Tab

Ticker

6/recent/ticker-posts

REVIEW - SEWU DINO (2023)

 

Berstatus sebagai pembuka dari jagat semesta Trah Pitu Lakon (universe hasil utas dan novel buatan SimpleMan), dibandingkan dengan KKN di Desa Penari (yang sama-sama hasil buatan SimpleMan), Sewu Dino jelas terlihat lebih superior, entah itu dari hasil materi atau berkat campur tangan sang sutradara kenamaan tanah air bernama Kimo Stamboel yang sebelumnya sukses menjadi seorang dokter bagi universe horror pesakitan negeri ini. Ivanna membawa Danur Universe ke ranah yang lebih gila, sementara Jailangkung Sandekala menyiratkan sebuah harapan baru akan dunia seputarnya.

Sewu Dino kembali memantapkan statusnya lewat pendekatan yang bak sebuah kejutan, kenyataannya ini adalah film yang mengedepankan atmosfir (baca: slow burn) ketimbang rentetan jumpscare murahan kebanggan penonton negeri ini. Pun, di beberapa adegan, Kimo sempat menyuntikkan elemen body horror yang merupakan kegemarannya, meski sejatinya Rating 13+ menghalangi batasan semua itu.

Biarpun demikian, Sewu Dino tetaplah sajian mencekam jika ditilik di atas kertas. Kisahnya sendiri mengenai Sri (Mikha Tambayong) yang selepas mengetahui bahwa sakit yang di derita ayahnya makin parah-memutuskan untuk melamar pekerjaan lewat selebaran yang diadakan di kediaman Karsa Atmojo (Karina Suwandi), keluarga sugih yang begitu misterius. Tanpa banyak tanya dan informasi, Sri kemudian menyetujui dan bergabung bersama dua rekannya, Erna (Givina) dan Dini (Agla Artalidia) ke sebuah kediaman yang berada di tengah hutan. Lewat arahan dari Mbah Tamin (Pritt Timothy), perlahan terungkap bahwa pekerjaan mereka ialah untuk melakukan ritual basuh sedo.

Ritual tersebut mengharuskan mereka untuk membasuh dan memandikan tubuh Dela (Gisellma Firmansyah), cucu Karsa Atmojo yang terkena santet dan disemayami makhluk bernama Sengarturih. Konon, ritual yang bertujuan untuk menenangkan Sengarturih itu akan terangkat apabila ritual basuh sedo dilakukan selama 1000 hari.

Selain memandikan jenazah Dela sesuai intruksi dari kaset hasil rekaman Karsa Atmaja, mereka juga harus memastikan bahwa Dela tetap terikat di dalam keranda, naskah hasil tulisan Agasyah Karim dan Khalid Kashogi (Gara-Gara Bola, Sunyi, Waktu Maghrib) memilih opsi tersebut guna menggaet atensi penonton untuk senantiasa tetap terjaga sebagaimana karakternya, meski kemungkinan lain terbuka semisal mengeluarkan Dela dari keranda berpotensi menjadikan filmnya sarat adegan kucing-kucingan, yang nantinya akan ditampilkan di paruh kedua.

Dalam sebuah film yang menceritakan sebuah ritual turun-temurun, intuisi untuk mencari dan menunggu kesalahan para pelakunya jadi hal yang paling menarik, Sewu Dino menerapkan hal serupa dengan amat hati-hati, kita diajak untuk perlahan mengenal, mengamati hingga puncaknya hal yang tak ingin terjadi akhirnya terjadi. Alhasil, eskalasi yang dihasilkan berjalan rapi meski meninggalkan jejak tak semulus yang diharapkan.

Biarpun demikian, keberhasilan Kimo dalam merangkai skala horor secara perlahan tampil lebih dominan, siapa sangka hal sepele semacam kehabisan air atau kaset yang tiba-tiba rusak hingga panggilan sederhana dari Dela tampil lebih mencekam daripada biasanya. Momen seperti ini dirangkai secara baik pula menghasilkan sebuah teror yang siap menerjang setelahnya.

Terkait urusan teror, kali ini Kimo terasa kewalahan selepas semuanya berjalan secara pelan. Ada sebuah keinginan tertahan dalam paruh ketiga yang bukan sekali gaya khas Kimo dengan segala kebrutalannya. Terlebih, Sewu Dino sempat kehilangan tensi kala filmnya dipaksa menampilkan sebuah twist dari salah satu karakternya yang sempat memecah fokus (materi aslinya tak memiliki elemen ini) dan tak memberikan dampak signifikan selain sebagai jalan pembuka bagi salah satu karakternya.

Sangat disayangkan memang-meski sepenuhnya bukan sebuah kesalahan mengingat Kimo sendiri terbebani narasi yang sengaja dituntut menghasilkan sebuah kontuniti untuk barisan universe-nya. Anggap saja ini sebagai sebuah pembelajaran bagi kedepannya selama cacat minor tak mengganggu keseluruhan filmnya secara utuh.

Ketika ketiadaan teror berpotensi meniadakan perhatian, menjadi mustahil ketika trio Mikha-Givina-Agla mengisi adegan yang sesekali unjuk gigi memainkan barisan dialog bernada komedi. Ketigannya saling mengisi satu sama lain dalam sebuah chemistry gadis kliwon ditengah dangkalnya motivasi satu sama lain selain sama-sama berdiri atas nama keluarga dan kebutuhan akan uang.

Satu yang tak dapat dipisahkan dalam Sewu Dino adalah penggambaran makhluk bernama Sengarturih yang creepy dengan postur tubuh campy. Kimo banyak terinspirasi oleh gaya Sam Raimi yang menjadi kebanggannya, termasuk dalam menampilkan sebuah adegan bagi homage horror fenomenal bernama Evil Dead (1981) bahkan yang lebih modern semisal Drag Me to Hell (2009). Mari kita nantikan Janur Ireng yang menjadi asal-muasal lahirnya sebuah santet antara dua trah yang berlawanan.

SCORE : 3.5/5

Posting Komentar

0 Komentar