenangkan pemilihan kepala desa. Ia menghalalkan beragam cara termasuk menyebar makanan dan uang sebagai upahnya. Berkebalikan dengan sang rival, Soleh (Teuku Rifnu Wikana) yang terkenal jujur dan amanah, ambisi Soleh pun sangat bersih dan mulia, ingin memajukan desa lewat program hasil buah pikirnya demi kesejahteraan bersama.

Di saat bersamaan, hadir Dorman (Adipati Dolken) yang alih-alih turut mencalonkan diri (sebagaimana di film aslinya) ia adalah seorang dukun yang haus akan kekayaan. Dorman lantas meminta kekayaan kepada arwah leluhurnya, seorang pria asal Portugis yang terkenal kejam bernama Albert Dominique (Willem Bevers). Sebagai gantinya, Albert meminta wadah agar arwahnya bisa hidup kembali.

Dari sini naskahnya saling bersinggungan, Dorman kemudian menjadikan janin yang dikandung oleh Sumi (Sara Fajira), istri Kosim, sebagai medium bagi Albert. Selang tujuh tahun, anak yang kemudian diberi nama Didi (Rayhan Cornellis) menyimpan sebuah keanehan yang pada awlalnya disembunyikan-kian meresahkan tatkala banyak warga mulai melihat dan merasakan kelainan terjadi pada diri Didi.

Dibuka secara terburu-buru yang selama kurang lebih 15 menit durasinya dihabiskan untuk menampilkan sebuah konflik utama, Bayi Ajaib langsung tancap gas karena menganggap penontonnya sudah paham dengan materi aslinya. Setelahnya, salah satu adegan ikonik ditampilkan yang justru berujung pada sebuah kekecewaan karena Rako Prijanto urung memberikan sorotan lebih selain memilih jalan sarat simplifikasi di tengah urgensi adegan tersebut sangatlah menghantui pikiran jika dalam film aslinya.

Pengadeganan Rako memang belum sempurna, adakalanya Bayi Ajaib terkesan kekurangan daya dalam memamerkan segala kreativitasnya atau untuk sekedar mereka ulang kejadian ikonik milik film aslinya. Meskipun di tata artistik, film ini jauh lebih maju (meski tak sepenuhnya begitu jika menyebut beberapa properti miliknya yang terlihat artifisial). Kelemahan yang dimiliki film aslinya berhasil ditangani, namun tidak demikian dengan barisan terornya yang lebih jinak daripada dugaan.

Biarpun demikian, narasinya cukup kaya dalam mengenalkan barisan karakternya yang tak sebatas hadir untuk sekedar melengkapi, semuanya ditampilkan secara perlahan termasuk kehadiran seorang ustadz bernama Yassa (Derry Oktami) yang lebih rapi dibandingkan film aslinya. Demikian halnya dengan elemen politik yang jauh lebih masuk akal daripada film aslinya.

Sisanya nyaris tak ada perubahan signifikan termasuk momen puncaknya di mana prosesi ruqyah merupakan jalan keluar dari segalanya. Terkait pemakaian prostetik pun cukup mumpuni-meski terkendala penempatan pacing yang dirasa kurang pas mengingat ini adalah karya perdana sang sutradara dalam menjamah sub-genre favorit masyarakat kita. Saya mafhumi atas dasar sebuah pengalaman.

Masalah serupa kembali menjangkiti konklusinya yang bak menekan tombol fast-forward, terlebih filmnya pun bak mengisyaratkan akan sebuah kelanjutan dari sebuah twist yang bak sebuah pisau bermata dua kala jalan untuk menampilkan hal serupa sama sekali tak ditampilkan oleh filmnya. Penokohannya memang lebih masuk akal, namun untuk hal ini, menambah berarti memberikan sebuah cacat yang sedikit mencoreng pencapaian sebelumnya.

SCORE : 3/5

Posting Komentar

0 Komentar